,

Mengukur Kebermanfaatan Inovasi dengan Katsinov Meter

Universitas Islam Indonesia (UII) telah mampu menunjukkan kiprahnya melalui berbagai produk inovasi, baik dengan kegiatan penelitian maupun pengabdian masyarakat. Namun, kebermanfaatan produk inovasi bagi pengguna belum dapat dipastikan oleh dosen peneliti. Karenanya, Katsinov Meter hadir sebagai solusi untuk mengukur kesiapan suatu teknologi dari suatu program inovasi teknologi di industri/institusi/ maupun lembaga.

“Inovasi harus memberikan nilai komersil. Oleh karena itu, semoga kegiatan ini dapat diperluas manfaatnya agar Katsinov dapat dijadikan bagian yang melekat bagi proses penelitian yang ada di lingkungan UII,” ungkap Ir. Wiryono Raharjo, M.Arch, Ph.D dalam sambutannya pada Workshop Pengukuran Tingkat Kesiapan Inovasi Perguruan Tinggi Menggunakan Alat Ukur Katsinov Meter, Senin (21/12).

Katsinov Meter merupakan alat ukur atau metode pengukuran untuk menghitung kesiapan suatu teknologi dari suatu program inovasi teknologi di industri/institusi/ maupun lembaga. Katsinov Meter menjadi upaya menjawab tuntutan kebutuhan alat ukur yang dapat menggambarkan perkembangan inovasi dan mengimplementasikan inovasi dengan siklus hidup yang lebih efektif. Metode ini telah dirilis dengan Permenristekdikti Nomor 29 Tahun 2019. Katsinov Meter dilengkapi tujuh aspek penilaian yaitu teknologi, pasar, organisasi, kemitraan, risiko, manufaktur, dan investasi. Masing-masing aspek memiliki enam tingkat kesiapan yaitu katsinov 1 hingga katsinov 6.

Analis Kebijakan Ahli Madya Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Dr. Yudi Widyanto, S.Si., M.Si., menyampaikan perbedaan inovasi dan invensi. Invensi diperoleh dari ide yang dituangkan pada kegiatan pemecahan masalah. Sedangkan inovasi menjadi lanjutan dengan mengeluarkan prototype yang harus bersentuhan dengan pasar atau pengguna. Mengapa mengukur inovasi menggunakan Katsinov Meter menjadi penting? Yudi Widyanto menjelaskan beberapa alasan yang membuat Katsinov Meter harus melekat pada proses penciptaan inovasi.

Alasan pertama adalah sebagian besar invensi gagal masuk pasar. Sebuah survei menunjukkan, dari 100.000 invensi hanya 310 produk yang berhasil masuk pasar. Hal ini tak hanya terjadi di negara berkembang layaknya Indonesia, namun juga di negara-negara maju yang gencar melakukan inovasi. Tetapi jangan malah berpikir untuk tidak melakukan penelitian lagi, Justru ketika punya banyak riset, kita punya banyak stock untuk menghasilkan inovasi yang mampu dikomersilkan.

Alasan kedua adalah kebanyakan invensi masih berfokus pada pengembangan teknologi tanpa memikirkan aspek pasar. Sehingga ketika masuk pasar, gagal karena tidak memahami kebutuhan pasar. Survey menunjukkan 20% kegagalan startup berawal dari tidak adanya kebutuhan pasar. “Banyak ide yang digelontorkan tapi cenderung dari sisi supplier. Inovasi tidak boleh dilepaskan dari calon pengguna,” terang Yudi Widyanto.

Alasan penting lain adalah saat ini kita dihadapkan pada era dimana suatu produk memiliki siklus hidup yang singkat. Sehingga katsinov akan membantu mengimplementasikan inovasi dengan siklus hidup yang lebih efektif. “Jangan sampai selesai penelitian produknya sudah usang”, jelas Yudi Widyanto. Katsinov Meter membantu dengan mengukur kemajuan kinerja teknologi, merencanakan secara strategis, serta meramalkan teknologi kompetitor.

Pelaksanaan pengukuran menggunakan Katsinov Meter melibatkan empat tim, yaitu penanggung jawab pengukuran dan penetapan, tim sekretariat pengukuran dan penetapan katsinov, tim penilai katsinov, dan koordinator kegiatan inovasi. Analis Kebijakan Muda Direktorat Sistem Inovasi Direktorat Jenderal Penguatan Inovasi, Kemenristek/BRIN, Sania Diaurrahmi BS, S.Pt., ME., menyampaikan seluruh proses dimulai dengan tim sekretariat mendaftar secara resmi ke pihaknya. Selanjutnya mengisi data lengkap sekretariat dan lembaga. Tahapan ini telah diverifikasi UII.

“Selanjutnya sekretariat juga bertugas untuk mengisi program-program yang akan diukur dengan Katsinov Meter sesuai kategori. Sekretariat juga membuat akun-akun bagi pihak UII yang terdiri dari penanggung jawab, inovator, maupun verifikator. Sehingga mereka tidak perlu mendaftar resmi ke Kemenristek, jelasnya. (VTR/RS)