Menunggu Waktu untuk Maju?

Kita semua bersyukur, tepat pada 27 Rajab 1444, Universitas Islam Indonesia (UII) berusia 80 tahun menurut kalender kamariah. Dalam konteks global, bagi sebuah universitas, usia 80 tahun masih tergolong ‘muda’, meski Universitas Islam Indonesia (UII) lahir sebelum Indonesia merdeka dan merupakan pionir pendidikan tinggi nasional.

 

Usia dan kemajuan

Bandingkan, misalnya, dengan beberapa universitas maju di beberapa pojok dunia. Universitas Yale di Amerika Serikat (AS) telah berusia 312 tahun. Universitas Harvard di AS sudah beroperasi selama 386 tahun. Universitas Oxford di Inggris sudah mendidik mahasiswa sejak 922 tahun lalu. Universitas Bologna di Italia sebagai universitas tertua di Eropa sudah berumur 935 tahun, dan bahkan Universitas Al-Azhar di Mesir memberikan layanan pendidikan sejak 1.053 tahun silam.

Apakah ini berarti untuk menjadi maju dan berkelas dunia, sebuah universitas harus menunggu waktu? Sebelum menjawab, mari kita berikan fakta beberapa universitas maju lainnya, berikut.

Universitas Stanford di AS ‘baru’ berusia 137 tahun. London School of Economics and Political Science di Inggris sedikit lebih ‘muda’ dengan umur 128 tahun. Kini, National University of Singapore berumur 118 tahun. Australian National University belum juga terlalu tua, karena baru berusia 77 tahun. Universitas Monash di Australia didirikan pada 1958, alias baru beroperasi selama 65 tahun, dan bahkan Universitas Maastricht di Belanda baru melayani selama 47 tahun.

Meskipun tidak sesederhana membandingkan dua buat apel, upaya komparasi ini sejalan dengan visi UII yang beraspirasi menjadi “setingkat universitas yang berkualitas di negara-negara maju”, tanpa menanggalkan keunikannya.

Fakta ini memberikan jawaban atas pertanyaan di atas: usia memang bisa mengakumulasikan kemajuan, tetapi kemajuan bukan soal usia saja.

 

Kemajuan dan kualitas

Tentu, mendefinisikan kemajuan bukan perkara sederhana. Namun, tampaknya kita mudah bersepakat, jika kemajuan diindikasikan oleh kualitas. Secara sederhana, kualitas sebuah universitas bisa diwakili dengan dua jenis produknya: artefak akademik dan lulusan.

Artefak akademik bisa mewujud dalam beragam bentuk termasuk hasil penelitian, teknologi, publikasi, gagasan, paten, dan lain-lain. Kualitasnya sangat tergantung banyak hal, termasuk pengakuan dari komunitas akademik global, tingkat relevansi dalam penyelesaian masalah kontemporer di lapangan, dan penghargaan dari pihak eksternal (seperti masyarakat, industri, dan pemerintah).

Kualitas lulusan biasanya dilihat dari keterserapannya di tengah-tengah masyarakat, tingkat penghargaan masyarakat atas kompetensinya, peran yang dimainkan, dan juga dampak dari kiprah. Maaf, untuk para penganut mazhab positivistik, tidak semua indikator ini mudah diukur dengan deretan angka.

Kualitas kedua produk tersebut tentu tidak terlepas dari kualitas beragam proses internal (termasuk pembelajaran dan penelitian) serta iklim akademik yang terbangun. Bisa jadi, kualitas iklim akademik bahkan menjadi prasyarat.

Iklim akademik yang sehat untuk lahirnya artefak akademik dan lulusan berkualitas tidak lahir begitu saja. Peran para aktor yang terlibat, terutama dosen dan mahasiswa, menjadi sangat penting, tanpa menafikan peran tenaga kependidikan yang juga signifikan.

Ini pun terjadi lintasgenerasi. Semua kemajuan yang ada, tidak berangkat dari kertas kosong. Ada kontribusi aktor lampau yang harus selalu dihargai. Saat ini, beragam kemajuan sudah dicapai oleh UII. Tetapi, harus jujur diakui, tanpa mengurangi rasa syukur, kemajuan yang terjadi belum dalam kecepatan yang optimal.

 

Kerja kolektif dan inovasi

Jika konseptualisasi sederhana di atas disepakati, sekaranglah saatnya melakukan refleksi menyongsong saty abad UII pada 1464H yang bertepatan dengan 2042 M.

Paling tidak terdapat dua aspek penting yang bisa membimbing. Aspek pertama terkait  dengan kerja kolektif. Tidak mungkin sebuah universitas menjadi maju tanpa kontribusi konsisten semua warganya. Karena hal ini pula, tak seorangnya berhak mengklaim setiap pencapaian baik sebagai kerja individual.

Jika aspek pertama terkait dengan aktor, yang kedua ini terkait dengan tindakan aktor, yang selalu mengikhtiarkan inovasi alias pembaruan. Tradisi baik memang perlu terus dilanggengkan, tetapi hal itu bukan menjadi alasan untuk tidak membuka diri terhadap pemikiran dan praktik baru. Tentu, selama tidak berlawanan dengan nilai-nilai yang disepakati.

Kedua aspek ini juga yang menjadikan universitas ‘muda’ membukukan kemajuan pesat. Tidak semua jalan kemajuan bersifat linier. Ada pilihan jalan lain, yang mengandung kejutan yang membawa perubahan radikal: punctuated equilibrium.

Siapkah kita untuk keluar dari zona zaman, menghadapi kejutan, dan galak kepada diri sendiri? Jika siap, tampaknya untuk semakin maju, kita tidak harus selalu menunggu waktu.

Lagi-lagi, ini adalah pilihan yang mengandaikan kesepakatan bersama, dan bukan satu dua gelintir orang saja.

Tulisan dimuat dalam UIINews edisi Februari 2023.