,

Pemisahan Tempat Ibadah Berdasar Gender Tarik Minat Peneliti AS

Pemisahan tempat ibadah berdasar gender lazim ditemui di berbagai masjid atau mushala di Indonesia. Rupanya hal itu memantik rasa ingin tahu peneliti perbandingan agama asal Amerika Serikat. Program Studi Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia (HI UII) menggelar kuliah umum bertemakan “Religion and Gender: Comparative Studies between The US and Indonesia” pada Rabu (11/4), di Auditorium Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya. Kegiatan ini mengundang Bethany Elias Jenner, seorang kandidat Ph.D dari Arizona State University sebagai pembicara. Kegiatan ini terselenggara sebagai hasil kerjasama Prodi HI UII dan American Institute for Indonesian Studies.

Bethany selaku pemateri, merupakan lulusan pascasarjana Arizona State University dengan fokus religion studies yang kini sedang menyelesaikan disertasinya di universitas yang sama. Ia konsen meneliti gendered spaces bagi wanita Muslim. Kajiannya fokus pada pengaruh pemisahan tempat ibadah berdasarkan gender dalam kaitannya dengan interaksi terhadap kesakralan, diseminasi pengetahuan agama dan peluang kepemimpinan. Pada kesempatan yang sama, ia juga bercerita mengenai ketertarikannya terhadap studi agama serta pengalaman risetnya di Indonesia.

Salah satu tempat penelitian Bethany di Yogyakarta adalah Musholla Khusus Wanita Aisyiyah yang terdapat di Kauman dan Karangkajen. Sebagaimana disampaikan Bethany, ia memandang adanya kaitan antara pemisahan ruangan khusus wanita di ruang ibadah dengan pemberdayaan wanita. Selanjutnya secara spesifik ia menjelaskan bagaimana pemisahan ruang ibadah secara fisik, mempengaruhi pengalaman wanita muslim baik di Indonesia maupun di Amerika Serikat.

Dari hasil penelitiannya, Bethany juga mengungkapkan perbedaan-perbedaan signifikan yang ia jumpai di Indonesia maupun Amerika. Salah satu paparannya yang menarik adalah di Qal’bu Maryam Women’s Mosque, Berkeley, yaitu musholla yang didirikan untuk memberdayakan perempuan.

Di sana wanita bahkan diperbolehkan berkhotbah dan mengimami jamaah laki-laki. Dalam praktik berjamaah juga tidak ada pemisah antara jamaah laki-laki dan wanita. Menurutnya, hal tersebut tentu saja sangat berbeda dengan yang ia temui di Indonesia.

Saat ditanyai apakah fenomena musholla khusus wanita merupakan wujud feminisme dalam arti bagaimana wanita memperoleh dan memperjuangkan hak-haknya, Bethany membantah hal tersebut. Menurutnya, apa yang ia peroleh dari risetnya, terutama dari Musholla Khusus Wanita Aisyiyah bukanlah wujud perlawanan wanita terhadap hak, melainkan wujud optimalisasi dan maksimalisasi hak-hak yang memang sudah seharusnya. “The woman, they don’t fight for the rights, because the rights have always been there,” ungkapnya.

Sebagai penutup, Bethany mengungkapkan perlunya toleransi dan upaya saling memahami perbedaan, terutama perbedaan lintas agama dalam mewujudkan harmoni antar sesama. Ia menekankan pentingnya setiap orang untuk tidak menutup mata namun terbuka dan mau mempelajari hal yang lain. (MIH/ESP)