Ilustrasi pembuka
Bayangkan dua gambar: seorang siswa kelas dua SD yang memegang kalkulator, dan seorang pedagang pasar tradisional yang juga memegang kalkulator. Alatnya sama, tetapi maknanya sangat berbeda.
Bagi siswa sekolah dasar, kalkulator yang digunakan terlalu dini justru dapat merusak proses belajar. Pada tahap itu, anak harus berlatih membangun pemahaman angka, menalar, dan mencari tahu bagaimana jawaban terbentuk. Jika kalkulator masuk terlalu cepat, ia menjadi jalan pintas yang membajak proses belajar.
Namun bagi pedagang pasar, kalkulator justru menjadi penyelamat. Ia mempercepat pelayanan, mengurangi kesalahan hitung, dan membantunya menjalankan usaha dengan lebih efisien. Di sini, kalkulator berperan sebagai alat pemberdayaan. Perbandingan ini menunjukkan satu pelajaran penting: teknologi tidak baik atau buruk dengan sendirinya — nilainya ditentukan oleh tujuan, waktu, dan kesiapan penggunanya.
Sekarang, mari kita mengganti kalkulator itu dengan akal imitasi atau artificial intelligence (AI). Pertanyaannya kemudian: apa makna kehadiran AI bagi dunia pendidikan tinggi? Selama ini kita terbiasa dengan mantra “semakin cerdas, semakin baik”. Namun para pakar seperti Stuart Russell (2020) mengingatkan, kecerdasan tanpa tujuan yang tepat dapat menjadi bumerang. Mesin dianggap cerdas apabila tindakannya membawa mesin itu pada tujuannya sendiri.
Tujuan manusia
Masalahnya, bagaimana jika tujuan mesin tidak sejalan dengan tujuan manusia? Jika itu terjadi, AI berpotensi merusak kemanusiaan alih-alih memajukannya. Karena itu, tugas kita bukan hanya menciptakan mesin yang cerdas, tetapi memastikan mesin itu bermanfaat bagi manusia. AI hanya layak dipakai sejauh ia membantu manusia mencapai tujuan-tujuannya — bukan menggantikannya, apalagi menggeser nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam konteks perguruan tinggi, tujuan itu mencakup tiga ranah utama. Pertama, di ranah pembelajaran: AI seharusnya membantu mahasiswa berpikir kritis dan kreatif, bukan sekadar menyalin jawaban tanpa memahami prosesnya. Kedua, di ranah pengajaran: AI dapat memperkaya desain pembelajaran, tetapi tidak boleh menghilangkan wawasan dan sentuhan personal seorang dosen. Ketiga, di ranah administrasi: AI dapat mempercepat dan memperkuat pengambilan keputusan, tetapi tidak boleh mengabaikan keadilan, konteks, dan empati.
Selama AI membantu kita semakin dekat pada nilai-nilai yang ingin kita perjuangkan sebagai manusia, ia layak dipakai. Sebaliknya, ketika AI menjauhkan kita dari tujuan yang paling autentik — seperti integritas, pemikiran mendalam, dan hubungan manusia — maka penggunaan itu perlu dikritisi.
Kita juga perlu mengakui kenyataan: AI bukan fenomena yang “akan datang suatu hari nanti”. AI sudah hadir dalam kegiatan kita sehari-hari. Mahasiswa menggunakannya untuk belajar, dosen untuk menyiapkan materi, peneliti untuk menganalisis data, dan universitas untuk mengelola layanan. Menolak AI sama saja dengan mengabaikan realitas. Namun menerima AI begitu saja juga bukan pilihan bijak. Tantangan kita bukan memilih “menggunakan atau tidak menggunakan AI”, melainkan “menggunakan AI secara bertanggung jawab”.
Peran universitas
Pada titik ini, kita sampai pada pertanyaan penting: apa sebenarnya peran universitas di era AI? Selama puluhan tahun, universitas dibangun atas misi menyampaikan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai. Kini, ilmu tersedia di mana saja dan kapan saja. Dengan bantuan AI, mahasiswa dapat memperoleh informasi dalam hitungan detik. Jika pembelajaran hanya tentang menghafal, merangkum, dan mengulang, AI bisa melakukannya lebih baik. Tetapi AI tidak bisa menanamkan empati, karakter, kepemimpinan, makna, atau nurani. Di sinilah peran universitas menjadi tak tergantikan. Perguruan tinggi bukan lagi sekadar ruang penyampaian informasi, melainkan ekosistem pembentukan manusia.
Karena itu, dosen di era AI bukan hanya penyampai materi di depan kelas. Mereka adalah pelatih berpikir kritis, mentor karakter dan profesionalisme, pemandu cara belajar, dan penerjemah informasi menjadi wawasan. AI mampu menjelaskan rumus, tetapi AI tidak mampu membuat mahasiswa percaya pada dirinya sendiri, atau mengambil keputusan etis dalam dilema kehidupan. Yang bisa melakukan itu adalah manusia.
Masa depan terbaik bukan “AI melawan manusia”, tetapi “AI bersama manusia”. Ketika mahasiswa belajar menggunakan AI dengan bimbingan dosen yang memahami kekuatan dan keterbatasannya, banyak hal besar dapat terjadi: pembelajaran menjadi lebih cepat, personal, dan kreatif. Yang lebih penting — mahasiswa belajar menggunakan teknologi dengan bertanggung jawab: untuk memecahkan masalah, bukan untuk menyontek.
Namun perubahan ini tidak akan terwujud jika hanya mengandalkan inisiatif individu. Institusi pendidikan tinggi perlu menyediakan kebijakan yang jelas, pelatihan bagi dosen, kolaborasi lintas disiplin, dan budaya yang mendukung eksperimen. Perguruan tinggi yang berhasil nanti bukan yang memiliki anggaran terbesar, melainkan yang memiliki kemauan beradaptasi terbesar.
Dalam percakapan tentang AI, kita memang mudah terbawa sikap ekstrem — terlalu optimis atau terlalu khawatir. Padahal jawaban terbaik ada di tengah: menggunakan AI secara bijaksana dan berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan. AI dapat membantu kita bergerak maju, selama kita tidak membiarkan AI mengambil alih hal yang paling manusiawi dalam pendidikan: integritas, kebijaksanaan, hubungan tulus, dan pertumbuhan pribadi mahasiswa. Jika kita mampu menjaga keseimbangan itu, masa depan pendidikan tinggi tidak hanya akan menjadi lebih cerdas — tetapi juga lebih bermakna.
Terjemahan dan elaborasi ringan dari pidato kunci bertajuk Transformasi Perguruan Tinggi di Era Kecerdasan Buatan dalam P2A Annual General Meeting di Universitas Islam Indonesia pada 21 November 2025.
Fathul Wahid
Rektor Universitas Islam Indonesia 2022-2026
Universitas di Era AI: Masih Perlukah?
Ilustrasi pembuka
Bayangkan dua gambar: seorang siswa kelas dua SD yang memegang kalkulator, dan seorang pedagang pasar tradisional yang juga memegang kalkulator. Alatnya sama, tetapi maknanya sangat berbeda.
Bagi siswa sekolah dasar, kalkulator yang digunakan terlalu dini justru dapat merusak proses belajar. Pada tahap itu, anak harus berlatih membangun pemahaman angka, menalar, dan mencari tahu bagaimana jawaban terbentuk. Jika kalkulator masuk terlalu cepat, ia menjadi jalan pintas yang membajak proses belajar.
Namun bagi pedagang pasar, kalkulator justru menjadi penyelamat. Ia mempercepat pelayanan, mengurangi kesalahan hitung, dan membantunya menjalankan usaha dengan lebih efisien. Di sini, kalkulator berperan sebagai alat pemberdayaan. Perbandingan ini menunjukkan satu pelajaran penting: teknologi tidak baik atau buruk dengan sendirinya — nilainya ditentukan oleh tujuan, waktu, dan kesiapan penggunanya.
Sekarang, mari kita mengganti kalkulator itu dengan akal imitasi atau artificial intelligence (AI). Pertanyaannya kemudian: apa makna kehadiran AI bagi dunia pendidikan tinggi? Selama ini kita terbiasa dengan mantra “semakin cerdas, semakin baik”. Namun para pakar seperti Stuart Russell (2020) mengingatkan, kecerdasan tanpa tujuan yang tepat dapat menjadi bumerang. Mesin dianggap cerdas apabila tindakannya membawa mesin itu pada tujuannya sendiri.
Tujuan manusia
Masalahnya, bagaimana jika tujuan mesin tidak sejalan dengan tujuan manusia? Jika itu terjadi, AI berpotensi merusak kemanusiaan alih-alih memajukannya. Karena itu, tugas kita bukan hanya menciptakan mesin yang cerdas, tetapi memastikan mesin itu bermanfaat bagi manusia. AI hanya layak dipakai sejauh ia membantu manusia mencapai tujuan-tujuannya — bukan menggantikannya, apalagi menggeser nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam konteks perguruan tinggi, tujuan itu mencakup tiga ranah utama. Pertama, di ranah pembelajaran: AI seharusnya membantu mahasiswa berpikir kritis dan kreatif, bukan sekadar menyalin jawaban tanpa memahami prosesnya. Kedua, di ranah pengajaran: AI dapat memperkaya desain pembelajaran, tetapi tidak boleh menghilangkan wawasan dan sentuhan personal seorang dosen. Ketiga, di ranah administrasi: AI dapat mempercepat dan memperkuat pengambilan keputusan, tetapi tidak boleh mengabaikan keadilan, konteks, dan empati.
Selama AI membantu kita semakin dekat pada nilai-nilai yang ingin kita perjuangkan sebagai manusia, ia layak dipakai. Sebaliknya, ketika AI menjauhkan kita dari tujuan yang paling autentik — seperti integritas, pemikiran mendalam, dan hubungan manusia — maka penggunaan itu perlu dikritisi.
Kita juga perlu mengakui kenyataan: AI bukan fenomena yang “akan datang suatu hari nanti”. AI sudah hadir dalam kegiatan kita sehari-hari. Mahasiswa menggunakannya untuk belajar, dosen untuk menyiapkan materi, peneliti untuk menganalisis data, dan universitas untuk mengelola layanan. Menolak AI sama saja dengan mengabaikan realitas. Namun menerima AI begitu saja juga bukan pilihan bijak. Tantangan kita bukan memilih “menggunakan atau tidak menggunakan AI”, melainkan “menggunakan AI secara bertanggung jawab”.
Peran universitas
Pada titik ini, kita sampai pada pertanyaan penting: apa sebenarnya peran universitas di era AI? Selama puluhan tahun, universitas dibangun atas misi menyampaikan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai. Kini, ilmu tersedia di mana saja dan kapan saja. Dengan bantuan AI, mahasiswa dapat memperoleh informasi dalam hitungan detik. Jika pembelajaran hanya tentang menghafal, merangkum, dan mengulang, AI bisa melakukannya lebih baik. Tetapi AI tidak bisa menanamkan empati, karakter, kepemimpinan, makna, atau nurani. Di sinilah peran universitas menjadi tak tergantikan. Perguruan tinggi bukan lagi sekadar ruang penyampaian informasi, melainkan ekosistem pembentukan manusia.
Karena itu, dosen di era AI bukan hanya penyampai materi di depan kelas. Mereka adalah pelatih berpikir kritis, mentor karakter dan profesionalisme, pemandu cara belajar, dan penerjemah informasi menjadi wawasan. AI mampu menjelaskan rumus, tetapi AI tidak mampu membuat mahasiswa percaya pada dirinya sendiri, atau mengambil keputusan etis dalam dilema kehidupan. Yang bisa melakukan itu adalah manusia.
Masa depan terbaik bukan “AI melawan manusia”, tetapi “AI bersama manusia”. Ketika mahasiswa belajar menggunakan AI dengan bimbingan dosen yang memahami kekuatan dan keterbatasannya, banyak hal besar dapat terjadi: pembelajaran menjadi lebih cepat, personal, dan kreatif. Yang lebih penting — mahasiswa belajar menggunakan teknologi dengan bertanggung jawab: untuk memecahkan masalah, bukan untuk menyontek.
Namun perubahan ini tidak akan terwujud jika hanya mengandalkan inisiatif individu. Institusi pendidikan tinggi perlu menyediakan kebijakan yang jelas, pelatihan bagi dosen, kolaborasi lintas disiplin, dan budaya yang mendukung eksperimen. Perguruan tinggi yang berhasil nanti bukan yang memiliki anggaran terbesar, melainkan yang memiliki kemauan beradaptasi terbesar.
Dalam percakapan tentang AI, kita memang mudah terbawa sikap ekstrem — terlalu optimis atau terlalu khawatir. Padahal jawaban terbaik ada di tengah: menggunakan AI secara bijaksana dan berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan. AI dapat membantu kita bergerak maju, selama kita tidak membiarkan AI mengambil alih hal yang paling manusiawi dalam pendidikan: integritas, kebijaksanaan, hubungan tulus, dan pertumbuhan pribadi mahasiswa. Jika kita mampu menjaga keseimbangan itu, masa depan pendidikan tinggi tidak hanya akan menjadi lebih cerdas — tetapi juga lebih bermakna.
Terjemahan dan elaborasi ringan dari pidato kunci bertajuk Transformasi Perguruan Tinggi di Era Kecerdasan Buatan dalam P2A Annual General Meeting di Universitas Islam Indonesia pada 21 November 2025.
Fathul Wahid
Rektor Universitas Islam Indonesia 2022-2026
UII Sambut Delegasi Universiti Malaya dalam Entrepreneurship & Cultural Program 2025
Universitas Islam Indonesia (UII) menyambut kedatangan delegasi dari Universiti Malaya (UM), Malaysia, dalam rangka pelaksanaan Entrepreneurship & Cultural Program (ECUP) 2025. Program yang diikuti oleh 20 mahasiswa dan 2 dosen pendamping ini dikoordinatori oleh Fakultas Bisnis dan Ekonomika (FBE) UII bekerja sama dengan Direktorat Kemitraan/Kantor Urusan Internasional (DK/KUI) UII sebagai bentuk sinergi dalam memperkuat inisiatif internasionalisasi kampus pada Senin (24/11) di Gedung Kuliah Umum Dr. Sardjito, Kampus Terpadu UII.
Acara pembukaan yang berlangsung di Gedung Kuliah Umum (GKU) UII diawali dengan sambutan dari Wakil Rektor Bidang Kemitraan dan Kewirausahaan UII, Dr. Wiryono Raharjo. Dalam pidatonya, Dr. Wiryono menyampaikan antusiasme UII dalam menyambut delegasi Universiti Malaya, serta menekankan pentingnya kolaborasi internasional untuk memperluas wawasan mahasiswa. Ia menambahkan bahwa ECUP merupakan ruang strategis untuk memperkenalkan mahasiswa pada semangat kewirausahaan sekaligus memperkaya pengalaman lintas budaya yang sangat relevan di era global.
Sambutan kedua disampaikan oleh Wakil Dekan Bidang Keagamaan, Kemahasiswaan, dan Alumni, FBE UII, Dr. Ahmad Tohirin, yang menegaskan komitmen FBE untuk terus mengembangkan kegiatan internasional yang memberikan dampak nyata bagi mahasiswa. Ia menyampaikan bahwa kehadiran mahasiswa dan dosen pendamping dari Universiti Malaya membuka kesempatan bagi kedua institusi untuk saling bertukar gagasan, belajar bersama, serta memperkuat jejaring akademik dalam suasana kolaboratif yang positif.
Selama pelaksanaan program, peserta ECUP akan mengikuti berbagai kegiatan yang dirancang untuk memberikan pengalaman komprehensif tentang kewirausahaan dan budaya lokal Yogyakarta. Rangkaian kegiatan tersebut meliputi kunjungan budaya ke Kraton Yogyakarta untuk memahami sejarah dan tradisi Kesultanan Yogyakarta, serta perjalanan ke Candi Borobudur untuk mengeksplorasi salah satu monumen warisan dunia UNESCO yang sarat nilai sejarah dan filosofis. Selain itu, peserta juga mengunjungi Project Bahasa Indonesia, sebuah inisiatif kewirausahaan sosial yang mengolah minyak jelantah menjadi lilin dan produk kreatif lainnya.
Program ECUP turut dilengkapi dengan tur kampus UII, kegiatan komunikasi lintas budaya, serta berbagai sesi akademik yang memungkinkan mahasiswa Universiti Malaya dan UII berinteraksi dalam suasana edukatif dan inspiratif. Melalui pengalaman kolaboratif ini, UII berharap program ECUP dapat memperkuat hubungan institusional dengan Universiti Malaya serta membuka peluang kerja sama yang lebih luas dalam bidang pendidikan, riset, dan pengembangan mahasiswa di masa mendatang. (NI/AHR/RS)
Kolaborasi FBE UII–IFG Tingkatkan Literasi Asuransi dan Dana Pensiun di Kalangan Mahasiswa
Fakultas Bisnis dan Ekonomika (FBE) Universitas Islam Indonesia (UII) berkolaborasi dengan IFG (Indonesian Financial Group) dalam program Campus Visit IFG Progress yang berlangsung pada Jum’at (21/11) kemarin. Kegiatan yang diselenggarakan di Gedung Aula Utara FBE UII ini mempunyai tujuan mendorong peningkatan literasi keuangan di kalangan mahasiswa. Dikemas secara interaktif, IFG Goes to Campus mengangkat tajuk Literasi Dasar dan Pengenalan Industri Asuransi dan Dana Pensiun. Kegiatan talkshow ini mengundang Erin Glory Pavayosa dan Afif Narawangsa yang sama-sama merupakan Research Assosiate IFG Progress. IFG Goes to Campus terbuka untuk mahasiswa D4, S1, S2, S3, Dosen dan Tendik FBE UII.
Prof. Johan Arifin, S.E., M.Si., Ph.D., CFrA, CertIPSAS, selaku Dekan FBE dalam sambutannya menyampaikan keprihatinan tentang banyaknya masyarakat yang belum memahami tentang pentingnya literasi asuransi dan dana pensiun. “Sayangnya masyarakat Indonesia itu belum maksimal dalam memahami relasi tentang terkait dengan kedua sektor ini, yaitu asuransi dan dana pensiun. Nah, tentu menjadi tantangan dan peluang bagi kami selaku institusi pendidikan maupun bagi teman-teman dari FG selaku praktisi pada industri tersebut untuk memberikan pengetahuan yang tepat dan komprehensif pada masyarakat,” ujar Prof. Johan.
Nada Serpina, Research Associate di IFG Progress menambahkan bahwa pemahaman tentang asuransi dan dana pensiun ini sebagai bekal bagi mahasiswa untuk menyiapkan dirinya ketika nanti sudah lulus dan memasuki dunia pekerjaan. “Jadi, nanti kemudian ketika teman-teman sudah mempunyai kemampuan finansial untuk menggunakan produk asuransi dan untuk menabung dana pensiun itu sudah punya basic pengetahuannya. Jadi memang kalau dipikir-pikir kenapa harus belajar sekarang? Justru itu, belajarnya harus se-dini mungkin sebelum nanti teman-teman masuk ke dunia pekerjaan gitu,” ucap Nada.
Acara inti talkshow dimoderatori oleh Listya Endang Artiani, SE., M.Si. yang merupakan dosen di FBE UII. Materi pertama disampaikan Erin yang menjelaskan tentang literasi dasar dan pengenalan tentang industri asuransi. Industri asuransi merupakan bagian dari industri keuangan non-bank. Tujuannya adalah untuk mengenal asuransi sebagai proteksi finansial, memahami produk-produknya, dan peranannya dalam perencanaan keuangan.
Dalam penyampaiannya, Erin mengenalkan kepada peserta tentang sebuah risiko yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Seperti sakit, kecelakaan, bangkrut, keluarga meninggal. Ia menjelaskan tentang tingkatan frekuensi resiko yang dapat difasilitasi oleh asuransi, dan resiko yang tidak dapat difasilitasi.
Pada materi yang disampaikan oleh Afif berfokus pada dana pensiun dan strategi mengelola dana tersebut, bukan hanya berinvestasi di dalamnya. Diskusi berawal pada saat Afif bertanya kepada peserta tentang tabungan dan investasi mereka seperti saham, deposito, obligasi, dan kripto. Ia mencatat bahwa banyak orang baru mulai memikirkan pensiun di usia sekitar 44 tahun, yang seringkali ketika keamanan finansial menjadi perhatian.
Ia menekankan pentingnya memiliki pendapatan positif dan mengelola pengeluaran, memastikan pendapatan melebihi pengeluaran. Ia juga menyinggung konsep ‘dana darurat’ atau ‘jalan darurat’.
Acara berjalan dengan interaktif dan peserta juga antusias melontarkan pertanyaan kepada para pemateri yang hadir. Harapannya, kegiatan ini bisa menjadi jalan bagi mahasiswa untuk lebih dekat dan juga lebih tertarik untuk berkontribusi di industri asuransi dan dana pensiun. Semoga kolaborasi antara FBE UII dan IFG dapat terus berlanjut untuk menciptakan generasi muda yang lebih siap menghadapi tantangan resiko di masa yang akan datang. (NKA/AHR/RS)
UII Dorong Penguatan Peta Jalan Integrasi Indonesia dengan Dunia Islam
Program Studi Hubungan Internasional (Prodi HI) Universitas Islam Indonesia (UII) bekerja sama dengan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemlu RI) menyelenggarakan Kuliah Umum bertajuk “Menuju Integrasi Indonesia ke Dunia Islam: Kepentingan Nasional dan Realitas Geopolitik” pada Jumat (21/11) dengan menghadirkan narasumber Wakil Menteri Luar Negeri, Muhammad Anis Matta. Acara ini menjadi bagian dari rangkaian kerja sama penelitian antara Prodi HI UII dan Kemlu RI dalam penyusunan Policy Output Mengintegrasikan Indonesia dan Dunia Islam: Arah, Kerangka, dan Peta Jalan.
Dalam sambutannya, Rektor UII Fathul Wahid menegaskan bahwa kerja sama UII dan Kemlu RI telah berjalan intensif. Ia menambahkan bahwa UII juga aktif membuka ruang dialog global, salah satunya melalui keterlibatan dalam R20 Interfaith Dialogue sebagai bagian dari forum G20 di Bali tahun 2022. Fathul menekankan bahwa agama memiliki peran penting dalam merespons tantangan dunia, mulai dari krisis energi hingga konflik berkepanjangan. “Kami percaya Indonesia memiliki posisi strategis, dan Islam dipercaya sebagai soft power untuk menyelesaikan masalah global serta menjadi sumber inspirasi,” ujarnya.
Dalam sesi Kuliah Umum, Wakil Menteri Luar Negeri RI, Muhammad Anis Matta, menekankan bahwa Indonesia memiliki peluang besar dalam berperan secara strategis di dunia Islam. “Indonesia memiliki tiga elemen utama yang dapat menjadi landasan perencanaan dan penguatan posisinya di kancah global, yaitu agama, demokrasi, dan kemakmuran. Kombinasi tiga elemen ini merupakan keunggulan strategis yang tidak selalu dimiliki oleh negara-negara lain,” jelasnya. Anis Matta juga menyoroti bahwa perjuangan Dunia Islam yang menempatkan nilai persatuan dan kemanusiaan sebagai landasan bersama dapat menjadi game changer dalam mencari solusi atas krisis kemanusiaan di Palestina.
Ketua tim peneliti Policy Output sekaligus Wakil Dekan Sumber Daya Fakultas Ilmu Sosial Budaya UII, Irawan Jati, menegaskan pentingnya langkah bertahap untuk mencapai integrasi Indonesia dengan Dunia Islam. “Peta jalan ini mengajukan beberapa capaian kunci atau key milestones yang didasarkan pada identifikasi SOAR (Strength, Opportunities, Aspirations, Results) dan kapabilitas, serta disesuaikan dengan periode RPJMN dan sasaran utama visi RPJPN 2045”. Ia menjelaskan bahwa tahapan tersebut menjadi panduan praktis bagi pemerintah untuk mengukur kemajuan dan memastikan bahwa integrasi Indonesia dengan Dunia Islam berjalan terarah serta memberi manfaat jangka panjang bagi kepentingan nasional.
Menutup sesi Kuliah Umum, moderator Rizki Dian Nursita, menyimpulkan bahwa posisi Indonesia di Dunia Islam semakin penting baik secara geopolitik maupun ekonomi. “Indonesia merupakan salah satu pusat dari ekonomi halal global, dengan nilai pasar halal mencapai sekitar USD 279 miliar pada 2023 dan diproyeksikan meningkat menjadi USD 807 miliar pada 2030”. Ia juga mencatat bahwa dinamika ekonomi Dunia Islam kini dipimpin oleh aktor utama seperti Malaysia, Arab Saudi, Indonesia, dan Uni Emirat Arab, yang membuka peluang besar bagi Indonesia untuk memperkuat pengaruh geopolitik melalui kerja sama ekonomi, industri halal, dan diplomasi kawasan.
Rangkaian kerja sama penelitian dan penyelenggaraan Kuliah Umum ini menegaskan komitmen UII dalam mendukung diplomasi Indonesia di Dunia Islam, baik melalui penguatan riset maupun ruang dialog strategis. Melalui kolaborasi berkelanjutan dengan Kemlu RI, UII berupaya memperluas kontribusinya dalam membangun pemahaman kawasan, memperkuat jejaring akademik, dan menghadirkan gagasan yang relevan bagi kepentingan nasional Indonesia di tengah dinamika global. (KU/AHR/RS)
Strategi Baru Masyarakat Adat Namblong Lindungi Hak Ulayat
Di tengah situasi kritis masyarakat adat Indonesia yang terus berhadapan dengan ekspansi korporasi, muncul sebuah terobosan perlindungan hak ulayat yang tidak biasa. Masyarakat Adat Namblong di Kabupaten Jayapura, Papua, memilih melakukan “mimikri institusional” dengan mendirikan sebuah perseroan terbatas, PT Yombe Namblong Nggua, untuk secara aktif mempertahankan hak-hak mereka dari ancaman deforestasi. Fenomena inilah yang menjadi pemantik utama dalam Seminar Nasional yang digelar Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia pada Kamis (20/11).
Langkah Suku Namblong mendirikan PT dilatarbelakangi oleh situasi kritis masyarakat adat di Indonesia dan lemahnya instrumen hukum publik dalam memberikan perlindungan. Keynote Speaker seminar tersebut, Direktur Advokasi Hukum dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Muhamad Arman, memaparkan bahwa masyarakat adat kini terbagi dalam tiga kategori: yang masih cukup kuat, yang kritis, dan yang terancam punah.
Arman juga menyoroti kerugian masif yang dialami masyarakat adat. Ia mengutip data AMAN: “ada sekurang-kurangnya 11,7 juta hektar wilayah masyarakat adat itu yang diambil alih atas nama pembangunan untuk izin-izin konsesi pertambangan, untuk izin-izin konsesi perkebunan monokultur, untuk izin-izin konsesi kehutanan, maupun infrastruktur yang sering kita dengar dengan istilah proyek strategis nasional atau PSN,” ungkapnya.
Kelemahan hukum ini juga tercermin di pengadilan. Arman menceritakan pengalamannya menggugat perusahaan sawit di Kalimantan Barat, yang mana gugatan tersebut ditolak karena masyarakat adat dianggap tidak memiliki kedudukan hukum.
“Alasannya adalah karena masyarakat adat yang melakukan gugatan itu itu tidak memiliki legal standing. Kenapa tidak punya legal standing? Karena masyarakat adat itu belum dapat pengakuan dari negara,” jelas Arman.
Pandangan kritis mengenai sistem hukum nasional disampaikan oleh Prof. Dr. Widodo Dwi Putro, dari Universitas Mataram. Ia menggambarkan hubungan antara hukum adat dan korporasi sebagai dua unsur yang tak mungkin bersatu, seperti “air dan minyak” dalam ilmu kimia. Prof. Widodo menilai regulasi yang melindungi korporasi sebagai bentuk kejahatan legal.
“Saya menyebutnya ini sebagai law as a tool of perfect crime. Kalau mereka mengambil atau merampas tanah masyarakat adat itu bukan kejahatan, karena sudah dilegalisasi oleh hukum. Kejahatan yang sempurna adalah ketika kejahatan itu bersalin rupa menjadi hukum, ia tidak bisa dijerat oleh hukum karena sudah menjadi bagian dari hukum itu.” tegas Prof. Widodo.
Penggunaan instrumen hukum perdata melalui pendirian PT Yombe Namblong Nggua menjadi perhatian para ahli. Guru Besar Hukum dari UII, Prof. Dr. Muhamad Syamsudin, menyebut fenomena ini sebagai terobosan yang tak terduga. “Nah, inilah yang disebut dengan mimikri. Saya kagum, saya takjub dengan kawan-kawan di Namblong yang membuat PT Yombe Namblong Nggua. Mengapa? Karena itu merupakan suatu novelty, suatu kebaruan.” ungkap Syamsudin.
Menurut Syamsudin, problem perlindungan hak adat di Indonesia adalah akibat “transplantasi hukum kita yang terbalik,” di mana hukum adat dipaksakan menyesuaikan dengan hukum impor.
Sementara itu, Akademisi Hukum dari UGM, Dr. Yance Arizona, melihat strategi ini penting untuk diakomodasi dalam perkembangan hukum perdata. “Kita melihat dari pengakuan subjek, tidak saja melihat masyarakat adat itu sebagai satu subjek publik, tapi juga sebagai subjek privat. itu menjadi penting dan sebagai subjek privat ia bisa melakukan kontrak bertanggung jawab dan juga memiliki legal standing.” jelas Yance.
Direktur PT Yombe Namblong Nggua, Yohana Tarua, menjelaskan bahwa perusahaan yang dibentuk pada September 2024 ini dimiliki oleh 44 marga Suku Namblong yang bertindak sebagai pemegang saham. Perusahaan yang mengelola wilayah adat seluas 52.530 hektar ini berpegang pada filosofi Noken. Noken merupakan tas multifungsi yang dibuat dari tali serat kayu yang digunakan hampir seluruh orang Papua. “Jadi benangnya itu saling mengait, saling terhubung dan solid. Noken ini sebagai identitas orang Papua” ujarnya.
Tujuan utama PT ini untuk mengendalikan wilayah adat sendiri. Yohana Tarua menambahkan, mendirikan perusahaan milik masyarakat adat memberikan harapan baru tentang bagaimana masyarakat adat mampu mengendalikan pengolahan wilayah adatnya sendiri. Tujuan lainnya adalah menjaga aset tanah, air, udara, serta mensejahterakan 19.000 jiwa warga Suku Namblong. Untuk mendorong perputaran ekonomi adat, PT Yombe Namblong Nggua mengembangkan enam unit usaha, yakni kehutanan, pertanian, vanila, ekowisata, perikanan, dan peternakan.
Di sisi lain, Prof. Widodo memberikan catatan kritis mengenai risiko dari “perkawinan paksa” antara hukum adat dan hukum korporasi ini. Ia memperingatkan, “Apakah perkawinan paksa antara hukum adat dan hukum korporasi ini merupakan terobosan perlindungan hak ulayat yang jenius atau menjadi kuda troya yang menyimpan bom waktu sengketa kepemilikan di masa depan?” jelasnya.
Untuk menghindari jebakan tersebut, Prof. Widodo mendesak adanya “transplantasi hukum terbalik” di mana hukum nasional menyesuaikan dengan kebutuhan adat. Ia secara spesifik menyarankan agar asas inalienability (tidak dapat dialihkan) tanah adat diterapkan pada saham perusahaan BUMA.
“Yang penting di sini saham ini ada kekhususan. Saham ini tidak dapat diperjual belikan, ya, karena memang di situ ada asas inalienability atau inalienabilitas tanah adat yang diterapkan ke saham perusahaan,” pungkasnya. (MANF/AHR/RS)
UII Gelar Seminar Kesehatan Mental dan Resmikan Layanan Konseling Pegawai
Universitas Islam Indonesia (UII) melalui Direktorat Sumber Daya Manusia/Sekolah Kepemimpinan (DSDM/SK) menggelar seminar kesehatan mental bertajuk “Kesejahteraan Mental untuk Kinerja Optimal” pada Rabu (12/11) di Auditorium Fakultas Hukum (FH) UII. Kegiatan ini menghadirkan Prof. Aulia Iskandarsyah, M.Psi, M.Sc., Ph.D seorang Psikolog Klinis dan Kesehatan dari Universitas Padjajaran dan dihadiri oleh dosen dan tenaga kependidikan di lingkungan UII.
Kegiatan seminar ini juga diselenggarakan bersamaan dengan Pembukaan Layanan Konseling Pegawai yang ditandai dengan pemasangan puzzle oleh perwakilan tenaga kependidikan UII Nisrina Kamilia Salsabila, S.Si., M.Si; Direktur DSDM/SK UII, Ike Agustina, S.Psi., M.Psi., Psikolog; Ketua Program Studi Pendidikan Profesi Psikologi Program Profesi, Dr. Sus Budiharto, S.Psi., M.Si., Psi.; serta Rektor UII, Fathul Wahid.
Rektor UII, Fathul Wahid, dalam sambutannya menyampaikan bahwa layanan konseling pegawai ini merupakan konkritisasi dari gagasan lama yang sudah berjalan. Saat ini UII berupaya melembagakannya melalui mekanisme yang lebih sistematis yang akan dikawal oleh DSDM/SK, sementara sistemnya didukung oleh Badan Sistem Informasi (BSI) UII.
Lebih lanjut Fathul Wahid juga mengingat sebuah buku berjudul Mati Ketawa ala Rusia. Dari cerita-cerita di dalamnya, terdapat pelajaran penting tentang membangun pola pikir, memperluas perspektif, dan mengelola ekspektasi.
“Karena sering kali kita kena paparan yang menyebabkan kita gagal dalam mengelola ekspektasi—berharap luar biasa, tidak ukur badan, dan akhirnya yang terjadi itu dari satu baper ke baper yang lain,” ungkap Rektor UII ini.
Selain layanan konseling, UII juga memiliki acara rutin UII Sore Nyastra yang dapat menjadi sarana untuk mengurangi stres. Dosen maupun tenaga kependidikan yang sedang galau—baik terhadap diri sendiri, lingkungan, maupun negara—dapat menyalurkannya melalui puisi. Demikian pula Festival Seni Pertunjukan yang diadakan setiap Milad UII, dapat diintegrasikan sebagai bagian dari inisiatif untuk menjaga dan meningkatkan kesejahteraan mental.
Kesejahteraan Mental untuk Kinerja Optimal
Bekerja merupakan fitrah manusia yang membedakannya dari makhluk lain sebagai bentuk aktualisasi diri. Tetapi, seiring berjalannya waktu, manusia merasa tersiksa dengan pekerjaannya karena berbagai macam faktor khususnya di era ketidakpastian ini yang menyebabkan banyaknya tekanan sehingga diperlukan kekuatan psikologis dan kompetensi yang mumpuni. Berikut yang di sampaikan oleh Prof. Aulia Iskandarsyah seorang Psikolog Klinis dan kesehatan dari Universitas Padjajaran dalam pemaparan materi bertema “Kesehatah Mental untuk Kinerja Optimal”.
Ia menjelaskan bahwa kondisi kerja modern menuntut kemampuan adaptasi yang kuat. Mengutip WHO, Prof. Aulia menyebut kesehatan mental sebagai kemampuan mengatasi tekanan hidup dan bekerja dengan baik. Ia menambahkan, “Beban kerja berlebihan, jam kerja panjang, hingga bullying dapat menjadi risiko kesehatan mental pekerja,” ungkap Prof. Aulia.
Prof. Aulia juga memaparkan cara mengelola stres, termasuk mengenali gejalanya sejak awal. Ia mengatakan bahwa stres tidak selalu negatif, namun tetap perlu diatur. “Manajemen stres bertujuan menjaga agar fungsi kehidupan tidak terganggu,” jelasnya. Strategi yang dianjurkan antara lain mengubah persepsi terhadap stresor dan menerima dukungan sosial.
Selain itu, Ia memperkenalkan berbagai teknik pengelolaan emosi dan batasan diri yang dapat diterapkan sehari-hari. Beberapa di antaranya meliputi mindfulness, scaling untuk memantau intensitas emosi, serta latihan pernapasan sebagai cara menenangkan diri dalam situasi menekan. Teknik-teknik ini disebutnya penting untuk menjaga keseimbangan dalam menghadapi dinamika pekerjaan.
Pada sesi penutup, ia menjelaskan Psychological First Aid (PFA) yang dapat dilakukan oleh siapa saja. Adapun tiga langkah PFA meliputi Look, Listen, dan Link. “Kita cukup mengamati, mendengarkan tanpa menghakimi, dan menghubungkan pada bantuan yang tepat,” kata Prof. Aulia, menegaskan pentingnya dukungan awal bagi pegawai yang mengalami tekanan.
Dengan kegiatan ini, diharapkan kesejahteraan mental tenaga kependidikan UII dapat terus terjaga sehingga mampu memberikan kinerja optimal di setiap waktu. Upaya kolektif ini juga menjadi wujud komitmen UII dalam menciptakan lingkungan kerja yang sehat, suportif, dan kolaboratif. (AHR/RS)
UII Sambut Peserta Inbound Sea-Teacher dan Lepas Mahasiswa Outbound ke Filipina
Universitas Islam Indonesia (UII) melalui Direktorat Kemitraan/Kantor Urusan Internasional menyelenggarakan kegiatan orientasi dan penyerahan mahasiswa inbound Program Sea-Teacher ke Afkaaruna School, Yogyakarta pada Senin (10/11) di Gedung Kuliah Umum Dr. Sardjito, Kampus Terpadu UII.
Program praktik mengajar ini akan berlangsung selama satu bulan, dimulai pada 10 November 2025, dengan rangkaian kegiatan mencakup UII Welcoming Program, observasi sekolah dan kelas, pelatihan rencana pembelajaran (lesson plan), praktik mengajar, hingga farewell program.
Pada kesempatan itu, Dian Sari Utami menyampaikan apresiasinya kepada para peserta yang telah memilih UII sebagai mitra pembelajaran.
“Kami menyambut hangat para mahasiswa inbound Sea-Teacher di UII. Semoga melalui program ini, para peserta tidak hanya memperoleh pengalaman mengajar di lingkungan yang baru, tetapi juga memahami nilai-nilai pendidikan dan budaya yang menjadi bagian penting dari pembelajaran lintas negara,” ujarnya.
Selain menyambut mahasiswa inbound, UII juga telah memberangkatkan dua mahasiswa Pendidikan Kimia ke Mariano Marcos State University, Filipina pada 5 November 2025, serta dua mahasiswa dari Pendidikan Bahasa Inggris dan Pendidikan Kimia ke De La Salle University, Filipina pada 9 November 2025.
Kerja sama ini merupakan bentuk resiprokalitas antara UII dan program Sea-Teacher yang bernaung di bawah SEAMEO (Southeast Asian Ministers of Education Organization), sebagai upaya memperkuat jejaring akademik dan meningkatkan kompetensi calon pendidik di kawasan Asia Tenggara. (DS/AHR/RS)
UII Sambut Temasek Polytechnic dalam Program P2A Global Sea 2025
Universitas Islam Indonesia (UII) melalui Direktorat Kemitraan/Kantor Urusan Internasional (DK/KUI) menjadi tuan rumah dalam Program Passage to ASEAN (P2A) Global Sea oleh Temasek Polytechnic Singapore. Pembukaan program ini dilaksanakan di Gedung Kuliah Umum Dr. Sardjito, Kampus Terpadu UII pada Senin (10/11). Kegiatan yang berlangsung tanggal 9-12 November 2025 ini diikuti oleh 25 peserta beserta 2 dosen pendamping. Para peserta juga didampingi oleh beberapa mahasiswa UII yang tergabung dalam Culture Learning Center (CLC) UII sebagai buddy atau pendamping kegiatan.
P2A merupakan kegiatan yang diikuti oleh berbagai kampus di ASEAN yang bertujuan untuk menyebarkan solidaritas dan pemahaman antar budaya guna mendukung visi dan misi ASEAN. Kegiatan yang diadakan antara lain kunjungan antar universitas, pertukaran pelajar, hingga pelatihan bagi mahasiswa dan dosen. UII sendiri telah beberapa kali menjadi tuan rumah P2A dari berbagai kampus.
Kepala Divisi Mobilitas Internasional, Direktorat Kemitraan/Kantor Urusan Internasional (DK/KUI) UII, Nihlah Ilhami, menyambut kedatangan mahasiswa dari Temasek Polytechnic di UII. “Merupakan suatu kehormatan untuk menjadi bagian dari program ini, kami berterima kasih atas kunjungan dan kesempatan berkolaborasi antara Temasek Polytechnic dan UII,” ucapnya.
Dalam kesempatan lain, Direktur Kemitraan/ Kantor Urusan Internasional, Dr.rer.nat. Dian Sari Utami, S.Psi., M.A. menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan agenda kolaboratif yang secara rutin dilaksanakan antara UII dan Temasek Polytechnic. Ia menegaskan bahwa program ini menjadi momentum penting dalam mempererat hubungan budaya antara Indonesia dan Singapura
“Program ini merupakan langkah nyata dalam memperkuat kolaborasi antarbudaya. Melalui kegiatan ini, mahasiswa dari kedua negara dapat berinteraksi secara hangat dan saling belajar, sekaligus mengenal nilai-nilai budaya Indonesia yang kaya dan beragam,” ujarnya.
Kegiatan ini mempunyai beberapa rangkaian rencana kolaboratif meliputi pembuatan minyak esensial, lilin aromaterapi, dan tur kampus terutama kunjungan ke Candi Kimpulan UII. Selain itu juga menyajikan berbagai kegiatan eksplorasi budaya, seperti kunjungan ke PT. Naturindo untuk praktik pembuatan jamu, aktivitas budaya di Desa Wisata Tembi, kunjungan ke perusahaan kulit PT. Adi Satria Abadi, serta wisata budaya ke Candi Borobudur. Seluruh rangkaian kegiatan ini bertujuan untuk menumbuhkan apresiasi budaya, mempererat kolaborasi dan menciptakan pengalaman yang berkesan.
Representatif dari Temasek Polytechnic, Alin Pao dalam sambutannya membagikan pengalamannya dalam menjelajah di Yogyakarta. Ia menantikan kegiatan kedepannya akan banyak menumbuhkan pengalaman kepada mahasiswa Temasek Polytechnic dalam mengeksplor kebudayaan di Indonesia.
Para peserta berkesempatan mempelajari Bahasa Indonesia melalui latihan percakapan dengan teman dan sejarah mengenai Kota Yogyakarta. Materi yang dibawakan oleh CLC berpusat pada pengenalan mengenai budaya tradisional di Yogyakarta, seperti makanan tradisional, praktik belajar bahasa Jawa dan proses pembuatan batik.
Seluruh rangkaian kegiatan berjalan lancar dan diwarnai suasana akrab antara peserta Temasek Polytechnic dan mahasiswa UII. Interaksi yang terjalin selama aktivitas memberi pengalaman baru bagi keduanya dalam memahami budaya dan kehidupan kampus di UII. (DS/NKA/AHR/RS)
DPP IKA UII Salurkan Beasiswa untuk Dukung Prestasi Siswa SMA UII
Sebagai bentuk komitmen dalam memajukan pendidikan Indonesia pada berbagai jenjang, Dewan Perwakilan Pusat Ikatan Keluarga Alumni Universitas Islam Indonesia (DPP IKA UII) menyalurkan beasiswa bagi siswa SMA UII. Penyerahan simbolis diberikan langsung oleh Ketua DPP IKA UII, Dr. Ari Yusuf Amir, S.H., M.H kepada Kepala SMA UII, Dr. Maman Surakhman, M.Pd.I pada Sabtu (08/11) di Auditorium Yayasan Badan Wakaf (YBW) UII, Yogyakarta dan disaksikan langsung oleh Ketua Umum Pengurus YBW UII, Dr. Suparman Marzuki, S.H., M.Si.
Program beasiswa ini pertama kali diberikan kepada 10 siswa SMA UII dari kelas X hingga XII, dengan total dana sebesar 300 juta. Sebelumnya, selama sepuluh tahun terakhir, DPP IKA UII telah menyalurkan beasiswa kepada mahasiswa pada jenjang sarjana, magister, hingga doktoral.
Saat sesi wawancara, Ari Yusuf Amir mengatakan program beasiswa ini masih berada pada tahap awal dan kedepannya akan terus berlanjut. Ia juga berharap para penerima beasiswa mampu membawa dan mewujudkan cita-cita luhur pendiri UII yang juga merupakan para pendiri bangsa Indonesia.
“Harapannya, mereka tidak hanya sekadar mendapatkan ilmu, tetapi bagaimana ilmu tersebut bisa bermanfaat bagi masyarakat, bagaimana ilmu itu berperan bagi masyarakat—bisa jadi fungsi sosial yang baik di masyarakat, itu harapan kita. Sehingga mereka punya sikap leadership dan sikap kritis agar ketika mereka jadi mahasiswa bisa lebih siap lagi,” harap Ketua DPP IKA UII ini.
Lebih lanjut, terkait kriteria penerima manfaat, Maman Surakhman menyatakan beasiswa diberikan kepada siswa yang memiliki prestasi baik akademik maupun non-akademik atau keagamaan dengan prioritas dari keluarga tidak mampu. “Penyaluran ada yang sebagian tahun ini, sebagian ada yang tahun depan tapi yang jelas sekolah akan menginventarisir anak-anak yang punya prestasi,” ungkap Maman.
Selain itu, SMA UII juga terus berkomitmen untuk mengoptimalkan potensi setiap siswa, tidak hanya memberdayakan sumber daya manusia (SDM) yang ada tetapi melibatkan para ahli profesional sehingga lulusan memiliki profil yang unggul dan berdaya saing.
Melalui program beasiswa yang diiringi dengan pembinaan berkelanjutan, SMA UII dapat melahirkan generasi penerus bangsa yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga mampu merawat nilai-nilai luhur pendiri bangsa serta bermanfaat bagi masyarakat luas. (AHR/RS)
Teknologi AI Tidak Menggantikan Profesi Guru
Yayasan Darussalam Selokerto (YDS) dan Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) mengadakan Workshop bertema “Menjadi Guru di Era Artificial Intellegence (AI) & Produksi Media Pembelajaran dan Promosi Sekolah Berbasis AI”.
Workshop dilaksanakan pada Sabtu (08/11) di Restoran The Harjo’s Pancasari Yogyakarta yang dihadiri oleh pembina, pengawas, pengurus YDS, guru, tenaga kependidikan RA dan SDIT Darussalam Selokerto, serta beberapa mahasiswi Program Studi Magister Ilmu Komunikasi UII. Kegiatan tersebut merupakan salah satu aktivitas dari rangkaian program pengabdian masyarakat Prodi Ilmu Komunikasi UII di RA dan SDIT Darussalam Selokerto.
Pemateri kegiatan ini adalah Prof. Dr Subhan Afifi, M.Si selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Komunikasi UII dan Budi Yuwono, S.Sos, M.Sn. selaku Dosen STSRD Visi Yogyakarta dan Praktisi Desain Komunikasi Visual.
AI Tidak Menggantikan Profesi Guru
Prof. Subhan Afifi menyampaikan dalam materinya, teknologi AI memberikan tantangan terhadap eksistensi profesi guru, dan juga profesi-profesi lainnya di masa depan. Prof. Subhan mengutip pernyataan Bill Gates yang memprediksi bahwa dalam 10 tahun mendatang, guru-guru akan tergantikan oleh AI. Bahkan saat ini sudah mulai muncul sekolah tanpa guru.
“Tentu agendanya adalah bagaimana para guru merespon tantangan ini,” ujar Prof. Subhan. “AI atau teknologi itu hanya tools saja. Kita meyakini bahwa guru tidak tergantikan oleh AI, tapi bagaimana para guru memanfaatkan AI untuk mendukung tugas mulianya. Tugas guru tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, tetapi mendidik keyakinan, karakter dan akhlak mulia dengan sentuhan personal dan manusiawi. Kemampuan itu yang tidak dimiliki AI,” tambahnya.
Selain pemaparan dari Prof. Subhan, pemateri berikutnya, Budi Yuwono menambahkan, kepintaran sebenarnya dimiliki oleh manusia, bukan AI. “AI sebenarnya “bodoh”, karena AI hanya menerima data dan mengikuti instruksi atau prompt manusia untuk memproduksi sebuah karya, seperti video dan gambar,” jelas Budi Yuwono.
Budi Yuwono memberikan stategi produksi video pembelajaran dan promosi sekolah berbasis AI. Kuncinya adalah membuat prompt atau instruksi untuk produksi video dengan teknologi AI harus secara detail untuk mendapatkan hasil optimal yang diharapkan. “Prompt dituliskan dengan menyertakan jenis visual, subjek, detail subjek, background setting, mood atau suasana, bahkan hingga ke teknik kamera. Di sinilah letak kreativitas manusia dalam mengupayakan pekerjaan dengan menggunakan teknologi AI,” ujar Budi Yuwono.
Manfaat-Mudharat AI
Prof. Subhan menyampaikan bahwa para guru dan tenaga kependidikan bisa mengoptimalkan teknologi AI dengan berbagai manfaat dan kelebihannya untuk mendukung proses pembelajaran di sekolah. “Manfaatnya sangat banyak, misal membatu guru dalam hal efisiensi waktu, personalisasi pembelajaran, inovasi media dan metode, analisis data pembelajaran, pengembangan profesional hingga menjadi pendamping/asisten guru dalam mengembangkan kualitas pembelajaran,” tambahnya.
Meski demikian, selain memberikan manfaat, AI memiliki potensi dampak buruk (mudharat) yang harus diwaspadai, seperti plagiarisme, berkurangnya kreativitas dan kemandirian, hilangnya nilai-nilai kemanusiaan, terancamnya privasi dan keamanan, bahkan terganggunya kesehatan mental pengguna yang menggunakannya secara berlebihan dan tidak terkontrol.
“Untuk itu diperlukan peningkatan literasi digital di kalangan para guru untuk memanfaatkan AI dengan bijak dan menegakkan etika, sekaligus mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif, agar terhindar dari dampak buruk AI” pungkas Prof Subhan. (EAR/AHR/RS)