,

Pelajaran dari Bencana Gempa Turki untuk Indonesia

Bencana gempa bumi di Turki pada 6 Februari 2023 pagi hari pukul 04.17 waktu setempat menyebabkan jatuhnya korban hingga 12.000 jiwa dan kerusakan bangunan yang masif. Pakar kegempaan sekaligus Guru Besar Teknik Sipil Universitas Islam Indonesia (UII), Prof. Ir. H. Sarwidi, MSCE., Ph.D., IP-U., A-Utama punya penilaian tersendiri atas peristiwa memilukan tersebut. Menurutnya, banyak pelajaran yang bisa dipetik untuk mitigasi bencana gempa di Indonesia ke depan.

“Lebih dari 2/3 wilayah Indonesia rawan gempa, dan bahkan wilayah-wilayah yang pada penduduknya banyak yang berada di wilayah rawan gempa. Dengan demikian, mayoritas masyarakat Indonesia berada dalam ancaman bencana gempa bumi, yang sewaktu-waktu dapat terjadi,” ujarnya pada Kamis (2/9).

Pria yang juga menjabat sebagai Pengarah Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) itu menambahkan, sebagaimana dengan Turki dan negara-negara yang rawan gempa lainnya, antisipasi bencana gempa di Indonesia menggunakan pendekatan pengurangan risiko bencana (PRB).

PRB gempa meliputi tiga unsur yang harus dikelola. Pertama adalah ancaman gempa yang harus terus menerus digali dan diteliti untuk mendapatkan peta kerawanan gempa yang selalu terkinikan sebagai referensi dalam melaksanakan pembangunan. Kedua adalah kerentanan bangunan dan lokasi. Kerentanan bangunan harus dikurangi semaksimum mungkin dengan menerapkan konsep bangunan/infrastruktur tahan gempa. 

Penataan permukiman harus mempertimbangkan apakah berada di lokasi yang berpotensi likuifaksi berat, longsor berat, dan tsunami. Ketiga adalah kapasitas pemerintah dan masyarakat dalam mengantisipasi bencana gempa yang harus selalu ditingkatkan, di antaranya melalui sosialisasi kegempaan, kebencanaan, dan praktik simulasi darurat gempa.

“Selain itu, konflik harus dihindari sedapat mungkin, karena konflik akan melemahkan sistem penanggulangan bencana yang konsekuensinya adalah skala dampak bencana akan membesar,” tegasnya dengan berkaca pada situasi Turki Selatan dan Suriah Utara yang menjadi daerah konflik selama bertahun-tahun.

Dijabarkan Prof. Sarwidi, gempa di Turki termasuk sangat mematikan dengan kerusakan yang sangat parah karena dipengaruhi beberapa karakteristiknya. Pertama, ukuran gempa sangat besar dengan pusat gempa yang sangat dangkal sehingga menimbulkan guncangan sangat kuat di permukaan dengan intensitas guncangan MMI maksimum sekitar IX – X atau lebih. Sementara gempa di Yogyakarta pada 2006, perkiraan guncangan maksimumnya berkisar pada MMI VIII-IX dan Gempa Cianjur 2022 diperkirakan MMI VI-VIII.

Gempa utama di Turki juga memiliki pusat gempa sangat dangkal yakni 17 Km dari permukaan bumi. Kemudian disusul dengan gempa besar berukuran 7,5 yang juga sangat dangkal, 10 Km, dan selanjutnya diguncang ratusan gempa susulan lainnya berpusat berentetan sepanjang sesar (patahan) tektonik sekitar 100 Km. Gempa tektonik tersebut terjadi karena pelepasan energi sesar (patahan) tektonik Anatolia Timur, yaitu sesar di perbatasan antara pelat tektonik Arab dan pelat tektonik Anatolia di Turki. Di ujung timur sesar juga berbatasan dengan pelat tektonik Eurasia.

Garis patahan sesar tektonik yang rusak atau patah juga cukup panjang, mencapai sekitar 100 Km, sehingga energi gempa dilepaskan mengguncangkan lokasi tersebut hingga wilayah sekitarnya. “Sesar tersebut relatif tenang untuk jangka waktu yang cukup panjang, sehingga penumpukan energi tektonik sangat besar yang dilepaskan menjadi gempa sangat kuat tersebut,” jelas Pembina Museum Gempa Prof. Dr. Sarwidi tersebut.

Dari segi terjadinya peristiwa, waktu kejadian masih sangat pagi sehingga kebanyakan orang masih dalam suasana tidur. Ditambah lagi pusat gempa terjadi di darat, di mana melewati wilayah atau permukaan yang sangat padat penduduknya. Sesar Anatolia Timur ini berada di sisi wilayah yang lama tidak terjadi gempa dibanding wilayah Turki lain yang menjadi langganan gempa sehingga masyarakatnya pun cenderung menjadi lengah.

Terakhir inventor sekaligus inovator BARRATAGA dan SIMUTAGA itu memberikan pernyataan, “Tingkat keparahan korban dan kerusakan di wilayah Suriah meningkat, karena sistem penanggulangan bencana dan penegakan disiplin dalam standar membangun bangunan tahan gempa melemah akibat konflik yang berkepanjangan”.

Arsitek Didorong Desain Bangunan yang Indah Namun Tahan Gempa

Prof. Noor Cholis Idam (tengah) bersama kolega dari Jurusan Arsitektur UII ketika berada di Turki.

Prof. Noor Cholis Idham, ST., M.Arch., Ph.D., IAI selaku Guru Besar Arsitektur UII, mengatakan ditinjau dari segi arsitekturnya, Turki dikenal sebagai negara dengan budaya dan arsitektur yang menarik dan berdiri kokoh. Gempa ini memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap bangunan-bangunan yang ada di Turki.

Pria yang juga Ketua Jurusan Arsitektur UII itu menambahkan gempa bumi Turki ini adalah gempa besar yang bersifat destruktif dengan kerusakan yang sangat besar dan tidak dapat diprediksi. Menurut Noor Cholis Idham, gempa tersebut cukup besar dan akan mengakibatkan kerusakan yang besar apabila di sekitarnya terdapat manusia dan lingkungan binaan.

Dalam wawancara pada Kamis (9/2), ia juga menjelaskan terdapat beberapa faktor kerusakan akibat gempa bumi Turki ini. Faktor pertama ialah faktor perencanaan wilayah dan tata letak ruang. Faktor ini adalah faktor yang tidak bisa kita hindari karena kepadatan penduduk. “Secara alamiah sulit untuk dihindari karena manusia yang butuh tempat tinggal,” tambahnya. Oleh karena itu perencanaan wilayah menjadi sangat penting.

Faktor kedua adalah dari segi mikro bangunan itu sendiri. Salah satu kolega Turki beliau mengatakan bahwa bangunan-bangunan yang berada di pusat gempa (Turki Timur) memang didesain dengan kualitas yang kurang terjamin. Kualitas bangunan dipengaruhi mulai dari desain arsitekturnya hingga pada pelaksanaannya. Hal ini berbeda dengan bangunan di Turki di kawasan dekat dengan ibukota yang didesain dengan infrastruktur yang lebih maju. Faktor tersebut menjadi salah satu penyebab besarnya kerusakan infrastruktur arsitektur di daerah pusat gempa.

Ia melanjutkan infrastruktur Turki cukup identik dengan hunian 4-5 lantai yang secara teoritis cukup bagus karena memiliki ruang terbuka banyak. Akan tetapi juga bermasalah pada kualitas dan desain arsitekturnya. Menurut Noor Cholis Idham, tipe hunian seperti itu akan menciptakan ruang kosong dan biasanya hanya terdiri dari kolom saja sehingga juga akan membuat struktur bangunan yang kurang kuat. 

Karena daerah tersebut sangat dekat dengan lempeng patahan, maka infrastruktur semacam itu menurutnya kurang cocok dan kurang tepat jika diimplementasikan di daerah rawan gempa. Ada banyak struktur atau elemen yang mengakibatkan kegagalan atau kerusakan di dalam bangunan yang dikatakan sebagai kegagalan sehingga menimbulkan banyak kerugian bagi manusia dan lingkungan binaan di sekitar bangunan tersebut. 

Di posisi yang sangat rawan dengan gempa ini, dibutuhkan desain infrastruktur bangunan yang tahan gempa. Merespon persoalan ini, ia menyebutkan beberapa elemen arsitektur yang menurutnya harus dipertimbangkan karena sangat berpengaruh terhadap kuat atau tidaknya suatu bangunan. 

Pertama ialah lantai dasar terbuka tanpa dinding atau soft storey. Jika terjadi kegagalan di lantai satu maka lantai di atasnya juga akan ikut rusak. “Lantai dasar terbuka tanpa dinding atau soft storey itu membuat lemah,” Tutur Noor Cholis Idham dalam wawancaranya.

Kedua adalah bangunan-bangunan berat juga menjadi hal penting karena frekuensi alamiahnya tinggi yang kaitanya dengan gempa. Bangunan bertingkat rendah secara teori ternyata lebih rawan ketika terjadi gempa jika dibandingkan dengan bangunan tinggi karena frekuensinya yang sama dengan frekuensi bumi. Oleh karena itu material dan konstruksi sangat perlu diperhatikan dalam aspek ini.

Ketiga, aspek perancangan akses juga perlu diperhatikan pada bangunan tingkat tinggi. Mulai dari akses masuk hingga akses evakuasi dari bangunan. Hal ini merupakan aspek yang sering dikesampingkan di perancangannya. “Arsitek itu suka mendesain sesuatu yang tidak sederhana,” ungkapnya. Peran arsitek sangatlah penting dalam mendesain bangunan tanpa gempa. Seorang arsitek dituntut untuk kreatif akan tetapi aspek keamanan juga merupakan faktor yang tidak boleh dilewatkan.

Terakhir, ia berpesan peran arsitek dan mahasiswa arsitektur juga sangat berpengaruh dalam pembangunan di daerah rawan gempa. Ia menegaskan bahwa keselamatan dan keamanan perlu diutamakan dan diseimbangkan dengan aspek kreativitas sebagai arsitek. “Simplicity itu adalah solusi yang harus kita lakukan untuk daerah yang rawan gempa,” Tutup Prof. Noor Cholis Idham. (JR/APA/ESP)