Menilik Sitem Penyiaran di Indonesia

Melalui Podcast, Aufanida Ingin Mensyiarkan Ramadan

Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar Bincang Sejarah Komunikasi seri 5 dengan topik Membaca Ulang Sistem Penyiaran Indonesia: Dari Era Kolonial Belanda Hingga Pasca Suharto, pada Sabtu (8/8). Bincang sejarah yang diadakan melalui zoom meeting kali ini menghadirkan pembicara Dr.rer.soc. Masduki, S.Ag., M.Si., M.A., dosen Program Studi Ilmu Komunikasi UII.

Dalam paparannya ia mengungkapkan ketertarikannya mengupas sejarah penyiaran. Diawali dengan menceritakan penyiaran komersial di USA pada 1910 dan penyiaran publik yang berkembang di eropa pada 1920. Menurutnya penyiaran juga telah berkembang pesat di negara bekas komunis seperti di Eropa Timur. Keadaan ini menimbulkan beberapa pertanyaan apakah Indonesia termasuk dalam target proyek lembaga donor penyiaran di Eropa Timur? mengapa penyiaran publik Indonesia gagal?

Selain itu juga disinggung mengapa pasal 14 dan 15 UU 1932 terdapat norma yang sangat bagus terkait penyiaran publik yang independen dan berorientasi pada pelayanan publik. Namun di UU dan pasal yang sama terdapat penunjukan pemegang mandat yang lama tanpa pernah berganti yaitu TVRI dan RRI. Menurut Masduki, keadaan ini menimbulkan tanda tanya terkait dengan isu internasionalisasi serta negosiasi di parlemen Indonesia.

Masduki mengungkapkan, jika kembali pada masa kolonial, di Belanda urusan penyiaran termasuk dalam sosial club pendengar dan club elit, sedangkan di Indonesia hingga sekarang penyiaran masih diurus oleh kementrian yang bersifat komunikasi. Hal ini membuatnya berada di ranah komunikasi politik, bukan masuk dalam ranah budaya.

Ia menambahkan hingga saat ini platform penyiaran di Indonesia baik publik, swasta, maupun komunitas selalu menggencarkan slogan menjaga integrasi, merawat kesatuan, serta menjalin persatuan dan kesatuan. Yang mana visi ini sangat berbalik dengan Eropa yang lebih menggencarkan pada sikap kritis. (FNJ/RS)