Menyoal Radikalisme dan Pendidikan Agama

Pusat Studi Islam Universitas Islam Indonesia (PSI UII) yang berada di bawah naungan Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Kembali mengadakan Sekolah Pemikiran Islam yang pada tahun ini telah memasuki Angkatan ke-VI. Dalam rangka pembukaan kegiatan, pada kamis (31/3) PSI UII menggelar Stadium General dengan tema “Agama, Radikalisme dan Pendidikan Agama” yang diikuti oleh seluruh peserta Sekolah Pemikiran Islam.

Setelah pendaftaran resmi ditutup pada 20 Maret lalu, terdapat total 144 peserta yang berasal dari berbagai latar belakang. Seperti akademisi, Aparatur Sipil Negara (ASN), dan masyarakat umum dari seluruh Indonesia. Dengan animo peserta yang sedemikian besar, dapat dilihat semangat menuntut ilmu yang tidak pernah padam terutama dalam menuntut ilmu agama Islam. Meskipun diadakan secara daring melalui platform Zoom Meeting, namun semua peserta tetap mengikuti kegiatan ini dengan maksimal.

Dalam sambutannya, Edi Safitri, S.Ag., M.S.I., selaku Direktur Pusat Studi Islam UII mengucapkan apresiasi setinggi-tingginya kepada para peserta yang telah bergabung pada Sekolah Pemikiran Islam Angkatan ke-VI ini. Ia juga menjelaskan tentang latar belakang berdirinya program Sekolah Pemikiran Islam ini yang berangkat dari sebuah diskusi kecil tentang realita kondisi keberagamaan masyarakat.

Menurut Edi Safitri, dengan melihat berbagai fenomena terror dan aksi anarkis yang terjadi sering kali dikaitkan dengan agama-agama tertentu, terlebih lagi agama Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia. Dari situasi tersebut muncul sebuah pertanyaan, apa sebenarnya yang salah dengan keberagamaan di tengah-tengah masyarakat kita, sehingga mudah terpancing isu-isu profokatif dan menimbulkan sentiment khusus yang berujung pada Tindakan-tindakan intoleran.

Edi Safitri memberikan contoh-contoh tindakan yang menunjukkan sikap intoleran, yang baru-baru ini terjadi seperti seorang pria yang menendang sesajen, hingga pembelaan terhadap seorang ulama yang terlalu berlebihan hingga terkesan fanatik.

“Ini menunjukkan bahwa aksi-aksi intoleransi dan kekerasan, semua membawa nama ajaran agama dan itu tidak mudah untuk dihilangkan. Bahkan kondisinya sudah sedemikian parah” ucapnya ketika menjelaskan keadaan yang terjadi di masyarakat sekarang.

Fakta tersebutlah menurut Edi Safitri yang memicu mengapa Sekolah Pemikiran Islam itu lahir, karena dirasa ada persoalan dalam Pendidikan agama yang diberikan di tengah masyarakat kita. Baik itu Pendidikan formal maupun informal.

Edi Safitri menambahkan bahwa beberapa hal yang ditawarkan oleh Sekolah Pemikian Islam adalah pokok-pokok tradisi ilmu pengetahuan keislaman, dari berbagai perspektif sebagai salah satu unsur penting.

Benang Merah antara Agama, Radikalisme, dan Pendidikan Agama

Sebagai pemateri tunggal pada stadium general kali ini, Sibawaihi, S.Ag., M.Si.,Ph.D. membuka pembahasan tentang tema besar yang diangkat, yang menurutnya sudah sangat menarik. Tiga kata kunci dari tema tersebut merupakan hal-hal yang saling terkait antara satu sama lain.

Menurutnya, agama sering dituding sebagai penyebab munculnya radikalisme dan Pendidikan agama diklaim sebagai pihak yang bertanggung jawab atas lahirnya paham tersebut. Lebih lanjut ia memberikan pandanganbya dalam melihat secara komprehensif persoalan ini. Sibawaihi mengantarkan pembahasan tentang radikalisme sebagai produk dari globalisasi, dengan konsep bahwa semua tempat di dunia saling berkaitan sehingga tidak ada lagi hal yang tidak bisa kita lihat dan ketahui. Globalisasi selanjutnya memaksa dunia untuk melakukan perubahan dinamis termasuk dalam politik, Pendidikan serta kehidupan sosial masyarakat.

Sibawaihi menyitir salah satu teori tentang globalisasi dari John Levin dengan sembilan aspek yang dibawa oleh globalisasi, tiga diantaranya adalah faktor terbesar dalam munculnya radikalisme. Yaitu multikulturalisme, internasionalisasi serta komunikasi elektronik dan informasi. Kemudian dibahasakan ulang oleh beliau menjadi pertemuan antar-budaya dan pemanfaatan ICT sehingga menciptakan radikalisme. Globalisasi juga memunculkan tantangan-tantangan global dari dalam dunia islam, khususnya bagi umat muslim di Indonesia.

“Ini semua menjadi tantangan, bagi kita masyarakat muslim Indonesia, bagi masyarakat terdidik terutama kita yang ada di pendidikan Islam ini. Di dalam melihat berbagai fenomena masuknya Gerakan-gerakan transnasioanl ke negara kita ini,” tuturnya.

Selanjutnya Sibawaihi menjelaskan tiga istilah yang memuat paham-paham anarkis yaitu radikalisme, ekstremisme dan terorisme. Benang merah dari ketiga aliran tersebut adalah semua paham tersebut berpotensi memicu adanya tindak kekerasan, tidak lagi berpegang pada kedaulatan negara dan menganggap semua hal tentang negara Barat sebagai musuh ideologis-politis. Radikalisme juga terdapat dua jenis yaitu non-violent radicalism dan violent radicalism. Sehingga tidak semua Gerakan radikal dapat terlihat secara fisik melainkan bisa berbentuk ideologi yang disusupkan kepada masyarakat.

Hal yang juga sangat disayangkan dari masyarakat kita adalah, banyak yang berpandangan bahwa agama merupakan sumber kekerasan dan berhubungan dengan banyak aksi terorisme. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah sangat sedikit kekerasan yang berkaitan agama. Sibawaihi mengutip pernyataan Karen Amstrong tentang hal ini dimana kekerasan sebenarnya lebih banyak bersumber dari kekuasaan negara, kapitalisme, dan modernism yang dibungkus dengan Bahasa-bahasa agama. “Agama itu sering kali menjadi alat politik untuk melakukan aksi-aksi yang keras,” ucapnya.

Sedangkan fenomena Pendidikan agama yang didapati di masyarakat juga turut menyita perhatian, dengan ditemukannya berbagai narasi-narasi yang mengandung unsur kekerasan di dalamnya. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sibawaihi, buku teks sejarah kebudayaan Islam masih perlu mengoptimalkan penekanan moderasi beragama dalam kompetensi inti dan kompetensi dasarnya. (HM/RS)