Kehadiran para doktor baru ini akan memperkuat posisi UII dalam ekosistem pendidikan tinggi—baik di tingkat nasional maupun global—melalui kontribusi akademik yang lebih bermakna, relevan, dan berguna bagi masyarakat luas.
Hingga akhir tahun 2025, UII tercatat memiliki 254 dosen bergelar doktor, atau 32,60% dari total 779 dosen yang mengabdi di universitas ini. Angka ini bukan hanya sebuah statistik, tetapi bukti konsistensi UII dalam membangun fondasi akademik yang kuat.
Selain itu, saat ini terdapat 202 dosen UII yang sedang menempuh studi doktoral di berbagai perguruan tinggi bergengsi, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Berdasarkan proyeksi yang realistis, jumlah dosen berpendidikan doktor di UII ke depan berpotensi mencapai 456 orang, atau sekitar 58,54% dari total dosen.
Pertumbuhan ini menunjukkan dua hal penting: pertama, komitmen institusi untuk terus berinvestasi pada pengembangan sumber daya manusia akademik; dan kedua, kesungguhan para dosen untuk meningkatkan kapasitas diri sebagai ilmuwan dan pendidik.
Dengan bertambahnya jumlah doktor, UII semakin memiliki modal intelektual yang kuat untuk mendorong riset bermutu, memperluas jejaring akademik, dan menghasilkan inovasi yang relevan bagi masyarakat.
Keragaman tradisi
UII dengan penuh rasa syukur menyambut 33 doktor baru yang telah berhasil menuntaskan studi S3 di berbagai perguruan tinggi, baik di dalam maupun di luar negeri. Selain dari beragam perguruan tinggi di Indonesia, sebagian doktor lulusan tahun 2025 ini juga menempuh pendidikan di beragam kawasan dunia—mulai dari Australia, Brunei Darussalam, Estonia, Jepang, Korea, Malaysia, Swedia, Turki, hingga Inggris—yang semuanya memberikan pengayaan perspektif dan pengalaman akademik yang sangat berharga.
Dari 33 doktor baru tersebut, 16 dosen menyelesaikan studi di universitas dalam negeri, sementara 17 lainnya meraih gelar doktor dari perguruan tinggi luar negeri.
Keberagaman lintasan akademik para doktor baru ini sungguh mencerminkan keluasan orientasi intelektual UII serta keterbukaan kita terhadap kolaborasi dan pertumbuhan nasional dan global. Para doktor baru kembali dengan pengalaman belajar yang beragam, dengan perspektif yang dibentuk oleh dialog lintas negara, lintas budaya, dan lintas tradisi keilmuan.
Dalam banyak hal, keberagaman ini dapat kita ibaratkan seperti hutan multikultur—sebuah ekosistem yang terdiri atas pepohonan dari berbagai jenis, yang tumbuh berdampingan, saling menguatkan, dan menciptakan ketahanan yang jauh lebih kokoh dibandingkan hutan monokultur.
Hutan multikultur mampu menahan badai lebih baik, memulihkan diri lebih cepat, memberikan manfaat ekologis yang lebih luas, dan menjadi sumber kehidupan bagi lebih banyak makhluk.
Demikian pula UII: keberagaman keilmuan, latar pendidikan, dan pengalaman nasional dan internasional para doktor baru menjadikan universitas ini lebih resilien, lebih subur secara intelektual, dan lebih siap menghadapi tantangan zaman.
Saya meyakini bahwa ragam latar belakang pendidikan tersebut tidak hanya memperkaya pandangan keilmuan di lingkungan UII, tetapi juga membuka jalan bagi jejaring kolaborasi yang semakin luas dan strategis.
Perjalanan untuk mencapai gelar doktor tidak hanya menuntut ketekunan, tetapi juga kedewasaan intelektual. Gelar ini menandai kesiapan para doktor baru untuk menjadi penjaga nalar publik dan penggerak transformasi di lingkungan akademik maupun masyarakat luas.
Dampak riset
Dalam beberapa tahun terakhir, kita melihat kuatnya dorongan nasional untuk menilai dampak riset terutama melalui hilirisasi—komersialisasi, penciptaan produk, atau kontribusi ekonomi. Hilirisasi tentu penting, namun jangan sampai kita justru menyempitkan makna riset.
Terdapat empat alasan mendasar mengapa pendekatan tersebut tidak memadai.
Pertama, riset menghasilkan dampak yang jauh lebih luas daripada komersialisasi. Ada dampak ilmiah yang memperkuat teori dan pengetahuan; dampak sosial yang mengubah praktik dan perilaku; dampak kebijakan yang memperbaiki regulasi; hingga dampak budaya dan lingkungan yang menjaga keberlanjutan kehidupan. Jika hanya dilihat dari hilirisasinya, kita mengabaikan kontribusi riset lain yang tidak kalah penting bagi masyarakat.
Kedua, pendekatan hilirisasi tidak adil bagi banyak disiplin ilmu. Humaniora, ilmu sosial, hukum, pendidikan, dan studi keagamaan tidak selalu berujung pada produk industri, tetapi memberikan kontribusi besar melalui pemikiran kritis, transformasi sosial, dan penguatan moral masyarakat. Jika kita memaksakan hilirisasi sebagai satu-satunya indikator, kita justru meminggirkan banyak disiplin.
Ketiga, hilirisasi lebih menekankan output jangka pendek—prototipe, paten, atau produk. Padahal banyak dampak riset yang bersifat outcome jangka panjang: perubahan sistem, peningkatan kualitas institusi, penguatan kapasitas masyarakat, dan perbaikan tata kelola. Dampak semacam ini tidak dapat direkam oleh indikator hilirisasi tetapi tetap menjadi kontribusi penting.
Keempat, perguruan tinggi bukanlah pabrik inovasi komersial. Universitas adalah rumah pencarian kebenaran, ruang dialog intelektual, dan tempat menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan. Jika dampak riset direduksi hanya pada hilirisasi, universitas dapat kehilangan orientasi dasar sebagai institusi pengetahuan yang melayani kepentingan publik. Kita harus memastikan bahwa inovasi tidak menggeser integritas, dan bahwa perkembangan teknologi tetap berpijak pada nilai-nilai perenial, kemanusiaan, dan kebangsaan.
Empat argumen tersebut bukan hanya kerangka pikir, tetapi penanda tanggung jawab. Para doktor baru telah memasuki fase baru pengabdian ilmiah. Saya berharap para doktor baru menjadi ilmuwan yang mampu melihat dampak riset secara utuh—yang tidak hanya mengejar produk, tetapi juga mengejar perubahan sosial, memperkuat nilai, dan membangun masa depan bangsa.
Keragaman perspektif ini, menurut saya, diperlukan untuk tetap menjaga akal sehat lembaga pendidikan tinggi. Tentu, perspektif yang baru saja saya sampaikan tidak lantas mengerdilkan arti penting hilirisasi.
Saya berharap, para doktor baru akan memajukan ilmu pengetahuan tanpa kehilangan orientasi kemaslahatan; yang menghadirkan inovasi tanpa melupakan integritas; dan yang memadukan keunggulan akademik dengan kepedulian terhadap sesama.
UII berharap kehadiran para doktor baru akan memperkuat ekosistem riset yang inklusif, berakar pada nilai, dan berdampak luas bagi masyarakat. Selamat pulang kampus di Universitas Islam Indonesia.
Semoga Allah Swt. meridai setiap langkah kita dalam memajukan ilmu dan memuliakan kehidupan.
Sambutan pada acara penyambutan doktor baru Universitas Islam Indonesia, 11 Desember 2025
Fathul Wahid
Rektor Universitas Islam Indonesia 2022-2026
Dampak Riset Tidak Hanya Hilirisasi
Kehadiran para doktor baru ini akan memperkuat posisi UII dalam ekosistem pendidikan tinggi—baik di tingkat nasional maupun global—melalui kontribusi akademik yang lebih bermakna, relevan, dan berguna bagi masyarakat luas.
Hingga akhir tahun 2025, UII tercatat memiliki 254 dosen bergelar doktor, atau 32,60% dari total 779 dosen yang mengabdi di universitas ini. Angka ini bukan hanya sebuah statistik, tetapi bukti konsistensi UII dalam membangun fondasi akademik yang kuat.
Selain itu, saat ini terdapat 202 dosen UII yang sedang menempuh studi doktoral di berbagai perguruan tinggi bergengsi, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Berdasarkan proyeksi yang realistis, jumlah dosen berpendidikan doktor di UII ke depan berpotensi mencapai 456 orang, atau sekitar 58,54% dari total dosen.
Pertumbuhan ini menunjukkan dua hal penting: pertama, komitmen institusi untuk terus berinvestasi pada pengembangan sumber daya manusia akademik; dan kedua, kesungguhan para dosen untuk meningkatkan kapasitas diri sebagai ilmuwan dan pendidik.
Dengan bertambahnya jumlah doktor, UII semakin memiliki modal intelektual yang kuat untuk mendorong riset bermutu, memperluas jejaring akademik, dan menghasilkan inovasi yang relevan bagi masyarakat.
Keragaman tradisi
UII dengan penuh rasa syukur menyambut 33 doktor baru yang telah berhasil menuntaskan studi S3 di berbagai perguruan tinggi, baik di dalam maupun di luar negeri. Selain dari beragam perguruan tinggi di Indonesia, sebagian doktor lulusan tahun 2025 ini juga menempuh pendidikan di beragam kawasan dunia—mulai dari Australia, Brunei Darussalam, Estonia, Jepang, Korea, Malaysia, Swedia, Turki, hingga Inggris—yang semuanya memberikan pengayaan perspektif dan pengalaman akademik yang sangat berharga.
Dari 33 doktor baru tersebut, 16 dosen menyelesaikan studi di universitas dalam negeri, sementara 17 lainnya meraih gelar doktor dari perguruan tinggi luar negeri.
Keberagaman lintasan akademik para doktor baru ini sungguh mencerminkan keluasan orientasi intelektual UII serta keterbukaan kita terhadap kolaborasi dan pertumbuhan nasional dan global. Para doktor baru kembali dengan pengalaman belajar yang beragam, dengan perspektif yang dibentuk oleh dialog lintas negara, lintas budaya, dan lintas tradisi keilmuan.
Dalam banyak hal, keberagaman ini dapat kita ibaratkan seperti hutan multikultur—sebuah ekosistem yang terdiri atas pepohonan dari berbagai jenis, yang tumbuh berdampingan, saling menguatkan, dan menciptakan ketahanan yang jauh lebih kokoh dibandingkan hutan monokultur.
Hutan multikultur mampu menahan badai lebih baik, memulihkan diri lebih cepat, memberikan manfaat ekologis yang lebih luas, dan menjadi sumber kehidupan bagi lebih banyak makhluk.
Demikian pula UII: keberagaman keilmuan, latar pendidikan, dan pengalaman nasional dan internasional para doktor baru menjadikan universitas ini lebih resilien, lebih subur secara intelektual, dan lebih siap menghadapi tantangan zaman.
Saya meyakini bahwa ragam latar belakang pendidikan tersebut tidak hanya memperkaya pandangan keilmuan di lingkungan UII, tetapi juga membuka jalan bagi jejaring kolaborasi yang semakin luas dan strategis.
Perjalanan untuk mencapai gelar doktor tidak hanya menuntut ketekunan, tetapi juga kedewasaan intelektual. Gelar ini menandai kesiapan para doktor baru untuk menjadi penjaga nalar publik dan penggerak transformasi di lingkungan akademik maupun masyarakat luas.
Dampak riset
Dalam beberapa tahun terakhir, kita melihat kuatnya dorongan nasional untuk menilai dampak riset terutama melalui hilirisasi—komersialisasi, penciptaan produk, atau kontribusi ekonomi. Hilirisasi tentu penting, namun jangan sampai kita justru menyempitkan makna riset.
Terdapat empat alasan mendasar mengapa pendekatan tersebut tidak memadai.
Pertama, riset menghasilkan dampak yang jauh lebih luas daripada komersialisasi. Ada dampak ilmiah yang memperkuat teori dan pengetahuan; dampak sosial yang mengubah praktik dan perilaku; dampak kebijakan yang memperbaiki regulasi; hingga dampak budaya dan lingkungan yang menjaga keberlanjutan kehidupan. Jika hanya dilihat dari hilirisasinya, kita mengabaikan kontribusi riset lain yang tidak kalah penting bagi masyarakat.
Kedua, pendekatan hilirisasi tidak adil bagi banyak disiplin ilmu. Humaniora, ilmu sosial, hukum, pendidikan, dan studi keagamaan tidak selalu berujung pada produk industri, tetapi memberikan kontribusi besar melalui pemikiran kritis, transformasi sosial, dan penguatan moral masyarakat. Jika kita memaksakan hilirisasi sebagai satu-satunya indikator, kita justru meminggirkan banyak disiplin.
Ketiga, hilirisasi lebih menekankan output jangka pendek—prototipe, paten, atau produk. Padahal banyak dampak riset yang bersifat outcome jangka panjang: perubahan sistem, peningkatan kualitas institusi, penguatan kapasitas masyarakat, dan perbaikan tata kelola. Dampak semacam ini tidak dapat direkam oleh indikator hilirisasi tetapi tetap menjadi kontribusi penting.
Keempat, perguruan tinggi bukanlah pabrik inovasi komersial. Universitas adalah rumah pencarian kebenaran, ruang dialog intelektual, dan tempat menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan. Jika dampak riset direduksi hanya pada hilirisasi, universitas dapat kehilangan orientasi dasar sebagai institusi pengetahuan yang melayani kepentingan publik. Kita harus memastikan bahwa inovasi tidak menggeser integritas, dan bahwa perkembangan teknologi tetap berpijak pada nilai-nilai perenial, kemanusiaan, dan kebangsaan.
Empat argumen tersebut bukan hanya kerangka pikir, tetapi penanda tanggung jawab. Para doktor baru telah memasuki fase baru pengabdian ilmiah. Saya berharap para doktor baru menjadi ilmuwan yang mampu melihat dampak riset secara utuh—yang tidak hanya mengejar produk, tetapi juga mengejar perubahan sosial, memperkuat nilai, dan membangun masa depan bangsa.
Keragaman perspektif ini, menurut saya, diperlukan untuk tetap menjaga akal sehat lembaga pendidikan tinggi. Tentu, perspektif yang baru saja saya sampaikan tidak lantas mengerdilkan arti penting hilirisasi.
Saya berharap, para doktor baru akan memajukan ilmu pengetahuan tanpa kehilangan orientasi kemaslahatan; yang menghadirkan inovasi tanpa melupakan integritas; dan yang memadukan keunggulan akademik dengan kepedulian terhadap sesama.
UII berharap kehadiran para doktor baru akan memperkuat ekosistem riset yang inklusif, berakar pada nilai, dan berdampak luas bagi masyarakat. Selamat pulang kampus di Universitas Islam Indonesia.
Semoga Allah Swt. meridai setiap langkah kita dalam memajukan ilmu dan memuliakan kehidupan.
Sambutan pada acara penyambutan doktor baru Universitas Islam Indonesia, 11 Desember 2025
Fathul Wahid
Rektor Universitas Islam Indonesia 2022-2026
Perkuat Kesadaran Demokratis Mahasiswa, PSAD UII Gelar School of Democracy and Diversity #3
Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PSAD) Universitas Islam Indonesia (UII) rmenyelenggarakan School of Democracy and Diversity (SDD) edisi ketiga pada Jumat-Sabtu (19-20/12) di Sokkyo Homestay, sebagai upaya memperkuat kesadaran demokratis di tengah keragaman bangsa. Kegiatan yang diikuti oleh 25 aktivis mahasiswa lintas agama dan suku ini menghadirkan tokoh-tokoh nasional serta akademisi terkemuka untuk mendiskusikan peran agama dalam harmoni sosial serta tantangan politik identitas di era modern. Melalui pelatihan intensif selama dua hari, para peserta diharapkan mampu menjadi pionir dalam membangun masyarakat Indonesia yang lebih inklusif, toleran, dan damai.
Sesi pertama diawali dengan pemaparan materi mengenai pengetahuan fundamental (fundamental knowledge) oleh Hangga Fathana, S.IP., B.Int.St., M.A., peneliti PSAD UII. Dalam sesi ini, Ia memberikan pengantar mendalam mengenai konsep demokrasi dan keberagaman sebagai landasan utama kegiatan. Materi tersebut menyoroti potret demokrasi di Indonesia yang menghadapi tantangan substantif seperti polarisasi sosial dan konflik antar kelompok pasca-reformasi. Sesi ini dirancang interaktif agar aktivis mahasiswa dapat membangun kesadaran kritis dalam bingkai keberagaman. Diskusi mengalir dengan berbagai pembahasan, seperti pertimbangan dampak pendidikan terhadap nilai moral, pengaruh media terhadap opini publik dan ketidaksetaraan sosial dan demokrasi.
Memasuki sesi kedua, diskusi semakin mendalam dengan pembahasan mengenai prinsip dan urgensi demokrasi yang disampaikan oleh Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U., M.I.P. Prof Mahfud yang kebetulan berhalangan hadir memberikan sesi materi melalui video yang direkam dan ditampilkan kepada peserta lewat proyektor. Pada sesi ini, Prof. Mahfud menekankan tidak perlu perdebatan apakah demokrasi itu hal yang baik atau buruk.
“Urusan baik atau buruk, tepat atau salah, demokrasi itu sudah diputuskan melalui diskusi yang panjang penuh retorik serta argumentatif dulu oleh para pendiri kita,” ucap Prof Mahfud membuka sesi diskusi. Selain membedah sejarah demokrasi, sesi ini mengidentifikasi berbagai problem aktual yang membayangi praktik demokrasi di Indonesia guna memberikan pemahaman kepada peserta bahwa demokrasi merupakan kebutuhan mendesak bagi bangsa yang plural.
Pada sesi ketiga, pembahasan berlanjut dengan fokus pada sejarah dan kontekstualisasi perjalanan demokrasi di Indonesia oleh Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum. Prof Ni’matul menguraikan linimasa perkembangan demokrasi tanah air serta membedah berbagai mazhab, mulai dari liberal hingga transisi (flawed). Prof. Ni’matul juga menyoroti tantangan nyata dalam praktik pemilihan umum daerah di Indonesia. Melalui perspektif hukum tata negara, peserta diajak memahami bahwa demokrasi adalah proses yang dinamis dan terus menghadapi ujian sesuai konteks sosiopolitik yang ada.
Penyelenggaraan SDD #3 ini kembali menegaskan komitmen Pusat Studi Agama dan Demokrasi UII dalam mengawal narasi demokrasi yang sehat di Indonesia. Dengan mempertemukan mahasiswa dari berbagai latar belakang, kegiatan ini menjadi tempat bertukar pikiran guna menyatukan perbedaan. PSAD UII berharap inisiatif ini dapat terus berkelanjutan guna mencetak pemimpin masa depan yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki empati sosial dalam menjaga harmoni di tengah keberagaman bangsa. (NKA/AHR/RS)
UII Kukuhkan Tiga Guru Besar
Universitas Islam Indonesia (UII) kembali mengukuhkan tiga guru besar terdiri atas dua dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) yaitu Prof. Dr. apt. Vitarani Dwi Ananda Ningrum, S.Si., M.Si dalam bidang Farmasi Klinis dan Farmakoterapi dan Prof. apt. Suci Hanifah, S.F., M.Si., Ph.D dalam bidang Farmasi Klinis serta satu dari Fakultas Teknologi Industri yaitu Prof. Dr. Sri Kusumadewi, S.Si., M.T dalam bidang Sistem Pendukung Keputusan Klinis. Ketiganya menyampaikan pidato pengukuhan pada Kamis (18/12) di Auditorium Prof. K.H. Abdul Kahar Muzakkir, Kampus Terpadu UII.
Pengobatan Presisi: Translasi Bench to Bedside untuk Meningkatkan Keselamatan Pasien
Dalam pidato pengukuhannya bertajuk “Pengobatan Presisi: Translasi Bench to Bedside untuk Meningkatkan Keselamatan Pasien”, Prof. Vitarani menyinggung tentang pengobatan presisi yang merupakan upaya pengobatan yang lebih menekankan pada keselamatan pasien jika dibandingkan dengan pengobatan yang konvensional atau pendekatan “satu ukuran untuk semua” (one-size-fits-all).
“Pendekatan one-size-fits-all yang terjadi akibat keterbatasan pengetahuan dan teknologi telah ditinggalkan menuju ke pengobatan presisi. Istilah pengobatan presisi (precision medicine) sendiri mulai dikenalkan melalui Human Genome Project (HGP) yang resmi diluncurkan pada tahun 1990 yang menekankan keutamaan pertimbangan variabilitas individu dalam gen, lingkungan, dan gaya hidup dalam keputusan pengobatan,” jelasnya.
Dari hal ini, Prof. Vitarani menekankan pengobatan presisi ini penting untuk didukung pemerintah melalui program nasional dengan melibatkan semua fasilitas kesehatan yang lengkap dan kapasitas SDM yang handal. Menurutnya, pengobatan presisi ini perlu diberlakukan untuk semua warga negara Indonesia dengan tetap menjunjung tinggi prinsip etik, berkeadilan serta berorientasi pada kemaslahatan.
“Melalui integrasi pengobatan presisi dengan akal imitasi (AI) di Indonesia melalui Healthcare AI Hackathon 2025 diharapkan dapat menyediakan algorime prediksi keamanan dan efektivitas penggunaan obat berbasis maha data pasien yang memerlukan komitmen bersama dalam mewujudkannya,” harap Prof. Vitarani.
Apoteker dan Keamanan Terapi Parenteral pada Perawatan Kritis
Dalam kesempatan yang sama, Prof. Suci Hanifah memberikan pidato pengukuhannya bertajuk “Apoteker dan Keamanan Terapi Parenteral pada Perawatan Kritis” menekankan pentingnya peran apoteker dalam menjamin keamanan dan efektivitas terapi parenteral, khususnya pada pasien dengan kondisi kritis.
Prof. Suci menjelaskan bahwa terapi parenteral merupakan fondasi utama perawatan pasien kritis di unit perawatan intensif (ICU) dimana hampir seluruh intervensi farmakologis pada pasien dengan kondisi mengancam nyawa diberikan melalui jalur ini karena cepat, invasif, dan tanpa toleransi terhadap kesalahan, Namun memiliki risiko tinggi jika tidak dikelola dengan tepat. “Terapi parenteral bukan semata persoalan teknis pemberian obat, tetapi persoalan etik dan sistemik yang menuntut perhatian serius karena berdampak langsung pada keselamatan pasien,” ujarnya.
Menurut Prof. Suci, kompleksitas terapi pada pasien kritis diperparah oleh perubahan fisiologis yang ekstrem serta penggunaan banyak obat intravena secara bersamaan, sehingga meningkatkan potensi kesalahan farmakoterapi dan inkompatibilitas obat.
Oleh karena itu, Ia menegaskan pentingnya keterlibatan apoteker secara aktif dalam tim perawatan kritis. “Apoteker harus hadir sebagai penjaga rasionalitas terapi dan keamanan sistem, bukan hanya sebagai penyedia obat,” tegasnya.
Mewujudkan Layanan Kesehatan Primer Cerdas dan Inklusif Melalui Sistem Pendukung Keputusan Berbasis Data
Dalam pidato pengukuhannya bertajuk «Mewujudkan Layanan Kesehatan Primer Cerdas dan Inklusif Melalui Sistem Pendukung Keputusan Berbasis Data», Prof. Sri Kusumadewi, menekankan pentingnya pemanfaatan Sistem Pendukung Keputusan Klinis (SPKK) berbasis data dalam meningkatkan kualitas layanan kesehatan, khususnya pada layanan kesehatan primer yang inklusif dan berkelanjutan.
Ia menjelaskan bahwa SPKK dirancang untuk membantu tenaga kesehatan dalam pengambilan keputusan medis, mulai dari diagnosis, pemilihan terapi, hingga pemantauan pasien. “Sistem pendukung keputusan klinis dapat memberikan rekomendasi yang informatif dan tepat untuk mendukung keputusan medis yang bersifat kritis,” jelasnya.
Menurut Prof. Cici, begitu sapaan akrab dari Prof. Sri Kusumadewi, pengembangan SPKK di Indonesia sejalan dengan transformasi layanan kesehatan melalui Program Integrasi Layanan Primer (ILP) dan platform SatuSehat yang memungkinkan interoperabilitas data kesehatan lintas fasilitas. Dengan integrasi tersebut, deteksi dini penyakit dan pemantauan kelompok rentan seperti balita, ibu hamil, dan lansia dapat dilakukan secara lebih sistematis dan berbasis data.
Lebih lanjut, Prof. Sri menegaskan bahwa penerapan SPKK juga mendukung pendekatan promotif dan preventif melalui deteksi dini berbagai kondisi kesehatan, serta membantu tenaga kesehatan menyesuaikan intervensi secara lebih adaptif dan berbasis data. “Pemanfaatan sistem pendukung keputusan klinis memungkinkan layanan kesehatan menjadi lebih responsif, terintegrasi, dan berorientasi pada kebutuhan pasien,” ujarnya. menambahkan bahwa pengembangan dan implementasi SPKK oleh UII telah dimanfaatkan dalam layanan kesehatan berbasis masyarakat di Tirtorahayu, Galur, Kulon Progo serta pada kegiatan Posbindu sivitas akademika FTI UII. (AHR/RS)
SP UII Selenggarakan Pelatihan Penanganan Perkara di Lingkungan Kampus
Sekretariat Pimpinan (SP) Universitas Islam Indonesia (UII) mengadakan Pelatihan Penanganan Perkara di Lingkungan UII dalam rangka penguatan kompetensi dan peningkatan etos layanan, pada Rabu (17/12) di Gedung Kuliah Umum Prof. Dr. Sardjito, Kampus Terpadu UII. Pelatihan ini menghadirkan sejumlah narasumber dari berbagai bidang, yakni Kepala Badan Etika dan Hukum UII Anang Zubaidy, S.H., M.H.; dosen Jurusan Psikologi UII Dr. Retno Kumolohadi, S.Psi., M.Si., Psikolog dan Rr. Indahria Sulistya Rini, S.Psi., M.A., Psikolog; serta dosen Fakultas Hukum (FH) UII sekaligus Ketua DPC PERADI Kota Yogyakarta Dr. Ariyanto, S.H., C.N., M.H.
Sekretaris Eksekutif UII, Hangga Fathana, S.IP., B.Int.St., M.A., menyampaikan bahwa pelatihan ini menjadi momentum penting karena perguruan tinggi tidak hanya berfungsi sebagai penghasil pengetahuan, tetapi juga sebagai ruang pembentukan nilai-nilai etika. “Setiap proses di lingkungan perguruan tinggi perlu dijaga agar tetap stabil, andal, dan bermanfaat bagi banyak pihak,” ungkapnya.
Ia berharap pelatihan ini dapat meningkatkan pemahaman dan kesadaran akan pentingnya prosedur penanganan perkara yang tepat di lingkungan universitas. “Kegiatan ini tidak hanya memberikan pemahaman teknis, tetapi juga menumbuhkan kepercayaan dalam menjalankan layanan yang profesional dan berintegritas,” harap Hangga.
Menjaga Kerahasiaan, Netralitas, dan Praduga Tidak Bersalah
Materi pertama dibawakan oleh Dr. Ariyanto, S.H., C.N., M.H. yang menegaskan pentingnya prinsip kerahasiaan, inparsialitas, dan praduga tidak bersalah dalam setiap proses penanganan perkara. Prinsip-prinsip ini dinilai sebagai fondasi etika dan hukum agar proses berjalan adil bagi semua pihak.
Ariyanto menyampaikan bahwa kerahasiaan bertujuan melindungi martabat dan keamanan korban. “Identitas korban harus dijaga untuk mencegah trauma berulang dan stigma sosial,” sebagaimana ditekankan dalam prinsip penanganan perkara berbasis korban dan hak asasi manusia.
Selain itu, aparat penegak disiplin kampus dituntut bersikap objektif dan tidak memihak. Inparsialitas diperlukan agar setiap keputusan benar-benar didasarkan pada fakta dan aturan yang berlaku, bukan tekanan internal maupun eksternal.
Terkait praduga tidak bersalah, pemateri menegaskan bahwa setiap terlapor tetap memiliki hak hukum. “Setiap orang dianggap tidak bersalah sampai ada putusan yang berkekuatan hukum tetap. Prinsip ini adalah benteng terakhir perlindungan hak individu,” tegasnya.
Pendekatan Berbasis Korban sebagai Paradigma Penanganan Perkara
Selain aspek regulasi, pelatihan juga menyoroti pentingnya pendekatan berbasis korban (victim-centered approach) dalam penanganan perkara di lingkungan kampus. Pendekatan ini menempatkan korban sebagai subjek utama yang kebutuhannya harus diprioritaskan sejak tahap pelaporan hingga pemulihan.
Dr. Retno Kumolohadi, S.Psi., M.Si., Psikolog menjelaskan bahwa pendekatan berbasis korban bertujuan mencegah reviktimisasi. “Korban tidak hanya membutuhkan keadilan hukum, tetapi juga rasa aman, pengakuan, dan pemulihan psikologis,” jelasnya dalam sesi pelatihan.
Ia menekankan bahwa kasus perundungan, pelanggaran etika akademik, dan kekerasan seksual dapat menimbulkan dampak serius terhadap kesehatan mental korban. Dampak tersebut meliputi kecemasan, depresi, hingga gangguan stres pascatrauma yang berpengaruh langsung pada keberlanjutan pendidikan korban.
“Pendekatan ini mengajak korban berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan yang menyangkut dirinya,” kata Retno. Menurutnya, layanan penanganan harus bersifat holistik, mencakup aspek psikologis, sosial, dan hukum secara terintegrasi.
Pendalaman Regulasi Penanganan Kekerasan di Lingkungan Kampus
Lebih lanjut, Anang Zubaidy sebagai narasumber ketiga menekankan pentingnya pemahaman regulasi nasional dan internal kampus dalam menangani berbagai bentuk kekerasan. Salah satu regulasi utama yang dibahas adalah Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan di perguruan tinggi.
Anang menjelaskan bahwa peningkatan kesadaran hukum di kampus berbanding lurus dengan meningkatnya pelanggaran disiplin. Oleh karena itu, perguruan tinggi dituntut memiliki sistem penanganan yang jelas, adil, dan berorientasi pada perlindungan seluruh warga kampus.
Dalam regulasi tersebut, kekerasan didefinisikan secara luas, mulai dari kekerasan fisik, psikis, perundungan, kekerasan seksual, hingga kebijakan yang mengandung unsur kekerasan. “Penanganan kasus tidak boleh parsial, tetapi harus berpijak pada prinsip kepastian hukum dan keadilan substantif,” tegas Anang dalam paparannya.
Ia juga menambahkan bahwa regulasi internal UII telah diselaraskan dengan kebijakan nasional. “UII memiliki aturan disiplin pegawai dan mahasiswa yang secara tegas mengatur mekanisme penanganan, sanksi, dan perlindungan korban,” ujarnya.
Pelatihan dilanjutkan dengan diskusi kelompok yang dipimpin oleh Rr. Indahria Sulistya Rini, S.Psi., M.A., Psikolog. Dalam sesi ini, setiap kelompok diberikan studi kasus untuk dianalisis menggunakan sejumlah indikator pemecahan masalah, mulai dari identifikasi permasalahan hingga penentuan tindak lanjut yang tepat.
Melalui pelatihan ini, dosen dan tenaga kependidikan di lingkungan Sekretariat Pimpinan UII diharapkan menjadi lebih peka, responsif, dan profesional dalam menangani berbagai persoalan di lingkungan kerja, khususnya yang berkaitan dengan etika, disiplin, dan penanganan perkara secara adil serta berintegritas. (AHR/RS)
UII Resmi Kukuhkan Dua Guru Besar Baru
Universitas Islam Indonesia (UII) kembali mengukuhkan dua guru besar dari Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan (FTSP) yaitu Prof. Eko Siswoyo, S.T., M.Sc.ES., Ph.D., IPU dalam bidang rekayasa pengolahan air dan limbah serta dari Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Prof. Dr. Drs. Yusdani, M.Ag dalam bidang hukum perdata Islam. Dua guru besar ini menyampaikan pidato pengukuhan pada Selasa (16/12) di Auditorium Prof. K.H. Abdul Kahar Muzakkir, Kampus Terpadu UII.
Inovasi Pengolahan Air dan Limbah Berkelanjutan Menggunakan Adsorben Ramah Lingkungan
Dalam pidato pengukuhannya yang bertajuk “Inovasi Pengolahan Air dan Limbah Berkelanjutan Menggunakan Adsorben Ramah Lingkungan”, Prof. Eko Siswoyo menyoroti Pertumbuhan populasi penduduk yang cepat dan industrialisasi yang tak terbendung saat ini menjadikan kualitas sumber daya air kita terancam secara signifikan. Di berbagai lokasi di dunia, termasuk Indonesia, sungai dan sumber air lainnya telah mengalami pencemaran yang parah akibat limbah rumah tangga dan limbah industri yang tidak dikelola dengan baik
“Pencemaran sungai dan sumber air oleh limbah domestik maupun industri, terutama yang mengandung logam berat seperti kadmium, timbal, dan kromium, dapat berdampak buruk bagi kesehatan manusia. Kontak dengan logam berat ini dapat mengakibatkan kerusakan ginjal, gangguan sistem saraf, hingga berbagai jenis kanker,” ungkapnya.
Menurutnya, kondisi tersebut menuntut pengembangan teknologi pengolahan air yang efektif, efisien, dan mudah diterapkan. Salah satu solusi yang disoroti adalah teknologi adsorpsi menggunakan adsorben ramah lingkungan berbasis biomassa dan limbah. Prof. Eko menyebut metode ini memiliki keunggulan dari sisi biaya, kemudahan operasional, serta kemampuan tinggi dalam menyerap polutan berbahaya, terutama logam berat.
Lebih lanjut, Prof. Eko memperkenalkan inovasi adsorben berbentuk serat (fiber) yang dikembangkannya. Berbeda dengan adsorben serbuk, adsorben fiber lebih mudah dipisahkan dari air setelah proses pengolahan dan berpotensi untuk digunakan kembali, sehingga lebih praktis dan berkelanjutan.
“Inovasi ini diharapkan dapat menjadi solusi pengolahan air yang murah, mudah, dan memiliki efisiensi tinggi, khususnya untuk menjawab keterbatasan teknologi dan biaya di masyarakat,” tutup Prof. Eko.
Realitas Baru dan Masa Depan Indonesia Berbasis Islam Peradaban
Pada kesempatan yang sama, Dalam pidatonya yang bertajuk “Realitas Baru dan Masa Depan Indonesia Berbasis Islam Peradaban” Prof. Yusdani menekankan pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap hasil reformasi konstitusi UUD NRI Tahun 1945, baik dari sisi substansi maupun implementasinya dalam praktik penyelenggaraan negara.
Menurut Prof. Yusdani, perubahan konstitusi merupakan hal yang lumrah dalam negara demokratis. Ia menegaskan bahwa bangsa Indonesia perlu terus bergerak maju melalui mekanisme perubahan UUD yang konstitusional, bukan kembali ke format lama. “Perubahan Undang-Undang Dasar adalah bagian dari dinamika negara konstitusional dan telah diatur secara resmi dalam UUD 1945,” ujarnya.
Lebih lanjut, Prof. Yusdani menyoroti adanya sebagian kelompok masyarakat, termasuk umat Islam yang masih memandang konstitusi sebagai produk sekuler sehingga melahirkan mentalitas “luar pagar”. Ia menegaskan bahwa konstitusi sejatinya merupakan kesepakatan bersama yang memuat nilai-nilai luhur dan bersifat inklusif. “Demokrasi sejati harus berjalan sesuai konstitusi, karena itulah yang disebut demokrasi konstitusional,” katanya.
Dalam konteks keislaman, Prof. Yusdani menekankan perlunya dialog antara nilai-nilai Islam dan nilai dasar konstitusi. Ia menegaskan bahwa nilai keadilan, kemanusiaan, dan kemaslahatan yang terkandung dalam UUD 1945 sejatinya selaras dengan ajaran Islam. “Tantangan umat Islam hari ini bukan formalisasi simbolik, tetapi bagaimana menghidupkan nilai konstitusi secara adil dan jujur,” tegasnya.
Menutup pidatonya, Prof. Yusdani mengajak umat Islam untuk berperan aktif dalam memperkuat etika, integritas, dan kejujuran dalam penyelenggaraan negara. Ia menegaskan bahwa kesetiaan terhadap konstitusi merupakan bagian dari komitmen moral dan kebangsaan, sehingga Islam dan konstitusi dapat berjalan saling melengkapi dalam bingkai Pancasila dan UUD 1945. (AHR/RS)
Kupas Tuntas Lupus: Penyakit Autoimun Kronis yang Menyerang Multi-Sistem
Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Islam Indonesia (UII) menyelenggarakan Webinar Pengabdian Masyarakat dengan tema “Systemic Lupus Erythematosus (SLE): Deteksi Dini, Pengobatan, dan Kisah Inspiratif Penyintas.” Acara yang disiarkan secara daring melalui kanal zoom Meeting pada Minggu (14/12) bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai penyakit autoimun kronis yang bersifat sistemik dan menahun. Webinar ini menghadirkan tiga narasumber utama, yaitu dr. Ana Fauziati, M.Sc., Sp.PD, dr. Nurul Aini, M.Sc., Sp.PD, dan seorang penyintas Lupus, dr. Syafira Laila Nurulita, serta dr. Andre Gita Arumsari sebagai moderator.
Pemateri pertama, dr. Ana Fauziati, M.Sc., Sp.PD. menjelaskan secara mendalam mengenai Lupus. Ia menegaskan bahwa, “Lupus atau SLE adalah penyakit autoimun kronis yang bersifat sistemik, di mana sistem kekebalan tubuh menyerang jaringannya sendiri, dan bersifat tidak menular,” jelasnya.
Penyakit ini lebih banyak menyerang wanita usia produktif (15-45 tahun), dengan estimasi prevalensi di Indonesia mencapai sekitar 1,3 juta orang. dr. Ana Fauziati menyebutkan bahwa penyebab SLE bersifat multifaktorial, melibatkan interaksi kompleks antara faktor genetik, lingkungan, hormonal, dan stres.
Gejala umum yang paling banyak ditemukan meliputi arthritis atau nyeri sendi sebanyak 88%, kelainan kulit 86%, dan keterlibatan ginjal 47%. “Gejala khas SLE yang perlu diwaspadai meliputi nyeri atau bengkak pada persendian yang berlangsung lebih dari 3 bulan, dan ruam kemerahan di pipi berbentuk kupu-kupu yang melintang dari pipi kanan ke kiri (malar rash),” ucap dr. Ana.
Untuk deteksi dini, pemerintah telah meluncurkan program yang disebut SALURI (Periksa Lupus Sendiri) yang mendorong masyarakat untuk mengenali gejala dan segera berkonsultasi dengan tenaga kesehatan terdekat.
Pemateri kedua, dr. Nurul Aini, M.Sc., Sp.PD, memaparkan pentingnya manajemen lupus secara komprehensif. Diagnosis SLE didukung oleh pemeriksaan penunjang, seperti tes autoantibodi (ANA, anti-dsDNA), dengan kriteria diagnosis berdasarkan skor EULAR 2019. Sebagai penyakit autoimun, pengobatan utamanya bersifat anti-inflamasi dan melibatkan pemberian obat imunosupresan untuk menekan respons imun yang berlebihan. Keterlibatan organ dapat meluas ke darah, ginjal, saraf, paru, hingga jantung, sehingga memerlukan pemeriksaan spesifik untuk setiap sistem organ.
Sesi ditutup dengan sharing session inspiratif dari seorang penyintas SLE sekaligus dokter muda, dr. Syafira. Ia menceritakan perjuangannya melawan Neuropsychiatric SLE (NPSLE) yang sangat berat, termasuk menjalani tujuh kali kemoterapi dan prosedur lanjutan seperti plasmapheresis dan rituximab yang disertai efek samping pengobatan yang parah.
Dr. Syafira juga membagikan realita yang dialami para pasien Lupus (Odapus) “Kadang capek, kadang ngerasa waktu dan energi banyak banget yang harus diluangkan untuk tetap kontrol.” Ia menekankan kunci hidup berdampingan dengan Lupus adalah mengelola stres, mengenali sinyal tubuh (beristirahat jika tidak sanggup), serta tak lupa bersyukur dan berdoa. “Kunci hidup berdampingan dengan Lupus adalah usaha maksimal, doa, dan keyakinan bahwa Allah akan memberikan kesembuhan.” tambahnya.
Kepada masyarakat luas, Dr. Syafira berpesan untuk lebih berempati dan memahami kondisi Odapus, karena menurutnya “Sakit yang enggak tampak itu bukan berarti enggak nyata. Masyarakat perlu lebih berempati, serta memberikan ruang bagi penyandang ‘disabilitas tak tampak’ ini.” Ia juga berharap agar pengobatan lanjutan seperti plasmapheresis dan rituximab dapat dicakup oleh BPJS untuk meringankan beban biaya yang tinggi bagi para penyintas. (NKA/AHR/RS)
UIINyastra Angkat Semangat “Yang Muda Yang Bergerak”
Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar UIINyastra dengan mengangkat tema “Yang Muda Yang Bergerak”. Kegiatan yang berlangsung pada Kamis (11/12) di Gedung Kuliah Umum Prof. Dr. Sardjito, Kampus Terpadu UII ini menampilkan karya-karya puisi dari sivitas akademika UII yang meliputi dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa.
Rektor UII, Fathul Wahid dalam sambutannya menyampaikan setidaknya ada tiga alasan mengapa tema ini diangkat. Pertama, yang muda punya energi, kedua yang muda punya mimpi, ketiga yang muda punya kegelisahan.
“Pembacaan puisi merupakan salah satu cara bagaimana menganalkan energi itu. Karena saya yakin, kawan-kawan sudah mulai gelisah terkait dengan kenyataan, keadaan di sekeliling kita. Yang ada di luar sana memberikan inspirasi untuk itu dan mudah-mudahan kita bisa merangkum ini bersama, mencoba menjawab kegelisahan dan menganalkan energi pada kanal yang positif,” ungkap Fathul Wahid.
Seperti kegiatan UIINyastra sebelumnya, para peserta secara bergantian membaca puisi karya masing-masing, Pada kegiatan kali ini, sebanyak 61 karya puisi yang dibacakan oleh para peserta dengan penuh antusias.
UIINyastra kali ini menghadirkan dua ruang ekpresi yaitu pembacaan puisi dan pameran foto serta poster bertajuk Mengawal Demokrasi: Dari Karya hingga Karsa. Selain mewadahi ruang ekspresi seni untuk sivitas akademika, UIINyastra juga sebagai ajang kritik sosial yang reflektif dan konstruktif terhadap isu yang berkembang. (AHR/RS)
Kafe Prancis UII Rayakan Satu Dekade dengan Penguatan Jejaring Budaya Indonesia–Prancis
Universitas Islam Indonesia (UII) melalui Kafe Prancis menggelar perayaan ulang tahun ke-10 pada Jumat (12/12) bertempat di Ruang Audiovisual lantai 2 Gedung Moh. Hatta Direktorat Perpustakaan, Kampus Terpadu UII. Acara ini diisi rangkaian kegiatan mulai dari talkshow, penampilan seni, bazar kreatif, hingga presentasi budaya yang melibatkan berbagai pihak. Hadir pula Direktur Institut Français d’Indonésie (IFI), Margaux Nemmouchi, sebagai tamu kehormatan. Perayaan ini menjadi momentum penting untuk menegaskan peran Kafe Prancis sebagai ruang interaksi budaya serta wujud penguatan hubungan diplomatik Indonesia–Prancis yang telah berjalan lebih dari satu setengah abad.
Pada sesi sambutan, Koordinator Kafe Prancis UII, Ima Dyah Safitri, menekankan bahwa perjalanan sepuluh tahun Kafe Prancis tidak pernah terlepas dari kontribusi komunitas mahasiswa. Ia menggambarkan bahwa setiap program, kelas, dan kolaborasi yang terbangun selama satu dekade merupakan hasil kerja bersama yang konsisten.
“Dalam perayaan satu dekade Kafe Prancis ini, kita mengenang perjalanan sepuluh tahun yang penuh dinamika dan pencapaian yang hanya mungkin terwujud berkat dukungan dari kalian semua yang selalu hadir pada setiap agenda yang kami selenggarakan,” ujarnya, menegaskan pentingnya keberlanjutan komunitas.
Ima kemudian melanjutkan pandangannya mengenai fondasi yang telah dibangun selama sepuluh tahun ini. Menurutnya, usia satu dekade adalah bukti bahwa Kafe Prancis tidak hanya bertahan, tetapi terus berkembang sebagai ruang kreatif mahasiswa lintas disiplin.
“Makna sepuluh tahun itu sekaligus menjadi pengingat bahwa kami masih membutuhkan dukungan yang sama kuatnya untuk masa depan, dengan harapan kalian terus datang menikmati program Kafe Prancis yang akan semakin hidup dan menarik,” tuturnya, menandai optimisme menuju fase berikutnya.
Suasana perayaan semakin hidup ketika Margaux Nemmouchi, Direktur IFI, menyampaikan apresiasinya terhadap keberadaan Kafe Prancis di UII. Ia menyoroti dinamika aktivitas budaya yang berlangsung di UII sebagai salah satu yang paling progresif di Yogyakarta. Margaux menilai bahwa komunitas ini telah menjadi jembatan penting dalam membangun kedekatan antara mahasiswa Indonesia dengan budaya Prancis.
“Kafe Prancis UII Yogyakarta menunjukkan dinamika terbaik di kota Jogjakarta, menjadi bukti hidup dari hubungan diplomatik Indonesia–Prancis yang telah dibangun selama lebih dari 150 tahun,” ungkapnya, menekankan signifikansi historis hubungan tersebut.
Dalam kesempatan itu, Margaux juga membawa sebuah buku dokumenter yang merekam sejarah panjang hubungan Indonesia–Prancis. Ia menjelaskan bahwa hubungan kedua bangsa tumbuh dari banyak kanal, mulai dari perjalanan para penjelajah, karya para penulis, hingga seniman yang berinteraksi lintas budaya.
“Hubungan panjang itu terekam dalam sebuah buku yang saya hadiahkan hari ini, menuturkan jejak para penjelajah, penulis, hingga seniman yang menjembatani kedua bangsa, termasuk perjumpaan musisi Prancis dengan gamelan yang memantik evolusi kreatif,” jelasnya, memberikan gambaran konkret mengenai kedalaman interaksi budaya tersebut.
Di akhir sambutannya, Margaux menyampaikan komitmen IFI untuk terus memperkuat kerja sama dengan UII dan Kafe Prancis, terutama melalui program-program tahun 2026 yang disiapkan untuk memperluas akses pembelajaran dan pengalaman budaya. Ia menegaskan bahwa perjalanan satu dekade ini menjadi fondasi yang kuat untuk melangkah lebih jauh.
“Dengan fondasi sejarah yang kuat ini, kami di IFI siap mendukung masa depan melalui program acara Kafe Prancis tahun 2026 dan platform pembelajaran bahasa Prancis bagi semua, sembari merayakan satu dekade perjalanan Kafe Prancis yang semoga terus berumur panjang,” katanya, merinci rencana penguatan kolaborasi jangka panjang.
Acara yang berlangsung seharian ini berisi bermacam rangkaian yang menarik. Talkshow “Gen-Z : Menavigasi Masa Depan dengan Tangguh,” perayaan ini juga menghadirkan penampilan band akustik, presentasi dari Campus France, aneka booth permainan, aktivitas seni seperti Paint the Rose, serta bazar kreatif yang menampilkan produk lokal dan karya mahasiswa. Seluruh rangkaian acara menjadi wujud komitmen Kafe Prancis UII untuk memperluas akses budaya, memperkuat komunitas, dan menciptakan ekosistem pembelajaran yang lebih interaktif bagi sivitas akademika dan masyarakat luas. (IMK/AHR/RS)
UII Sambut 33 Doktor Baru dari Beragam Bidang Keilmuan
Universitas Islam Indonesia (UII) kembali meneguhkan komitmennya dalam meningkatkan kualitas akademik dan kapasitas riset. Tahun 2025, UII resmi menyambut 33 doktor baru yang menuntaskan studi di berbagai perguruan tinggi bergengsi dalam dan luar negeri. Para lulusan tersebut menempuh pendidikan doktoral di sejumlah negara, termasuk Australia, Jepang, Korea, Inggris, Swedia, Turki, Malaysia, Brunei Darussalam, Estonia, dan Indonesia.
Momentum tahunan ini menjadi langkah strategis UII dalam memperkuat SDM akademik serta mendorong terbangunnya ekosistem penelitian dan pengabdian masyarakat yang semakin unggul. Acara penyambutan digelar di Gedung Kuliah Umum Prof. Dr. Sardjito, Kampus Terpadu UII, Kamis (11/12/2025), dihadiri Pengurus Yayasan Badan Wakaf UII, Rektor dan Wakil Rektor, para dekan, serta pejabat struktural UII.
Dari 33 doktor baru tersebut, 16 dosen menyelesaikan studi di dalam negeri, sementara 17 lainnya meraih gelar doktor dari kampus luar negeri. Keragaman latar belakang akademik ini diharapkan memperluas perspektif keilmuan dan menguatkan jejaring kolaborasi internasional UII.
Sejumlah capaian istimewa turut mewarnai penyambutan tahun ini yaitu Nur Ellyanawati Esty Rahayu, S.E., M.M. dari Program Studi Analisis Keuangan Program Sarjana Terapan dan dr. Linda Rosita, M.Kes., Sp.PK(K) dari Program Studi Kedokteran keduanya berhasil menyelesaikan studi doktoral dalam waktu tercepat, yakni 2 tahun 9 bulan.
Prestasi akademik juga ditorehkan oleh Moh. Hasyim, S.H., S.U. dari Program Studi Hukum , Supriyanto, S.T., M.Eng., M.Sc., Ph.D. dari Program Studi Teknik Lingkungan, dan Dr. Drs. Suwarsono dari Program Studi Manajemen yang masing-masing meraih IPK sempurna 4,00.
Rektor UII, Fathul Wahid menyambut dengan bahagia kembalinya para doktor baru UII. Ia menegaskan bahwa keberagaman lintasan akademik para doktor baru ini mencerminkan keluasan orientasi intelektual UII serta keterbukaan kita terhadap kolaborasi dan pertumbuhan nasional dan global. “Keberagaman keilmuan, latar pendidikan, dan pengalaman internasional para doktor baru menjadikan universitas ini lebih resilien, lebih subur secara intelektual, dan lebih siap menghadapi tantangan zaman.
Lebih lanjut, Fathul Wahid meyakini ragam latar belakang tidak hanya memperkaya pandangan keilmuan di lingkungan UII, tetapi juga membuka jalan bagi jejaring kolaborasi internasional yang semakin luas dan strategis. “Dengan hadirnya para doktor baru ini, kita memperkuat posisi UII dalam ekosistem pendidikan tinggi—baik di tingkat nasional maupun global—melalui kontribusi akademik yang lebih bermakna, relevan, dan berguna bagi masyarakat luas,” harapnya.
Hingga akhir 2025, UII memiliki 254 dosen bergelar doktor (32,60%) dari total 779 dosen. Angka ini akan terus meningkat seiring 202 dosen yang kini masih menempuh studi doktoral. UII memproyeksikan jumlah dosen berpendidikan S3 akan mencapai 456 orang atau 58,54% dalam beberapa tahun mendatang.
Kehadiran doktor baru menjadi penanda penting dalam upaya UII menjadi kampus riset berdaya saing global. Para doktor diharapkan menjadi motor penggerak peningkatan mutu akademik melalui penelitian relevan, publikasi ilmiah bereputasi, dan program pengabdian masyarakat yang berdampak.
UII terus mendorong penelitian lintas disiplin, kolaborasi internasional, publikasi bereputasi, dan inovasi pengabdian masyarakat. Bertambahnya jumlah doktor baru menjadi modal utama bagi UII dalam memperkuat perannya sebagai perguruan tinggi yang adaptif, kompetitif, dan bermanfaat bagi masyarakat luas. (IA/AHR/RS)
Asesmen Reakreditasi Perpustakaan UII Dorong Peningkatan Layanan dan Inovasi
Direktorat Perpustakan Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar Asesmen Lapangan Reakreditasi Perpustakaan UII sebagai bagian dari komitmen universitas dalam upaya penjaminan mutu layanan perpustakaan sebagai pendukung kegiatan pembelajaran dan riset. Agenda yang dilaksanakan di Ruang Audiovisual Gedung Moh. Hatta, Perpustakaan Kampus Terpadu UII pada Rabu (10/12) ini menghadirkan dua tim asesor lapangan dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas RI) yaitu Dra. Made Ayu Wirayati, M.Ikom dan Renda Khris Ardhi Artha, S.Sos., M.Si.
Prof. Dr. Jaka Nugraha, S.Si., M.Si selaku Wakil Rektor Bidang Pengembangan Akademik dan Riset UII dalam sambutannya menegaskan bahwa perpustakaan memiliki peran strategis dalam mendukung pembelajaran dan penelitian di UII. “Perpustakaan merupakan unit yang sangat penting dalam menunjang proses pembelajaran, penelitian, dan publikasi akademik di Universitas Islam Indonesia. Karena itu, asesmen eksternal ini menjadi sarana evaluasi untuk memastikan layanan perpustakaan telah berjalan sesuai standar mutu,” ujarnya.
Prof. Jaka juga menekankan pentingnya transformasi perpustakaan di tengah perkembangan teknologi digital. Menurutnya, perpustakaan UII perlu terus beradaptasi dengan kebutuhan sivitas akademika yang semakin dinamis. “Kami mendorong perpustakaan untuk terus berinovasi dan meningkatkan kualitas layanan agar tetap relevan dengan perkembangan teknologi serta kebutuhan mahasiswa dan dosen,” tambah Prof. Jaka.
Lebih lanjut, salah satu tim assessor lapangan, Dra. Made Ayu Wirayati, M.Ikom dalam sambutannya mengatakan bahwa akreditasi perpustakaan saat ini tidak lagi menempatkan fasilitas sebagai indikator utama dalam penilaian. Menurutnya, aspek yang tidak kalah penting adalah bagaimana perpustakaan mampu memberikan performa yang optimal dalam memberikan layanan yang berkualitas kepada para pemustaka.
“Jadi tidak lagi pemilihan gedung, luasan ruangan, banyaknya jumlah komputer. Tapi bagaimana perpustakaan untuk menciptakan program-program yang memang memberi manfaat bagi perpustakaan dan atau bagi masyarakat luas, itu baru dapat dikatakan perpustakaan tersebut berakreditasi dan mendapatkan nilai yang terbaik ke depan,” ungkapnya.
Kegiatan asesmen dilanjutkan dengan peninjauan langsung fasilitas Perpustakaan UII, meliputi koleksi buku, pojok-pojok baca, fasilitas penunjang layanan, hingga koleksi langka. Setelah itu, agenda dilanjutkan dengan diskusi serta peninjauan dokumen penunjang reakreditasi sebagai bagian dari proses penilaian menyeluruh. Dari asesmen ini, tim asesor memberikan sejumlah rekomendasi kepada Perpustakaan UII sebagai tindak lanjut dalam meningkatkan mutu layanan perpustakaan yang perlu segera dilaksanakan mengingat proses pemantauan dan pengawasan akan terus dilakukan secara berkala.
Diharapkan melalui kegiatan asesmen reakreditasi ini, Perpustakaan UII mampu terus meningkatkan kualitas pengelolaan, memperkuat inovasi layanan, serta memberikan layanan prima yang berkelanjutan kepada para pemustaka dalam mendukung kegiatan pembelajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, serta dakwah Islamiyah. (AHR/RS)