Problem dan Tantangan Prolegnas di Tahun 2021

Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum (FH) UII menggelar webinar bertemakan “Membaca Program Legislasi Nasional dan Agenda Konstitusi” belum lama ini secara daring. Acara itu menghadirkan pembicara Muhammad Rifqinizamy Karsayuda, M.H. (Anggota DPR RI Fraksi-PDI Perjuangan), Dr. Wicipto Setiadi, M.H. (Dirjen Peraturan Perundang-undangan 2014 dan Dosen FH UPN Veteran Jakarta), dan Allan Fatchan Gani Wardhana, M.H. (Direktur PSHK dan Dosen FH UII).

Rifqinizamy Karsayuda menjelaskan prolegnas adalah instrumen perencanaan program pembentukan UU yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis sesuai Pasal 1 angka 9 UU PPP. Keberadaan prolegnas dilihat sebagai alat ukur bagi kinerja DPR RI di bidang legislasi. Prolegnas digunakan untuk menghitung berapa jumlah RUU yang direncanakan dan berapa jumlah undang-undang yang berhasil direalisasikan.

Dalam menyusun prolegnas, DPR RI berperan sebagai perantara atas kelompok konstituen tertentu sekaligus sebagai wali amanat yang kehadirannya merupakan representasi kehendak umum masyarakat. Penyusunannya juga melibatkan koordinasi dengan DPD dan Pemerintah.

Pada prakteknya ada beberapa kendala dalam Prolegnas RUU prioritas tahun 2021. Kendala itu antara lain ketidaksinkronan antara RPJPN, RPJMN, RKP dengan Prolegnas, jumlah rencana legislasi yang terlalu banyak untuk diselesaikan lima tahun, selalu muncul rencana legislasi baru setiap tahunnya, kriteria RUU prioritas terlalu umum, pada tingkat pelaksanaan penyusunan, substansi RUU, kualitas RUU, ketaatan jadwal legislasi, kesinambungan pembahasan, dan benturan kepentingan politik. 

Sementara Allan Fatchan Gani Wardhana menyebutkan prolegnas dari awal perencanaan sampai penetapan harus merujuk pada Pancasila dan UUD 1945 sebagai landasan konstitusi negara. Agenda konstitusi yang diterjemahkan melalui kebijakan pembentukan dan penetapan prolegnas meliputi penyempurnaan sistem ketatanegaraan dalam semua cabang kekuasaan, menata kembali prinsip check and balances antar cabang kekuasaan, serta memperkuat jaminan dan perlindungan HAM. 

Ia juga menekankan prolegnas yang diprioritaskan hendaknya sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat & ketatanegaraan. Legislatif juga perlu memperhatikan problem kelengkapan dokumen karena ada beberapa RUU yang tidak lengkap atau tidak sesuai pedoman, pengesahan prolegnas yang terlambat, kurangnya partisipasi baik formal maupun substansi, dan problem perwakilan baik formal maupun ide yang dapat dioptimalkan. 

Sedangkan, Wicipto Setiadi memaparkan ada 37 RUU prioritas prolegnas tahun 2020. Namun, hanya ada 13 UU yang disahkan dan ada beberapa yang berasal dari Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka (DKT) yakni UU Pengesahan Perjanjian Internasional ada 5 UU, kemudian UU APBN ada 2 UU, penetapan Perppu ada 2 UU. 

Penyampaian usulan RUU dilakukan secara tertulis dari Menteri Pemrakarsa ditujukan kepada Menteri Hukum dan HAM dengan melampirkan hardcopy naskah Akademik, RUU, Surat keterangan selesai penyelarasan NA, SK panitia antar kementerian/Non Kementerian, dan Surat keterangan selesai harmonisasi. (FHC/ESP)