Srawung Demokrasi #9 Bahas Dinamika Arah Politik Indonesia Era Prabowo

Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PSAD) Universitas Islam Indonesia kembali menyelenggarakan Srawung Demokrasi #9 pada Kamis (9/10) di Gedung Kuliah Umum Prof. Dr. Sardjito, Kampus Terpadu UII. Bertajuk “Membaca Arah Politik Indonesia Era Prabowo” acara ini sukses menarik perhatian peserta dari berbagai institusi. Srawung Demokrasi kali ini menghadirkan guru besar yang mendalami kajian Asia dari University of Melbourne, Prof. Vedi R. Hadiz, Ketua Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Abdul Gaffar Karim serta dimoderatori oleh Karina Utami Dewi, peneliti PSAD dan juga Ketua Program Studi Hubungan Internasional UII.

Menjelang satu tahun pemerintahan Prabowo Subianto, yang dilantik pada 20 Oktober 2024 lalu, arah politik yang ditempuhnya masih menyisakan kerancuan. Topik diskusi Srawung Demokrasi #9 kali ini menyoroti perubahan iklim politik nasional, melemahnya gerakan reformasi, serta tantangan demokrasi.

Kegiatan dibuka dengan sambutan Prof. Dr.rer.soc. Masduki, S.Ag., M.Si yang merupakan Kepala PSAD UII. Dalam sambutannya, Masduki mengungkapkan pentingnya forum akademik untuk membaca ulang arah demokrasi Indonesia pasca-reformasi. “Jadi, ini pusat studi yang memang diharapkan akan melibatkan teman-teman mahasiswa,” ucapnya.

Masduki juga menyinggung mengenai penangkapan aktivis sosial yang marak disebut kelanjutan dari September Kelabu dan juga program pemerintah tentang makanan bergizi gratis (MBG) yang semakin tidak jelas tujuan dan keberlanjutannya, “ada MBG yang ini sebetulnya beneran mau mendidik, atau ini adalah semacam proyek saja untuk pembagian kekuasaan dan ekonomi politik,” pungkasnya.

Sesi diskusi berlangsung dengan pembahasan beragam isu, mulai dari penangkapan aktivis, sentralisasi kekuasaan, hingga pelaksanaan program MBG yang dinilai sarat muatan politik. Narasumber pertama Prof. Vedi mengatakan bahwa masa pemerintahan Prabowo tak lagi bisa disebut dengan masa reformasi. Menurutnya, masa reformasi sudah berakhir, digantikan oleh masa yang belum jelas arah politiknya kemana. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya peristiwa penangkapan, dan perburuan masyarakat.

“Yang saya bilang dengan berakhirnya reformasi ini sebetulnya berkaitan dengan konsep yang sering saya kemukakan yaitu tentang oligarki,” ujar Prof. Vedi. Selanjutnya, Ia membahas mengenai oligarki yang terkadang disalahpahami oleh sebagian besar orang adalah cenderung merujuk kepada orang kaya. Sejatinya, oligarki adalah suatu sistem kekuasaan terstruktur yang ditandai oleh aliansi antara politisi, birokrasi, dan pengusaha besar. Prof. Vedi mengkritisi bahwa dulunya cita-cita reformasi bukan hanya menciptakan demokrasi, melainkan keadilan sosial. Nyatanya, sejak reformasi ketimpangan terus meningkat.

Dr. Gaffar menyoroti kemerosotan kualitas demokrasi di Indonesia yang menurutnya turut dipengaruhi oleh melemahnya peran mahasiswa dan masyarakat sipil. Ia menyebut bahwa mahasiswa kini cenderung diarahkan untuk fokus pada pencapaian akademik dan karier pribadi, bukan lagi pada fungsi kritis mengawasi kekuasaan. “Gerakan mahasiswa itulah yang sebenarnya mengizinkan oligarki direstentralisasi tanpa ada resistensi yang signifikan,” ujarnya.

Ia menggambarkan situasi ini seperti “kodok yang direbus hidup-hidup”, di mana mahasiswa tidak menyadari bahwa kondisi demokrasi terus memburuk. Menurutnya, sistem pendidikan dan lingkungan kampus kini membentuk pola yang membuat mahasiswa sibuk dengan IPK tinggi, lulus cepat, dan kegiatan ekonomi, sementara kesadaran politik dan sosial perlahan menghilang.

Setelah sesi diskusi berakhir, Dr. Gaffar berpesan kepada seluruh peserta yang hadir untuk meninjau kembali apa yang seharusnya dilakukan oleh mahasiswa, “Mari kita tinjau, tengok lagi apa yang sebenarnya bisa dimainkan oleh gerakan mahasiswa. Bagaimana menumbuhkan kesadaran kritis, bagaimana tidak fokus hanya kepada pencapaian diri sendiri, tapi gerakan mahasiswa kampus harus tetap bisa memainkan fungsi kontrol terhadap pemerintahan yang demokratis.” ucap Dr. Gaffar menutup sesi diskusi pada Srawung Demokrasi #9. (NKA/AHR/RS)