Resiliensi Dunia Pendidikan di Era Disruptif

Jiwa mukmin - UII - berita kontrol kehamilan

Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia (FPSB UII) menggelar beragam kegiatan dalam rangka memperingati miladnya yang ke-27. Setelah sebelumnya diadakan pengajian, bakti sosial, dan pemberian penghargaan kepada mahasiswa berprestasi, berikutnya sebagai puncak kegiatan milad diisi dengan stadium general dengan menghadirkan Anindito Aditomo, S.Psi., M.Phil., Ph.D.

Mengangkat tema “Resiliensi Dunia Pendidikan di Era Disruptif”, Anindito mengawali materinya dengan menarik benang merah antara tema stadium general tersebut dengan Program Merdeka Belajar yang dicanangkan oleh kemendikbud ristek RI. Ia mengambil istilah Merdeka Belajar dan Resiliensi Sistem Pendidikan.

Apa itu merdeka belajar? ujar Anindito dalam acara yang digelar secara daring melalui zoom meeting dan disiarkan secara langsung dari kanal youtube Ikonisia TV ini. Disampaikan Anindito Merdeka Belajar adalah istilah yang digunakan untuk pendekatan yang dilakukan agar siswa dan mahasiswa dapat memilih fokus studi yang diminati. Menurutnya, merdeka belajar bukan sekadar program-program fisik, melainkan sebuah filosofi yang mengandung aspek cita-cita.

“Merdeka Belajar adalah sebuah filosofi yang ada aspek cita-ciitanya. Ada aspek pendekatannya juga,” tutur Anindito yang saat ini sebagai Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan pada kementerian Pendidikan, kebudayaan, riset, dan teknologi RI.

Anindito menjelaskan, sebagai sebuah cita-cita, Merdeka Belajar memiliki dua dimensi, yaitu dimensi kualitas dan dimensi keadilan, karena jika dipadatkan kedalam satu makna maka Merdeka Belajar membawa misi untuk mewujudkan Pendidikan yang berkualitas yang merata bagi semua anak Indonesia.

Merdeka Belajar, lanjut Anindito, dalam dimensi kualitas yang dimaksud adalah sebuah sistem pendidikan yang tidak hanya menyediakan sarana seperti bangunan, alat belajar, buku-buku penunjang dan lain sebagainya. Tetapi juga memastikan bahwa setelah siswa mendapatkan akses-akses pendidikan tersebut, akses tersebut diterjemahkan menjadi pengalaman belajar yang bermakna, relevan dan berguna bagi masa depan mereka.

Sementara dimensi keadilan melihat Merdeka Belajar sebagai sebuah kesempatan yang bisa didapat oleh semua anak, terlepas dari latar belakangnya. “Semuanya harus memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan akses yang berkualitas, jadi bukan sekadar bisa sekolah, tetapi bisa sekolah dan mendapatkan pengalaman belajar yang bermakna tadi,” ucapnya saat menekankan esensi keadilan dalam merdeka belajar.

Anindito melanjutkan bahwa fokus utama dari Merdeka Belajar ini adalah pengembangan karakter dan kompetensi dasar. Karena banyak sekali data yang menunjukkan kita belum berhasil dalam aspek tersebut. Sejak dulu kemampuan sistem pendidikan kita untuk memfasilitasi pembelajaran bagi karakter dan kompetensi yang paling mendasar seperti kemampuan memahami apa yang di baca masih sangat rendah.

Problem kesenjangan yang sangat serius. Jika dibandingkan secara kondisi sosial ekonomi, akan ada selisih satu setengah hingga dua tahun pembelajaran dalam hal kemampuan akademiknya. Termasuk dalam hal ini kemampuan untuk mengoperasikan perangkat teknologi belajar, seperti komputer ini menunjukkan bahwa kesenjangan antar kelompok sosial ekonomi di Indnonesia dari sisi kesempatan untuk mendapatkan kesempatan pengalaman belajar yang berkualitas itu tidak berkurang.

“Keadaan pandemi juga memperparah problem tersebut. Jika dibandingkan efektifitas pembelajaran sebelum dan sesudah pandemi maka ditemukan pengurangan hingga mencapai 40-60% pengurangannya,” jelasnya. (HM/RS)