Pemekaran fakultas yang kita saksikan hari ini bukanlah hasil dari proses singkat. Ia lahir dari diskusi panjang dan refleksi mendalam. Hari ini adalah wujud nyata dari kesadaran kolektif dan kesepakatan bersama.
Sepanjang proses itu, saya menyaksikan banyak dinamika. Tidak selalu mulus, bahkan kadang menegangkan. Namun ketegangan itu tetap dalam batas yang bisa dikelola, dan justru menjadi energi yang mendinamisasi proses. Di sinilah letak keindahan diskusi dalam organisasi yang sehat.
Dalam organisasi, kita terikat pada semacam kontrak sosial. Ketika kontrak itu berubah, maka ia perlu dimusyawarahkan kembali—dibicarakan, ditinjau ulang, dan disepakati bersama. Saya secara pribadi menganut pendekatan ini. Tentu, ada kawan-kawan yang mungkin memilih jalan berbeda. Beragam pilihan itu sah (lihat e.g. Gornitzka & Larsen, 2016).
Rembukan sebagai pilihan
Tapi bagi saya, jalan rembukan adalah pilihan terbaik. Setidaknya, ada tiga alasan yang mendasarinya.
Pertama, saya belajar—meski hanya sedikit—tentang sosiologi organisasi. Saya memahami bahwa dalam melihat organisasi dan perubahan institusional, ada banyak lensa yang bisa digunakan. Demikian pula dalam menghadapi disrupsi, membentuk institusi baru, ataupun merawat yang sudah ada. Setiap pendekatan punya kekuatan dan konsekuensinya masing-masing. Dan saya meyakini, perubahan yang lahir dari kesepahaman bersama akan lebih kokoh dan tahan lama.
Kedua, saya percaya bahwa salah satu nilai luhur dalam dunia akademik—yaitu kolegialitas—perlu terus dijaga. Sayangnya, kita mulai menyaksikan nilai ini perlahan memudar. Banyak kajian mutakhir mengamati hal ini secara kritis. Masuknya semangat neoliberalisme ke dalam dunia pendidikan, termasuk melalui bentuk-bentuk korporatisasi dan penerapan prinsip-prinsip new public management, telah mendorong kampus untuk mengedepankan indikator-indikator materialistik dalam menilai kesuksesan. Akibatnya, nilai-nilai seperti kolaborasi, kebersamaan, dan kesetaraan dalam pengambilan keputusan semakin terpinggirkan.
Saya tidak ingin hal seperti itu terjadi di UII. Walau saya menyadari sepenuhnya bahwa tidak semua orang akan sependapat. Justru karena itu, atas nama kolegialitas, kita harus terus memastikan bahwa kampus ini menjadi ruang yang menjamin kebebasan berpikir dan menyampaikan pendapat, tanpa rasa takut.
Pilar institusi
Ketiga, kita perlu melihat institusi bukan hanya dari sisi regulasi. Sebuah institusi yang sehat berdiri di atas tiga pilar utama: regulasi, norma, dan budaya (Scott, 2013). Ketiganya bekerja dengan cara yang berbeda, tetapi saling melengkapi. Pilar regulasi mengandalkan pendekatan koersif, aturan-aturan formal yang menuntut kepatuhan. Pilar norma hidup dari semangat belajar dan pemahaman kolektif atas peran masing-masing. Sedangkan pilar budaya bertumpu pada konsensus dan rasa saling percaya—yang menjadi fondasi kohesivitas warga institusi.
Tanpa ketiga pilar ini berjalan seimbang, institusi akan rapuh. Fokus hanya pada aturan akan melahirkan ketegangan terus-menerus. Mengabaikan norma akan menciptakan kebingungan. Dan jika budaya diabaikan, kita akan kehilangan arah bersama sebagai komunitas akademik.
Hari ini, kita membuka lembaran baru dengan pelantikan Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Psikologi serta Fakultas Ilmu Sosial dan Budaya. Ini bukan hanya soal struktural, tetapi juga soal nilai, arah, dan masa depan.
Mari terus kita rawat semangat kolegialitas. Kita jaga keberagaman pandangan, kita perkuat pilar-pilar institusi, dan kita pilih jalan rembukan sebagai cara kita bertumbuh bersama.
Selamat bekerja kepada para dekan dan wakil dekan yang baru dilantik. Tugas ini berat, tetapi mulia. UII akan terus melangkah ke depan, sejauh kita tetap berjalan bersama.
Referensi
Gornitzka, Å., & Larsen, I. M. (2016). The paradoxical drama of university change: Four cases of moving the unmovable. Dalam N. Cloete (Ed.). Pathways Through Higher Education Research: A Festschrift in Honour of Peter Maassen. Department of Education, University of Oslo (18-24).
Scott, W. R. (2013). Institutions and organizations: Ideas, interests, and identities. Sage publications.
Sambutan pada pelantikan Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Psikologi dan Fakultas Ilmu Sosial Budaya, Universitas Islam Indonesia, 2 Juni 2025
Fathul Wahid
Rektor Universitas Islam Indonesia 2022-2026
Santri UII Ikuti Pelatihan Penyembelihan Hewan Qurban
Menyambut Iduladha, Pondok Pesantren Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar pelatihan penyembelihan hewan qurban yang diikuti oleh seluruh santri putra dan putri. Kegiatan yang berlangsung pada Ahad (1/6) pukul 15.30 hingga 18.00 WIB ini bertempat di Aula Pondok Pesantren UII Putra, Jl. Selokan Mataram, Dabag, Condongcatur, Sleman.
Pelatihan ini menghadirkan narasumber utama Ust. Fathurrahman Al Katitanji, S.H.I., anggota Juru Sembelih Halal (JULEHA) D.I. Yogyakarta. Turut hadir pula Ust. Dr. Suyanto, M.S.I., M.Pd., selaku pengasuh pondok pesantren UII Putra, yang membuka kegiatan dengan sambutan penuh motivasi dan harapan terhadap para santri.
Dalam sambutannya, Ust. Suyanto menekankan pentingnya santri memiliki pemahaman mendalam terhadap ilmu syariat, termasuk dalam hal penyembelihan hewan qurban. Ia menyampaikan bahwa santri UII harus mampu menjadi sosok ensiklopedis yang tidak hanya mendalami ilmu keagamaan, tetapi juga memahami ilmu lainnya seperti bisnis, teknologi, dan sosial kemasyarakatan.
“Belajar ilmu ini itu penting, sekaligus kita juga akan melihat bagaimana syariat nabi. Santri UII itu sangat ensiklopedis, jadi harus ada yang menguasai berbagai macam ilmu. Ada yang di bisnis, ada yang di ilmu keagamaan, dan sebagainya. Jadi ilmu agama ini harus ada yang mengawal. Ilmu syariat di semua sektor harus ada yang pandai, harus ada bagian-bagiannya,” ujar Ustaz Suyanto.
Setelah sambutan, acara dilanjutkan dengan sesi pelatihan yang dipandu langsung oleh Ust. Fathurrahman Al Katitanji. Dalam pemaparannya, beliau membahas berbagai aspek fikih qurban, mulai dari ketentuan sahnya hewan qurban, cara penyembelihan yang sesuai syariat, hingga etika menyembelih yang ihsan, yakni dengan memperlakukan hewan dengan penuh kasih sayang dan tidak menyiksanya.
“Fashalli li rabbika wanhar,” kutip Ust. Fathurrahman saat menyampaikan urgensi ibadah qurban. “Maka kalau misal temen-temen ada kemampuan, maka bisa berqurban. Kalau misal hukumnya sunnah muakkadah, maka sudah seharusnya bagi kita untuk berupaya menunaikan ibadah qurban ini.”
Dalam sesi ini, Ustaz Fathurrahman juga memutar beberapa video yang memperlihatkan praktik penyembelihan yang tidak ihsan sebagai bahan pembelajaran. Ia mengingatkan bahwa tidak semua praktik penyembelihan yang dilakukan masyarakat sudah sesuai dengan ketentuan syariat Islam.
“Jadi kalau mau qurban, nanti perlu dicek sesuai dengan ketentuan atau tidak, maka kalau tidak sesuai dengan ketentuan maka tidak sah qurbannya,” tambahnya.
Usai sesi materi, para peserta langsung mengikuti praktik penyembelihan. Meskipun belum menggunakan hewan sungguhan, kegiatan praktik tetap dilakukan secara serius menggunakan alat peraga berupa dua buah gedebog pisang dan karung goni sebagai simulasi tubuh hewan. Dalam praktik tersebut, santri dilatih mulai dari cara mengasah pisau sembelih yang benar hingga gerakan tangan saat menyembelih.
Peralatan yang digunakan pun tidak main-main. Ust. Fathurrahman membawa satu set perlengkapan penyembelihan lengkap, mulai dari pisau sembelih, pisau daging, hingga sarung tangan standar yang biasa digunakan oleh juru sembelih profesional. Hal ini menunjukkan pentingnya keseriusan dalam belajar, karena praktik ini bukan sekadar simbolik, melainkan sebagai bekal nyata bagi para santri untuk menjadi pelaku penyembelihan yang kompeten dan syar’i.
Antusiasme para santri pun tampak tinggi. Mereka mengikuti setiap sesi dengan saksama, mencatat poin-poin penting, dan berpartisipasi aktif dalam sesi tanya jawab maupun praktik langsung. Pelatihan ini menjadi momen edukatif yang tidak hanya memperkaya ilmu fikih, tetapi juga membentuk karakter santri agar lebih bertanggung jawab dan peduli terhadap implementasi ajaran Islam dalam kehidupan nyata.
Pelatihan penyembelihan hewan qurban ini diharapkan menjadi program rutin pondok pesantren UII ke depannya, agar para santri tidak hanya memahami teori keagamaan, tetapi juga mampu menerapkannya dalam praktik ibadah sehari-hari. Di tengah tantangan zaman modern, kegiatan seperti ini menjadi sangat relevan untuk memperkuat peran santri sebagai penjaga nilai-nilai syariat Islam dalam berbagai bidang kehidupan. (MFPS/AHR/RS)
UII Lantik Pejabat Baru Fakultas Psikologi dan Fakultas Ilmu Sosial Budaya
Universitas Islam Indonesia (UII) selalu berkomitmen untuk selalu meningkatkan kualitas pendidikan yang salah satunya dengan pemekaran Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) menjadi dua fakultas yaitu Fakultas Psikologi dan Fakultas Ilmu Sosial Budaya. Pemekaran fakultas ini secara resmi diluncurkan bersamaan dengan Pelantikan Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Psikologi dan Fakultas Ilmu Sosial Budaya Masa Jabatan 2025-2026 pada Senin (02/06) di Gedung Kuliah Umum Prof. Dr. Sardjito, Kampus Terpadu UII.
Jajaran pejabat baru Fakultas Psikologi antara lain Dr.Phil. Qurotul Uyun, S.Psi., M.Si sebagai Dekan. Resnia Novitasari, S.Psi., M.A. sebagai Wakil Dekan Bidang Sumber Daya. Sonny Andrianto, S.Psi., M.Si., Ph.D.sebagai Wakil Dekan Bidang Keagamaan, Kemahasiswaan, dan Alumni.
Kemudian untuk Fakultas Ilmu Sosial Budaya, Prof. Dr.rer.soc. Masduki, S.Ag., M.Si. sebagai Dekan. Irawan Jati, S.IP., M.Hum., M.SS, Ph.D. sebagai Wakil Dekan Bidang Sumber Daya. Nizamuddin Sadiq, S.Pd., M.Hum., Ph.D. sebagai Wakil Dekan Bidang Keagamaan, Kemahasiswaan, dan Alumni.
Rektor UII, Fathul Wahid dalam sambutannya menyampaikan selamat kepada jajaran pejabat baru dua fakultas tersebut dan berharap semua yang dilakukan untuk kemajuan fakultas selalu dimudahkan Allah. Disampaikannya juga, pemekaran dua fakultas ini telah melalui diskusi panjang yang menjadi manifestasi kesadaran dan kesepakatan bersama.
“Saya melihat banyak keindahan selama mengawal proses diskusi yang tidak selalu kalis dari ketegangan. Tetapi semuanya masih dalam tingkat yang dapat dikelola, dan justru mendinamisasi proses,” ungkap Fathul Wahid
Fathul Wahid memadang bahwa di dalam organisasi ada kontrak sosial yang jika berubah harus dirembuk kembali dan disepakati ulang. Proses seperti ini harus dilakukan untuk mengawal perubahan.
“Ada beragam kacamata untuk memandang organisasi. Pun demikian untuk melihat perubahan dalam institusi. Ada beragam kerja institusional yang dapat kita pilih untuk mendisrupsi sebuah institusi. Pun demikian untuk membentuk institusi baru, dan juga untuk memeliharanya,” tuturnya.
Fathul juga menyoroti semangat kolegialitas yang mulai memudar dengan masuknya paham neoliberalisme yang masuk ke dalam dunia pendidikan yang terwujud dalam beragam bentuk, termasuk korporatisasi.
“Prinsip new public management yang mengedepankan indikator materialistik pun mendominasi untuk mengukur kesuksesan. Posisi nilai-nilai pun mulai terpinggirkan. Saya tidak ingin hal ini terjadi di UII. Meski demikian, saya sepenuhnya sadar, tidak semua bersepakat dengan pendapat ini. Atas nama kolegialitas, kita harus terus memastikan jika kampus tetap menjamin kebebasan berpendapat,” ungkap Rektor UII ini.
Sementara itu, Ketua Umum Yayasan Badan Wakaf UII, Dr. Suparman Marzuki, M.Si dalam sambutannya bahwa dekan dan pemimpin adalah bentuk yang berbeda. Dekan merupakan nomenklatur darin jabatan sehingga dituntut kecakapan dan pengetahuan akademik. Sementara sebagai pemimpin, dituntut kecakapan dan keterampilan, berkomunikasi dengan dan menjadi teladan.
Menurut Suparman Marzuki, para pemimpin harus memiliki integritas dan akuntabiltas. Misalnya, sesuatu yang sifatnya rahasia dan harus dijaga atau dijamin kerahasiaannya.
“Kita boleh berbeda pendapat dalam forum pengambilan keputusan. Boleh, halal. Tetapi begitu keputusan sudah diambil, harus dijaga. Ketidaksetujuan kita harus simpan dalam hati, dalam pikiran, jangan diomongin keluar. Kalau diomongin keluar maka itu gak punya integritas sekaligus gak punya akuntabilitas,” kata Suparman Marzuki.
Dengan pemekaran dua fakultas ini, tentunya banyak proses transisi untuk memastikan bahwa secara institusional kedua fakultas berada dalam posisi yang kokoh untuk terus bertumbuh. Untuk itu, sebuah tim lintas fakultas dan juga melibatkan universitas dibentuk. Tim ini bukan sebagai penendang bola, tetapi sebagai tempat pertemuan antar pemangku kepentingan yang bertugas mencari jalan keluar untuk beragam isu yang muncul dalam proses transisi. (AHR/RS)
Perubahan tanpa Drama
Pemekaran fakultas yang kita saksikan hari ini bukanlah hasil dari proses singkat. Ia lahir dari diskusi panjang dan refleksi mendalam. Hari ini adalah wujud nyata dari kesadaran kolektif dan kesepakatan bersama.
Sepanjang proses itu, saya menyaksikan banyak dinamika. Tidak selalu mulus, bahkan kadang menegangkan. Namun ketegangan itu tetap dalam batas yang bisa dikelola, dan justru menjadi energi yang mendinamisasi proses. Di sinilah letak keindahan diskusi dalam organisasi yang sehat.
Dalam organisasi, kita terikat pada semacam kontrak sosial. Ketika kontrak itu berubah, maka ia perlu dimusyawarahkan kembali—dibicarakan, ditinjau ulang, dan disepakati bersama. Saya secara pribadi menganut pendekatan ini. Tentu, ada kawan-kawan yang mungkin memilih jalan berbeda. Beragam pilihan itu sah (lihat e.g. Gornitzka & Larsen, 2016).
Rembukan sebagai pilihan
Tapi bagi saya, jalan rembukan adalah pilihan terbaik. Setidaknya, ada tiga alasan yang mendasarinya.
Pertama, saya belajar—meski hanya sedikit—tentang sosiologi organisasi. Saya memahami bahwa dalam melihat organisasi dan perubahan institusional, ada banyak lensa yang bisa digunakan. Demikian pula dalam menghadapi disrupsi, membentuk institusi baru, ataupun merawat yang sudah ada. Setiap pendekatan punya kekuatan dan konsekuensinya masing-masing. Dan saya meyakini, perubahan yang lahir dari kesepahaman bersama akan lebih kokoh dan tahan lama.
Kedua, saya percaya bahwa salah satu nilai luhur dalam dunia akademik—yaitu kolegialitas—perlu terus dijaga. Sayangnya, kita mulai menyaksikan nilai ini perlahan memudar. Banyak kajian mutakhir mengamati hal ini secara kritis. Masuknya semangat neoliberalisme ke dalam dunia pendidikan, termasuk melalui bentuk-bentuk korporatisasi dan penerapan prinsip-prinsip new public management, telah mendorong kampus untuk mengedepankan indikator-indikator materialistik dalam menilai kesuksesan. Akibatnya, nilai-nilai seperti kolaborasi, kebersamaan, dan kesetaraan dalam pengambilan keputusan semakin terpinggirkan.
Saya tidak ingin hal seperti itu terjadi di UII. Walau saya menyadari sepenuhnya bahwa tidak semua orang akan sependapat. Justru karena itu, atas nama kolegialitas, kita harus terus memastikan bahwa kampus ini menjadi ruang yang menjamin kebebasan berpikir dan menyampaikan pendapat, tanpa rasa takut.
Pilar institusi
Ketiga, kita perlu melihat institusi bukan hanya dari sisi regulasi. Sebuah institusi yang sehat berdiri di atas tiga pilar utama: regulasi, norma, dan budaya (Scott, 2013). Ketiganya bekerja dengan cara yang berbeda, tetapi saling melengkapi. Pilar regulasi mengandalkan pendekatan koersif, aturan-aturan formal yang menuntut kepatuhan. Pilar norma hidup dari semangat belajar dan pemahaman kolektif atas peran masing-masing. Sedangkan pilar budaya bertumpu pada konsensus dan rasa saling percaya—yang menjadi fondasi kohesivitas warga institusi.
Tanpa ketiga pilar ini berjalan seimbang, institusi akan rapuh. Fokus hanya pada aturan akan melahirkan ketegangan terus-menerus. Mengabaikan norma akan menciptakan kebingungan. Dan jika budaya diabaikan, kita akan kehilangan arah bersama sebagai komunitas akademik.
Hari ini, kita membuka lembaran baru dengan pelantikan Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Psikologi serta Fakultas Ilmu Sosial dan Budaya. Ini bukan hanya soal struktural, tetapi juga soal nilai, arah, dan masa depan.
Mari terus kita rawat semangat kolegialitas. Kita jaga keberagaman pandangan, kita perkuat pilar-pilar institusi, dan kita pilih jalan rembukan sebagai cara kita bertumbuh bersama.
Selamat bekerja kepada para dekan dan wakil dekan yang baru dilantik. Tugas ini berat, tetapi mulia. UII akan terus melangkah ke depan, sejauh kita tetap berjalan bersama.
Referensi
Gornitzka, Å., & Larsen, I. M. (2016). The paradoxical drama of university change: Four cases of moving the unmovable. Dalam N. Cloete (Ed.). Pathways Through Higher Education Research: A Festschrift in Honour of Peter Maassen. Department of Education, University of Oslo (18-24).
Scott, W. R. (2013). Institutions and organizations: Ideas, interests, and identities. Sage publications.
Sambutan pada pelantikan Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Psikologi dan Fakultas Ilmu Sosial Budaya, Universitas Islam Indonesia, 2 Juni 2025
Fathul Wahid
Rektor Universitas Islam Indonesia 2022-2026
Urgensi Pendidikan Antikorupsi bagi Mahasiswa
Direktorat Layanan Akademik (DLA) Universitas Islam Indonesia (UII) menyelenggarakan seminar bertajuk “Integrasi Pendidikan Antikorupsi dalam Pembelajaran di Perguruan Tinggi” pada Rabu (28/5), bertempat di Gedung Kuliah Umum Prof. Sardjito, Kampus Terpadu UII. Acara ini diikuti oleh ketua dan sekretaris program studi, serta dosen pengampu mata kuliah wajib universitas (MKWU). Seminar juga turut dihadiri oleh Rektor UII, Prof. Fathul Wahid, M.Sc., Ph.D., beserta jajaran pimpinan kampus. Seminar ini menghadirkan dua narasumber yaitu dosen Fakultas Hukum UII, Ari Wibowo, S.HI., S.H., M.H. dan dosen praktisi Program Studi Hubungan International UII, Giri Suprapdiono.
Dalam sambutannya, Rektor UII, Fathul Wahid menegaskan bahwa pentingnya pendidikan antikorupsi tidak hanya sebagai wacana, tetapi harus diimplementasikan secara konkret di lingkungan perguruan tinggi. Fathul menyampaikan bahwa selama ini pendidikan antikorupsi belum menjadi mata kuliah khusus dan masih menjadi bagian dari mata kuliah umum. Hal ini menjadi tantangan tersendiri karena banyak kasus korupsi yang tidak ditindak tegas, atau pelakunya bahkan kembali menduduki jabatan publik.
“Pendidikan antikorupsi harus kita kuatkan. Mahasiswa perlu menganggap korupsi sebagai sesuatu yang menjijikkan, bukan hal biasa. Harapannya, saat mereka kelak menjadi pemimpin atau pejabat, tidak menjadi bagian dari jamaah koruptor” ujarnya
Ari Wibowo sebagai narasumber pertama membawakan materi bertema “Pemberantasan Korupsi Melalui Pendekatan Non-Penal”. Ari menyebut korupsi sebagai persoalan mendasar bangsa yang sulit diatasi. Mengutip data Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2024, Ari menyebut Indonesia berada di peringkat 99 dunia dengan skor 37, di bawah Vietnam dan Timor Leste. juga menyoroti bahwa kasus korupsi terbanyak justru terjadi di desa, yang menunjukkan pentingnya pendampingan dalam pengelolaan dana desa.
Ari juga menyinggung tentang inisiatif “Sekolah Antikorupsi” yang pernah dilaksanakan di SMA UII. Program tersebut mencakup tiga aspek: pengetahuan (kognitif), nilai (afektif), dan tindakan nyata (psikomotorik), seperti kampanye, pembuatan video pendek, dan simulasi gerakan antikorupsi.
Narasumber kedua, Giri Suprapdiono, membawakan materi seputar strategi dan implementasi pendidikan antikorupsi di perguruan tinggi. Giri menyampaikan pentingnya keteladanan dalam menyampaikan nilai-nilai antikorupsi.
“Keteladanan itu nomor satu. Sayangnya, KPK saat ini kehilangan marwah karena justru melakukan pelanggaran yang bertentangan dengan nilai-nilai yang diperjuangkan,” ujarnya.
Menurut Giri, secara hukum sudah ada landasan untuk penerapan pendidikan antikorupsi di perguruan tinggi melalui mata kuliah MKWU atau mata kuliah lain yang relevan. Giri mendorong UII untuk menjadikan pendidikan antikorupsi sebagai bagian dari kurikulum wajib dan menyebut bahwa satu-satunya misi dari pendidikan ini adalah agar mahasiswa “tidak ingin” melakukan korupsi dalam bentuk apa pun. Giri juga menjelaskan bahwa korupsi memiliki dampak serius, seperti merusak harga pasar, menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat, menghancurkan sistem hukum, serta menurunkan kualitas hidup masyarakat secara umum.
Melalui seminar ini, UII menegaskan komitmennya dalam membentuk generasi muda yang berintegritas tinggi dan menjadikan kampus sebagai pelopor gerakan antikorupsi di Indonesia (GRR/AHR/RS)
Kolaborasi UII dan Barenbliss Dorong Mahasiswa Peduli Kesehatan Mental
Universitas Islam Indonesia (UII) sukses menjadi salah satu tuan rumah dalam acara Campus Roadshow 2025 yang diadakan oleh Barenbliss (BNB) pada Senin (27/05), merek kecantikan Korea Selatan peraih GlowPick Award 2024. Acara ini mengangkat tema “Empowered Beauty, Inspiring Change” dan digelar di Ruang Teatrikal Lantai 2, Gedung Kuliah Umum Dr. Sardjito, Kampus Terpadu UII. Dengan menghadirkan Shenina Cinnamon, aktris dan brand ambassador lokal BNB, Amalia Permata Hanifah, seorang Well-Being Analyst di Into The Light dan juga Tia Maulidiya, Public Relations Manager BNB. Acara dihadiri oleh 250 mahasiswa UII dan terbuka untuk calon mahasiswa atau lulusan SMA.
Tahun lalu, BNB sukses selenggarakan Campus Roadshow ke 16 universitas terpilih. Tia menyampaikan dalam sambutannya, tahun lalu UII belum berkesempatan untuk menjadi salah satu tuan rumah dalam acara ini. Hingga pada tahun ini, BNB kembali hadir dan memilih UII menjadi salah satu kampus terpilih dalam menyukseskan program Campus Roadshow 2025.
Dengan tema “Empowered Beauty, Inspiring Change”, acara ini mengajak para mahasiswa untuk diskusi mengenai kesehatan mental di kalangan anak muda, khususnya dalam menghadapi tantangan sehari-hari. BNB juga memperkenalkan program BNB Muse Hunt yaitu ajang lomba brand representatif bagi mahasiswa dengan kesempatan magang, beasiswa dan pengalaman langsung di industri kecantikan bersama BNB.
Wakil Rektor Bidang Kemitraan dan Kewirausahaan UII, Ir. Wiryono Raharjo, M.Arch., Ph.D., dalam sambutannya menyampaikan harapannya agar kerja sama yang telah terjalin dapat terus berlanjut, serta berharap para peserta dapat menikmati diskusi dan beauty demo yang diselenggarakan.
Dalam sesi talkshow, Tia menyinggung tentang pentingnya memiliki personal branding untuk mahasiswa ketika sudah lulus masa perkuliahan. Hal ini akan menjadi bekal yang dapat membantu bagi mahasiswa untuk menemukan siapa dirinya dan ingin dilihat seperti apa. Diangkatnya tema “Empowered Beauty, Inspiring Change”, BNB ingin semua wanita menghargai kecantikannya sendiri, karena cantik bukan melulu berasal dari luar tapi juga dari dalam. “Jadi kalo kita mentalnya udah sehat, kita akan lebih produktif dan kita akan lebih kreatif. Itulah kenapa temanya Inspiring Change,” ujar Tia.
Isu mental health dibawakan oleh Amalia, sebagai Well-Being Analyst di Into The Light. Into the light sendiri adalahkomunitas anak muda yang berkontribusi di isu kesehatan jiwa dan pencegahan bunuh diri. Menyoal tentang kesehatan mental pada wanita, ia memberikan beberapa tips untuk menjaga kesehatan mental tetap senantiasa seimbang. Yaitu adalah menyadari diri sendiri baru kemudian mencari cara bagaimana mengelola emosi.
Shenina sebagai public figure berpesan kepada para peserta yang hadir dalam acara ini untuk menanamkan pemahaman bahwa kita tidak bisa mengontrol perkataan orang lain, yang bisa kita kontrol adalah perasaan kita.
Dengan semangat pemberdayaan dan perubahan positif, kehadiran Campus Roadshow 2025 di UII diharapkan tidak hanya mempererat kolaborasi antara dunia pendidikan dan industri kecantikan, tetapi juga mampu mendorong generasi muda untuk lebih peduli terhadap kesehatan mental dan mengenali potensi diri mereka secara lebih utuh. (NKA/AHR/RS)
Kuliah Umum Pascasarjana UII ke-20 Angkat Tema Kontestasi Norma Tatanan Internasional Liberal
Direktorat Layanan Akademik (DLA) Universitas Islam Indonesia (UII) menyelenggarakan Kuliah Umum Pascasarjana UII ke-20 yang dilaksanakan pada Sabtu (24/5) di Gedung Kuliah Umum Prof. Dr. Sardjito, Kampus Terpadu UII. Kuliah umum ini dilaksanakan secara hybrid dengan tambahan akses melalui tayangan langsung di kanal YouTube resmi Universitas Islam Indonesia.
Kegiatan yang mengangkat tema Kontestasi Norma Tatanan Internasional Liberal (Liberal International Order) menghadirkan Irawan Jati, S.IP., M.Hum., M.S.S., Ph.D. selaku dosen Program Studi Hubungan Internasional UII yang meraih gelar doktoral dari Political Science and International Studies, The University of Queensland, Australia sebagai narasumber utama dan dimoderatori oleh Farhan Abdul Majiid, S.Sos., M.A, dosen Program Studi Hubungan Internasional UII. Peserta acara ini merupakan seluruh mahasiswa pascasarjana UII Semester Genap Tahun Akademik 2024/2025.
Sesi kuliah umum sebelumnya diawali dengan sambutan Rektor UII, Fathul Wahid yang menyatakan bahwa tema kuliah umum yang diadakan saat ini sangat relevan dan penting untuk dibahas karena dalam beberapa terakhir terjadi permasalahan global dimana kebijakan suatu negara bisa memberikan pengaruh bagi negara-negara lain.
Ia juga menyinggung bahwa sejatinya integrasi atau persatuan diantara negara-negara di dunia masih merupakan permasalahan yang tidak pernah berhenti hingga saat ini. “Pekerjaan rumah integrasi masih dikeluhkan. Bisa jadi ada norma yang terkontestasi yang dimana tidak bisa dilebur. Di lapangan ceritanya berbeda, tidak seindah di buku dan seminar-seminar” ungkapnya.
Irawan Jati, S.IP., M.Hum., M.S.S., Ph.D dalam penyampaian materinya menyatakan bahwa ada banyak permasalahan mengenai definisi ulang atau kontestasi dari tatanan global sejak Donald Trump dilantik menjadi presiden Amerika Serikat (AS) ke-47 pada tahun 2025. Dari isu perdagangan global kontemporer saat ini misalnya, sejak Donald Trump menerapkan berbagai kebijakan seperti pengenaan tarif impor di AS yang menyebabkan banyak negara berkembang bergabung dengan organisasi antar-pemerintah BRICS (Akronim dalam Bahasa Inggris dari: Brazil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan) termasuk Indonesia untuk menghadapi dominasi politik dan ekonomi AS.
Norma dan Kontestasi Norma Tatanan Internasional Liberal (TIL)
Irawan mengungkapkan bahwa pada kenyataannya konsep TIL selalu menghadapi kontestasi norma dari berbagai negara. TIL pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh dominasi AS dan dunia barat. Kontestasi norma TIL pada dasarnya berarti proses dimana individu, kelompok, atau organisasi secara aktif menantang dan mengkritik norma, standar perilaku, atau harapan bersama yang ada dalam sistem internasional (disarikan dari Wiener, 2011).
Salah satu bentuk dari kontestasi norma TIL adalah Liberal Mimicry dengan cara menginterpretasikan norma liberal. Irawan mencontohkan negara Cina yang dianggap oligarki karena hanya memiliki satu partai yaitu Partai Komunis Cina (PKC), namun negara Cina menyatakan bahwa negaranya menerapkan good governance sebagai validitas kontestasi demokratisasi di Cina.
Terakhir, Irawan menyimpulkan bahwa norma TIL terbukti mendapat kontestasi dari dalam dan luar sistem. Kebijakan dalam Donald Trump akhir-akhir ini juga termasuk dalam kontestasi validitas norma TIL. Dalam sesi tanya jawab, Irawan menjawab salah satu pertanyaan mengenai alasan Amerika Serikat dalam menerapkan kebijakan-kebijakan baru yang kontroversial saat ini. Irawan mengungkapkan bahwa Donald Trump membuat kebijakan-kebijakan tersebut untuk memproteksi federasi AS itu sendiri.
Meski begitu, sebagaimana negara-negara demokrasi kebijakan-kebijakan itu akan selalu berubah sehingga kekhawatiran bisa diminimalisir. “Pertama ini memang proteksionis untuk internal. Tapi ini temporer, karena beberapa kebijakan itu bisa di-revoke kembali oleh presiden yang baru dengan executive order misalnya. Dan kedua ada beberapa kebijakan itu yang harus ada persetujuan dari kongres Model kebijakan di Amerika itu ada dua power-nya di presiden dan kongres. Jadi, Trump itu tidak menjadi solo agent dalam membuat keputusan. Ini akan berganti saya yakin dan tidak akan berterusan asal bukan berasal dari Republican (Partai Republik),” pungkasnya. (AAU/AHR/RS)
Dosen FK UII Berbagi Pengalaman dengan Kader Pendamping ODGJ se-DIY
Tiga dosen dari Departemen Ilmu Kesehatan Jiwa (IKJ) dan Ilmu Kesehatan Masyarakat (IKM) Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (FK UII) yakni Dr. Ade Indah Wahdini, Sp.KJ, dan dr. Baiq Rohaslia Rhadiana, M.Sc., Sp.KJ, serta Dr. dr. Sunarto, M.Kes berbagi berbagi pengalaman terkait cara berkomunikasi hingga pendampingan untuk para kader pendamping ODGJ (Orang dengan Gangguan Jiwa) dalam Kegiatan Pelatihan Kader Pendamping ODGJ pada Sabtu (24/05) di Ruang Audio-Visual Fakultas Hukum (FH) UII.
Mengenal Gangguan Jiwa
Ade Indah Wahdini, Sp.KJ dalam penyampaian materinya memberikan banyak istilah penting terkait ODGJ. Ia menyampaikan beberapa kriteria gangguan jiwa yang terdiri dari adanya gejala klinis bermakna, menimbulkan distress seperti rasa tidak nyaman hingga nyeri, bahkan tidak mampu merawat diri.
“Penyebab gangguan jiwa ini multifaktorial. Dari sisi biologis dipengaruhi oleh genetik, ketidakseimangan zat kimia dalam tubuh, hormon yang berubah, hingga kondisi medis. Sisi psikologis bisa dari kepribadian hingga riwayat trauma. Dari lingkungan juga bisa dari keadaan ekonomi dan konflik sosial yang memicu stress berkepanjangan,” ungkap dr. Ade.
Kemudian, dr. Ade juga memberikan informasi terkait tanda dan gejala dari gangguan jiwa mulai dari segi pikiran yang sulit berkonsentrasi hingga halusinasi. Perasaan yang selalu sedih hingga takut. Bahkan dalam berperilaku, ODGJ dalam membahayakan diri sendiri hingga orang lain.
Lebih lanjut, dr. Ade memberikan informasi kepada kader pendamping ODGJ dalam deteksi dini gangguan jiwa dengan 3 instrumen yakni Self Reporting Questionnaire dengan 20 dan 29 pertanyaan serta Geriatric Depression Scale (GDS).
Keterampilan Komunikasi Bagi Kader
Lanjut pada materi kedua yang dibawakan oleh dr. Baiq Rohaslia Rhadiana, M.Sc., Sp.KJ yang memaparkan bagaimana para kader mampu berkomunikasi dengan tepat baik dengan pasien ODGJ maupun keluarga karena komunikasi memiliki peran yang sangat penting untuk membentuk perilaku keteraturan minum obat untuk pasien.
“Bagaimana strategi komunikasi yang tepat dan efektif untuk pasien dan keluarga? Berangkat dari kebutuhan keluarga dan pasien, dari itu perlu dilakukan validasi terlebih dahulu pemahaman mereka (pasien dan keluarga -red) tentang informasi yang merek butuhkan. Penting bagi kita (kader pendamping -red) untuk memberi edukasi dan informasi yang dianggap perlu diketahui keluarga dengan tetap mengedepankan prinsip komunikasi yang baik,” jelas dr. Baiq
Selain itu, perlu ada sambung rasa dengan interaksi antara pasien dengan pewawancara yang didalamnya terdapat rasa percaya dan pengertian sehingga pasien dan keluarga lebih mudah membuka diri pada pemeriksa.
Peran dan Fungsi Kader Jiwa
Materi terakhir disampaikan oleh Dr. dr. Sunarto, M.Kes bagaimana pentingnya peran dan fungsi dari kader jiwa. Disampaikan oleh dr. Sunarto, peran kader sangat penting dalam mendampingi pasien ODGJ untuk pulih meliputi pendataan, pemantauan kasus gangguan jiwa di wilayah hingga menjadi motivator dalam pelaksanaan pengobatan dan rehabilitasi.
“Fungsi kader jiwa juga meliputi banyak aspek misalnya dari segi promotif, kader pendamping perlu menyampaikan informasi pentingnya memelihara kesehatan jiwa. Kemudian, langkah preventif juga dilakukan oleh kader dalam membantu mengenali gejala gangguan jiwa. Fungsi kuratif dengan mendorong dan memfasilitasi penderita untuk berobat. Hingga menjalankan fungsi rehabilitative dengan mendampingi pasien dalam proses pemulihan dan reintegrasi sosial,” jelas dr. Sunarto
dr. Sunarto juga memberikan beberapa rekomendasi untuk pemangku kepentingan dalam meningkatkan kinerja dari para kader pendamping ODGJ dan integrasi dalam penuntasan masalah ODGJ di wilayah DIY meliputi pendataan dan pemetaan wilayah kerja kader sehingga sasaran prioritas bisa maksimal.
“Pembentukan forum atau jejaring kader jiwa DIY sebagai wadah koordinasi, belajar bersama, dan bentuk dukungan. Penting juga dalam pengintegrasian program puskesmas, pemerintah desa, hingga dinas terkait bahkan rumah sakit. Selanjutnya, edukasi dan kampanye kesadaran jiwa dengan melakukan diskusi dengan warga hingga media sosial,” jelasnya.
Selain itu, monitoring dan evaluasi berkala dengan membuat indicator kinerja sehingga sasaran prioritas bisa terukur. Terakhir, advokasi untuk insentif dan perlindungan kader dengan perlingdingan hukum dan kesehatan, serta insentif dari dana desa maupun CSR (corporate social responsibility) atau tanggung jawab sosial dari pemangku kepentingan maupun mitra. (AHR/RS)
FK UII Gelar Pelatihan Kader Pendamping ODGJ, Peringati Hari Skizofrenia Sedunia
Memperingati hari skizofrenia sedunia, Departemen Ilmu Kesehatan Jiwa (IKJ) dan Ilmu Kesehatan Masyarakat (IKM) Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (FK UII) menyelenggarakan Pelatihan Kader Pendamping ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa) pada Sabtu (24/5) di Ruang Audio Visual Gedung Fakultas Hukum UII.
Mengangkat tema “Peningkatan Kompetensi Kader Kesehatan Jiwa Masyarakat dalam Deteksi Dini Psikosis se-DIY dan turut mengundang Dr. Ade Indah Wahdini, Sp.KJ, dan dr. Baiq Rohaslia Rhadiana, M.Sc., Sp.KJ, dan Dr. dr. Sunarto, M.Kes sebagai pemateri yang dibagi dalam tiga sesi. Acara dihadiri oleh perwakilan kader dari lima daerah yaitu Sleman, Bantul, Gunungkidul, Kota Yogyakarta.
Kesehatan jiwa kini menjadi isu krusial. Temuan terbaru menunjukkan bahwa salah satu daerah dengan angka tertinggi gangguan psikosis justru datang dari pusat pendidikan dan budaya yaitu Yogyakarta. “Data nasional itu ternyata, Psikosis Indonesia itu juaranya di D.I Yogyakarta. Berdasarkan data Survei Kesehatan Indonesia 2023, Indonesia mendapat 4% orang dengan gejala, sedangkan diagnosa tegas itu 3%. Artinya ada 1% yang tidak tertegakkan diagnosisnya. Ternyata di D.I Yogyakarta itu orang bergejala 9,3% artinya melebihi persentase nasional,” ungkap Dr. dr. Isnatin Miladiyah, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran UII dalam sambutannya.
Fathul Wahid, Rektor UII menyinggung bahwa semua orang bisa terkena gangguan kesehatan mental. Tidak terkecuali para mahasiswa. Untuk mendukung hal tersebut, UII menyediakan layanan konseling bagi mahasiswa. “Ini penting untuk memberikan kesadaran karena potensi gangguan kejiwaan bisa menjangkiti siapa saja. Preferensinya lebih tinggi di kalangan remaja,” ujar Fathul.
Orang yang mengalami gangguan kesehatan mental beresiko melakukan tindakan bunuh diri. Fathul mengatakan, kasus bunuh diri setiap tahun terjadi sebanyak 1.800 kasus. Ia juga turut mengapresiasi para peserta yang bersedia menjadi kader dan memberikan kontribusi nyata dalam menjadi pendamping ODGJ di wilayahnya masing-masing.
Lebih lanjut, Soleh Anwari, S.ST sebagai Kepala Bidang Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta (P3AP2) dalam sambutannya menekankan dukungan keluarga, empati dan pemahaman tentang ODGJ adalah faktor kunci kesembuhan bagi pasien ODGJ. (NKA/AHR/RS)
Jumat Bersimpuh Menjadi Ruang Doa dan Kebersamaan PAI UII
Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI) Universitas Islam Indonesia (UII), melalui organisasi Peace Education Community (PEC) yang bergerak dalam bidang dakwah di lingkungan PAI, kembali menggelar kegiatan “Jum’at Bersimpuh” pada Jumat (23/5). Acara ini berlangsung di Ruang Laboratorium PAI lantai 3, Gedung Wahid Hasyim, Kampus Terpadu UII.
Kegiatan yang rutin diselenggarakan setiap Jumat pagi ini diikuti oleh dosen, tenaga kependidikan, serta mahasiswa PAI UII. Mengusung tema “Menguatkan Kebersamaan, Meraih Keberkahan”, kegiatan ini menjadi wadah refleksi spiritual dan kebersamaan bagi sivitas akademika.
Acara diawali dengan pembacaan mujahadah, dipimpin oleh Moh. Mizan Habibi, S.Pd.I., M.Pd.I dosen PAI UII sekaligus pembimbing PEC. Mujahadah dibaca dalam bentuk sholawat, zikir, dan amalan-amalan lainnya. Kegiatan kemudian ditutup dengan doa bersama yang dipimpin oleh Drs. Imam Mudjiono, M.Ag.
Dalam wawancara usai kegiatan, Moh. Mizan Habibi menyampaikan bahwa kegiatan ini bertujuan mempererat rasa kebersamaan antar sivitas akademika PAI, sekaligus menjadi momen untuk memperkuat spiritualitas di tengah dinamika kehidupan kampus.
“Acara ini terlaksana dalam rangka mengajak para sivitas akademika PAI untuk memulai hari dengan berdoa’, zikir, serta bersholawat untuk melengkapi ikhtiar bersama menjadikan PAI lebih baik lagi” ungkapnya.
Sementara itu, Ketua PEC, Bunga Solikhah, menambahkan bahwa kegiatan serupa sebenarnya telah dirintis sejak periode sebelumnya, namun belum berjalan optimal. Pada masa kepengurusan PEC saat ini, ia berkomitmen untuk menguatkan kembali agenda ini secara lebih konsisten.
“Kami berharap kegiatan ini dapat menjadi sarana untuk mendoakan Program Studi PAI agar semakin maju dan memberi manfaat yang lebih luas,” ujarnya.
Dengan semangat kebersamaan dan nilai-nilai spiritual, “Jum’at Bersimpuh” diharapkan menjadi bagian dari budaya akademik yang mendalam dan memberi kesan positif tersendiri bagi lingkungan PAI UII. (GRR/AHR/RS)
Cilacs UII Terima Kunjungan Dirjen Kuathan Kemenhan RI
Cilacs UII menerima kunjungan dari perwakilan Kementerian Pertahanan Republik Indonesia (Kemenhan RI), Direktorat Jenderal Kekuatan Pertahanan (Dirjen Kuathan), dalam rangka konsultasi dan penjajakan kerja sama pengembangan program pelatihan bahasa asing bagi Taruna dari tiga matra TNI, yaitu Taruna Akademi Angkatan Udara (AAU), Taruna Akademi Angkatan Laut (AAL), dan Taruna Akademi Militer (Akmil) pada Kamis (22/05).
Kunjungan yang dilaksanakan di Kampus UII Demangan ini dihadiri oleh: Kolonel Permadi, Letkol Yogie, PNS Saeful dan disambut hangat oleh Kepala departemen Pemasaran Aditya Suci dan didampingi Mardianto (staf pemasaran).
Tujuan utama kunjungan ini adalah untuk mendiskusikan kebutuhan peningkatan kompetensi bahasa asing bagi Taruna terpilih yang dipersiapkan untuk mengikuti studi ke luar negeri, khususnya ke Amerika Serikat, Australia, dan Jepang.
Kerja sama ini merupakan pengembangan dari program pelatihan bahasa Jepang yang telah berjalan sebelumnya antara Kemenhan RI dan Cilacs UII. Dalam diskusi tersebut, beberapa kebutuhan program pelatihan yang disampaikan antara lain: Program Conversation (Speaking), Program Preparation TOEFL, Program English for Presentation, Program Preparation for ACT (American College Testing), Program Preparation for SAT (Scholastic Aptitude Test) dan Layanan registrasi resmi tes ACT dan SAT.
Cilacs UII menyambut baik inisiatif ini sebagai bagian dari kontribusi institusi dalam mendukung peningkatan kualitas sumber daya manusia pertahanan Indonesia yang mampu bersaing secara global melalui penguasaan bahasa asing. (ANK/AHR/RS))