Mengelola perguruan tinggi, di masa seperti sekarang ini, tak mungkin berhasil tanpa ikhtiar sepenuh hati. Beragam tantangan terhampar di depan mata, yang mengharuskan direspons dengan tepat.
Perubahan lanskap lapangan permainan yang sangat cepat, telah menghadirkan beragam dilema yang memerlukan pemikiran ekstra untuk membuat pilihan yang bermartabat.
Beberapa dilema terlihat komplementer, saling melengkapi, tetapi di tataran operasional, tak jarang, pilihan harus diambil, karena sumber daya yang terbatas. Situasi menjadi semakin sulit, jika pilihan yang ada bisa saling menegasikan atau bersifat diametral yang berpotensi melanggar nilai-nilai fondasi perguruan tinggi.
Izinkan saya berbagi perspektif untuk satu dilema yang terkait dengan pilihan pijakan dalam mengelola perguruan tinggi.
Gaya neoliberal
Jika kita kritisi secara jujur, banyak praktik pendidikan tinggi di Indonesia, dan juga berlahan dunia lain, yang terjebak pada pijakan neoliberalisme. Indikasinya beragam. Termasuk di dalamnya korporatisasi perguruan tinggi, dengan segala turunannya.
Sebagai contoh, perguruan tinggi hanya dianggap sebagai penghasil lulusan sebagai bagian dari mesin produksi dan bukan manusia yang harus dimuliakan semua potensi kemanusiaannya. Akibatnya, materi menjadi ukuran dominan.
Di dalam perguruan tinggi pengamal neoliberalisme, relasi antaraktor juga sangat hirarkis dan karenanya birokratis. Pemimpin perguruan tinggi seakan menjadi bos besar dengan segala titahnya. Ruang diskusi yang demokratis akibatnya tidak mendapatkan tempat. Demokrasi mati di rumahnya sendiri.
Dosen dianggap sebagai buruh korporat dengan segepok daftar indikator yang harus dipenuhi, dan bukan sebagai kolega intelektual yang setiap capaiannya merupakan manifestasi dari kesadaran dan tanggung jawabnya sebagai akademisi. Praktik yang pertama bisa menjebakkan dosen kepada mental pengguguran kewajiban, sedang yang kedua dapat menghasilkan entakan kuat untuk perubahan.
Mahasiswa pun tak lebih dari sekumpulkan konsumen yang harus dipuaskan. Hubungan yang terjadi pun menjadi sangat transaksional. Mereka tidak dilihat sebagai pembelajar yang haus ilmu pengetahuan atau aspiran yang perlu pendampingan dalam pengembaraan intelektual.
Pijakan neoliberalisme pun dapat menjelma dengan sistem metrik untuk mengukur semua kinerja, yang mengandaikan keseragaman dan mengabaikan idealisme, keunikan misi, dan faktor kesejarahan. Selain itu, semua yang tidak masuk metrik seakan tidak penting dan bisa diabaikan begitu saja.
Karenanya tidak jarang, beragam tindakan yang berpotensi melanggar etika pun seakan menjadi halal dilakukan selama kinerja dapat dicapai, termasuk dalam terkait pemeringkatan.
Pemeringkatan dianggap sebagai harga diri yang harus dikejar dengan segala harga, termasuk menggunakan jalan pintas dan bahkan menggunting dalam lipatan, meski kadang harus menjauhkan perguruan tinggi dari idealismenya.
“Yang lain saja melakukan” seakan menjadi alasan untuk menjadikan semua urusan menjadi halal.
Hasil pemeringkatan pun tak jarang dikapitalisasi dengan bingkai pongah yang merendahkan perguruan tinggi lain. Perguruan tinggi ini seakan seperti anak kecil, yang belum mumayiz secara intelektual, yang naik meja di tengah kerumunan dan menepuk dada: “Akulah yang terbaik.”
Autokritik dan dilema
Bisa jadi perguruan tinggi kita juga terjebak dalam praktik seperti. Inilah saatnya berhenti sejenak untuk melakukan refleksi secara kolektif.
Saya sangat paham, lari dari jebakan ini tidak mudah, apalagi praktik tersebut seakan sudah menjadi norma baru, yang diperkuat dengan kebijakan yang mengekang, tanpa pilihan.
Tapi saya termasuk yang masih menjaga optimisme. Semoga saja kesadaran baru segera muncul di banyak perguruan tinggi. Indikasinya pernah terlihat. Sebagai contoh, ketika tahun lalu buku besutan Peter Fleming, Dark Academia: How Universities Die, terbit, beragam diskusi pun digelar di Indonesia.
Memang, sangat mungkin kita tidak sepakat dengan setiap argumen Fleming, tapi banyak pesan di dalamnya yang seakan menjadi deja vu: “Kok rasanya pernah melihat kasus seperti itu ya“.
Kalau kita mau jujur, banyak praktik yang dikritisi di buku tersebut terjadi di sekitar kita, atau bahkan, kita sendiri menjadi pelakunya.
Tapi, sejurus kemudian, pesan penting itu kembali terkubur di bawah kesibukan administratif yang luar biasa, dan praktik yang ada pun seakan kembali ke sedia kala. Bahkan di sisi hulu, paradigma sebagai basis kebijakan pun tidak banyak berubah. Kita pun akhirnya kembali hidup tenang karena mendapatkan pembenaran.
Apakah memang ini jalan yang akan kita pilih untuk masa depan? Saya tidak menjawabnya di sini, tapi membiarkan terbuka menjadi pekerjaan rumah masing-masing.
Saya percaya masa depan tidak tunggal, tetapi jamak. Karenanya, beragam imajinasi yang berangkat dari fakta mutakhir, perlu dihargai. Itulah indahnya dunia akademik, ketika beragam pemikiran mendapatkan tempat, selama diikut dengan argumen kuat.
Sebagai tambahan pekerjaan rumah, masih banyak dilema yang bisa diungkap. Termasuk di antaranya adalah dilema antara
- memberikan fokus kepada penyelesaikan masalah lokal atau berjuang untuk menjadi pemain global,
- meningkatkan kualitas akademik dengan menghsilkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bernas atau menggesernya kepada komersialisasi,
- mengejar pertumbuhan substantif yang memerlukan waktu atau pertumbuhan superfisial yang instan, dan
- menjaga moral akademik kualitas tinggi atau sekedar menggugurkan kewajiban.
Daftar dilema ini, tentu, masih bisa diperpanjang. Ini menambah daftar pekerjaan rumah untuk direfleksikan, sebagian bagian kritis terhadap masa kini.
Pidato pelantikan Rektor Universitas Islam Indonesia Periode 2022-2026, pada 2 Juni 2022.
Takdir Sebuah Bangsa
Setiap bangsa mempunyai takdirnya masing-masing. Dalam lintasan takdir tersebut, ada pasang dan surutnya. Ada pencapaian yang perlu dirayakan, dan juga krisis yang perlu ditangkis. Krisis dapat disebabkan faktor eksternal, seperti serangan negara lain, atau juga gejolak internal, seperti gejolak politik domestik.
Sebagian krisis terjadi secara tiba-tiba, sisanya bertahap. Sebagian bangsa bisa keluar dari krisis dengan cepat, sebagian lain berjuang untuk waktu yang lebih lama.
Perjuangan beragam bangsa untuk keluar dari krisis ini didokumentasikan dengan ciamik dalam buku Upheaval: Turning Points for Nations in Crisis, karya Jared Diamond (2019).
Di sana ada kisah kebangkitan Finlandia setelah diserang Soviet dan narasi transformasi di Jepang selepas kekalahannya pada Perang Dunia Kedua. Ada juga di dalamnya, cerita tentang kebangkitan Indonesia bakda percobaan kudeta pada 1965 dan juga pengalaman Chile sehabis mengalami masalah domestik terkait dengan kudeta militer. Di bagian akhir buku, juga dikisahkan bagaimana Jerman dan Australia bangkit dari krisis yang terjadi secara perlahan.
Saat ini, krisis masih berlangsung, di beberapa negara. Bahkan, krisis bisa terjadi lintasnegara alias mengglobal. Termasuk di antaranya terkait dengan ketidakadilan, imigrasi lintasnegara karena konflik, pasokan energi yang semakin terbatas, manajemen sumber daya alam, perubahan iklim, dan juga polarisasi karena faktor politik.
Krisis Afghanistan?
Saya menduga apa yang terjadi di Afghanistan dapat dimasukkan ke dalam situasi krisis. Dan, ini sudah berlangsung lama. Meski, sebagian orang mungkin menganggapnya berbeda.
Pengambilalihan kekuasan oleh Taliban pada September 2021 menjadi babak baru. Apakah ini menjadi akhir krisis? Tak seorang pun tahu.
Yang jelas, pembacaan kita pada narasi yang beredar, membuat kita berpikir agak mendalam. Misalnya, dengan kata kunci Afghanistan di laman majalah bergengsi Foreign Affairs, saya temukan 271 entri. Tidak semuanya baru. Tetapi, di antara tulisan yang baru, perspektif yang diangkat tidak menggambarkan optimisme. Tulisan pada 8 Desember 2022, sebagai contoh, berjudul When terrorists govern dengan kalimat pengawal artikel “The Taliban’s takeover is inspiring other jihadis”. Tulisan yang lebih mutakhir yang terbit pada 28 Maret 2022, bertajuk The Taliban have not moderated dan diikuti dengan kalimat pembuka “An extremist regime is pushing Afghanistan to the brink”.
Saya juga memeriksa kanal majalah lain, The Economist. Tulisan pada 29 Januari 2022 mengusung hasil survei, dan diberi judul agak panjang: Afghans are more pessimistic about their future than ever, yang dibuka dengan penjelasan ringkas “A new survey paints a grim picture of life under the Taliban”. Atau, yang lebih hangat, pada 14 Mei 2022 sebuah tulisan yang ditayangkan berjudul: The Taliban crave recognition but refuse to do anything to earn it dan dengan kalimat pengawal artikel: “Afghanistan’s neighbours are wondering how on earth to deal with it”. Puluhan kepala berita lainnya juga mengusung tema senada: pesimisme.
Semua kisah tersebut kelabu. Ini bisa menjadi salah satu pertanda krisis, ketika kepercayaan menurun atau paling tidak dipersepsikan sedang menurun.
Merawat optimisme
Pengatasan atas krisis harus dimulai dengan pengakuan akan keberadaanya, yang diteruskan dengan menerima tanggung jawab, dan bukan berlagak menjadi korban dan terus menerus menyalahkan pihak lain. Aksi ini, kemudian, dikuti membuat pagar dengan melakukan perubahan selektif dan juga bisa jadi meminta bantuan negara lain, plus menggunakan pengalaman negara lain sebagai cermin (Diamond, 2019).
Tampaknya, Indonesia, dapat hadir, terutama di bagian akhir ini, untuk memberikan bantuan dan juga menjadi model pembentukan harmoni bangsa yang majemuk. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa Indonesia dapat diterima oleh faksi-faksi yang bertikai di sana.
Namun demikian, saya masih berkeyakinan, ada banyak kisah optimisme di sana, yang bisa jadi karena satu atau lain hal, belum atau bahkan tidak dimunculkan oleh media. Kekuatan media dengan keleluasaannya memilih sudut pandang, sangat mempengaruhi kita dalam memandang sebuah peristiwa.
Terkait dengan isu ini, kita dapat belajar dari perspektif Edward Said (1978) yang tertuang dalam buku terkenalnya, Orientalism. Di dalamnya, Said membahas bagaimana media Barat membingkai Timur. Dunia Islam termasuk di dalamnya. Krisis pun bisa dengan sengaja dibuat oleh kelompok tertentu. Apa yang terjadi di film, seperti Tomorrow Never Dies, bukan lagi isapan jempol, meski hadir dalam bentuknya yang berbeda.
Terlepas dari beragam cerita pengikutnya, termasuk intervensi negara lain, sebuah bangsa memang harus mendesain masa depan dan memilih takdir sendiri, dengan ikhtiar terbaik.
Referensi
Diamond, J. (2019). Upheaval: Turning points for nations in crisis. New York: Little, Brown and Co.
Said, E. W. (1978). Orientalism. London: Routledge.
Sambutan pembuka pada Ambassadorial Lecture oleh Duta Besar Republik Indonesia untuk Afghanistan Dr. Arief Rachman M.D., pada 9 Juni 2022.
Peduli Pemasaran Wirausaha Berbasis Nilai Islami, UII Raih Gold Champion
Universitas Islam Indonesia (UII) mendapatkan Gold Champion pada helatan Islamic Entrepreneurial Marketing Award 2022 untuk kategori Islamic Entrepreneurial Campus. Kegiatan tersebut diselenggarakan oleh MarkPlus Islamic.
Read more
Seremoni Purna Menjabat Wakil Rektor Bidang Pengembangan Akademik & Riset 2018-2022
Para pimpinan dan manajemen Universitas Islam Indonesia (UII) berkumpul di Gedung Kuliah Umum (GKU) Prof. Dr. Sardjito UII, Selasa (7/6) guna menghadiri seremoni pelepasan purna menjabat Wakil Rektor Bidang Pengembangan Akademik dan Riset Periode 2018-2022, Dr. Drs. Imam Djati Widodo, M.Eng.Sc. Acara diawali dengan santap siang bersama di Selasar GKU.
Read more
Laga Sengit 3 Babak, Tim Voli Putri FTSP Tumbangkan FH
Pada gelaran pertandingan voli hari kedua peringatan Milad UII ke-79, tersaji pertandingan tim putri tenaga kependidikan (tendik) Fakultas Hukum (FH) melawan tendik Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP). Pertandingan yang dihelat di Gedung Olahraga (GOR) UII Ki Bagoes Hadikoesoemo pada hari Selasa (7/6) tersebut berhasil dimenangkan oleh tim putri dari FTSP. Tim FH yang di set pertama berhasil mendominasi jalannya pertandingan harus mengakui ketangguhan tim FTSP di 2 set terakhir dengan total perolehan skor (22-25, 17-25, 15-8).
Set pertama, tim FH dan FTSP langsung menyuguhkan momen saling serang antara kedua tim, hingga peluit set pertama ditiup, FH berhasil unggul dengan skor 25-22. Kunci kemenangan set pertama dari FH ada pada server mereka yang cukup piawai dalam mendistribusikan bola ke area lawan, sehingga banyak dari poin yang tercipta adalah dari service yang baik.
Read more
UII Migrasi Pengelolaan Jurnal OJS 2 ke OJS 3
Universitas Islam Indonesia (UII) mengadakan workshop Pengelolaan Jurnal Berbasis OJS (Open Journal Systems) 3 Bagi Pengelola Jurnal di Lingkungan UII. Workshop luring yang diikuti kurang lebih 64 peserta berlangsung di Ruang Audio Visual Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) (PKPA) Fakultas Hukum (FH) UII. Workshop yang diselenggarakan pada hari Senin (6/22) ini terbagi menjadi 2 sesi dengan pemateri Muhammad Al Madani, S.M.
Read more
Tim Voli Putri Rektorat Tekuk Tim FMIPA di Laga Perdana
Tim voli putri Rektorat Universitas Islam Indonesia (UII) berhasil menumbangkan Tim voli Putri Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA UII) pada laga perdana pertandingan voli dalam rangka memeriahkan milad UII yang ke-79. Pertandingan yang berlangsung cukup singkat tersebut berakhir dalam dua set beruntun (25-6, 25-11). Digelar di Gedung Olahraga (GOR) Ki Bagoes Hadikoesoemo UII, pertandingan ini menjadi awal yang sangat baik untuk membuka pertandingan-pertandingan olahraga dalam rangkaian Milad UII terutama cabang olahraga voli.
Read more
Gandeng UII, Kalurahan Purbayan Ingin Tonjolkan Kekayaan Heritage
Universitas Islam Indonesia (UII) menerima kunjungan kerja sama dari Kalurahan Purbayan, Kotagede, Yogyakarta. Kunjungan ini dalam rangka membahas kerja sama dalam penataan kawasan dan pemberdayaan masyarakat. Pertemuan kedua belah pihak dilaksanakan pada Jumat (3/6) di Ruang Sidang Datar GKU Lt. 2 pukul 09.00-11.00.
Diskusi potensi kerja sama UII dengan Kalurahan Purbayan ini dihadiri oleh Drs. Muftachul Alfin, MSHRM sebagai Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (LPMK) dari Kalurahan Purbayan dan juga beberapa tokoh dosen perwakilan dari UII salah satunya ialah Ketua Jurusan Arsitektur, Prof. Noor Cholis Idham, Ph.D., IAI.
Read more
Mahasiswa FK UII Borong Piala Pada PTBMMKI Cup 2022
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (FK UII) berhasil memborong empat gelar kejuaraan sekaligus pada ajang Perhimpunan Tim Bantuan Medis Mahasiswa Kedokteran Indonesia (PTBMMKI) Cup 2022. Perlombaan yang diselenggarakan oleh TBM Bumigora Universitas Mataram ini menantang seluruh mahasiswa kesehatan seluruh Indonesia pada tanggal 4 April 2022-29 Mei 2022 untuk bersaing dalam prestasi.
Read more
Kekuatan Cendekiawan
Publik menggantungkan harapan tinggi kepada para cendekiawan untuk kebaikan bangsa ini. Ketika gagasan bernas untuk penyelesaian beragam masalah riil tidak mungkin, tak jarang, para cendekiawan akhirnya menjadi sasaran kritik.
Sejarah mencatat, cendekiawan selalu hadir di dalam lingkaran utama dan menjadi penggerak, bersama dengan aktor-aktor lain, pada setiap perubahan besar yang terjadi di Indonesia. Mari sejenak kita refleksikan fenomena ini.
Cendekiawan mempunyai posisi penting karena beragam kekuatan yang disandangnya. Berikut tiga di antaranya.
Kekuatan moral
Cendekiawan diharapkan dapat mengawal jalannya bangsa dan negara ini sesuai dengan cita-cita luhur dan konstitusi. Cendekiawan sudah seharusnya sensitif terhadap masalah yang muncul.
Karenanya, cendekiawan harus meniup peluit ketika bangsa atau negara terpleset atau tidak berjalan sesuai dengan seharusnya. Tiupan peluit harus dilantangkan, tetapi tetap dengan santun, elegan, dan konstitusional.
Dengan kekuatan ini, sudah seharusnya independensi cendekiawan menjadi terjaga dan tidak bisa terbeli. Jangan sampai cendekiawan tidak membela yang benar, tetapi justru membela yang membayar. Juga, jangan sampai, cendekiawan dianggap sebagai tukang stempel beragam kebijakan yang tuna sensitivitas terhadap masalah rakyat atau pelestarian alam.
Kekuatan gagasan
Selama sebuah bangsa dan negara masih berlangsung, masalah dipastikan menjadi bagian yang inheren. Ada dinamika di sana.
Di sini, cendekiawan harus berperan memberikan kontribusi pemikiran yang jujur dan obyektif. Pemikiran ini harus melampaui kepentingan sesaat, apalagi sesat, karena ada anasir jahat yang menyertai, termasuk kepentingan lain yang menjadikan kepentingan bangsa dan negara menjadi nomor sekian.
Kerja sama lintas disiplin pun menjadi niscaya, ketika masalahnya multidimensi yang tidak bisa diteropong hanya dengan satu lensa. Sekat-sekat imajiner kaku disiplin harus dibongkar. Kosa kata baru harus diperkenalkan, yaitu kepentingan bangsa.
Dari perspektif dimensi temporal, sudah seharusnya cendekiawan tidak hanya bersifat responsif terhadap masalah-masalah mutakhir, tetapi juga proaktif untuk menawarkan gagasan yang melampaui zamannya. Yang pertama cenderung bersifat reaktir sebagai bentuk tanggung jawab terhadap masa kini, yang kedua merupakan kreativitas pemikiran untuk mendesain masa depan secara kolektif.
Kekuatan perekat
Cendekiawan dengan ilmu dan objektivitas yang dimiliki dapat menjadi jembatan penghubung, tali pengikat, keragaman yang ada. Ini fakta sosial. Sejak berdirinya, Indonesia ditenun dari keragaman.
Persatuan yang dibutuhkan tidak lantas menghapuskan fakta sosial tersebut. Saling menghormati dalam kehidupan berbangsa menjadi sangat penting. Ketika bangsa mengidap sindrom keterbelahan, cendekiawan seharusnya hadir menjadi perekat.
Karenanya, di dalam Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) sendiri, kesamaan cita-cita harus dikedepankan, dan perbedaan yang tidak penting harus dikesampingkan. ICMI harus kembali menjelma menjadi rumah besar beragam pemikiran kebangsaan.
Daftar kekuatan ini, tentu, dapat diperpanjang, karena refleksi kolektif sangat mungkin menghasilkan tilikan-tilikan baru. Kita buka ruang itu seluas-luasnya.
Elaborasi ringan dari poin-poin sambutan tuan rumah pada Sarasehan Kebangsaaan dan Pelantikan ICMI Orwil DI Yogyakarta di Universitas Islam Indonesia, pada 23 Mei 2022.
Neoliberalisme Perguruan Tinggi
Mengelola perguruan tinggi, di masa seperti sekarang ini, tak mungkin berhasil tanpa ikhtiar sepenuh hati. Beragam tantangan terhampar di depan mata, yang mengharuskan direspons dengan tepat.
Perubahan lanskap lapangan permainan yang sangat cepat, telah menghadirkan beragam dilema yang memerlukan pemikiran ekstra untuk membuat pilihan yang bermartabat.
Beberapa dilema terlihat komplementer, saling melengkapi, tetapi di tataran operasional, tak jarang, pilihan harus diambil, karena sumber daya yang terbatas. Situasi menjadi semakin sulit, jika pilihan yang ada bisa saling menegasikan atau bersifat diametral yang berpotensi melanggar nilai-nilai fondasi perguruan tinggi.
Izinkan saya berbagi perspektif untuk satu dilema yang terkait dengan pilihan pijakan dalam mengelola perguruan tinggi.
Gaya neoliberal
Jika kita kritisi secara jujur, banyak praktik pendidikan tinggi di Indonesia, dan juga berlahan dunia lain, yang terjebak pada pijakan neoliberalisme. Indikasinya beragam. Termasuk di dalamnya korporatisasi perguruan tinggi, dengan segala turunannya.
Sebagai contoh, perguruan tinggi hanya dianggap sebagai penghasil lulusan sebagai bagian dari mesin produksi dan bukan manusia yang harus dimuliakan semua potensi kemanusiaannya. Akibatnya, materi menjadi ukuran dominan.
Di dalam perguruan tinggi pengamal neoliberalisme, relasi antaraktor juga sangat hirarkis dan karenanya birokratis. Pemimpin perguruan tinggi seakan menjadi bos besar dengan segala titahnya. Ruang diskusi yang demokratis akibatnya tidak mendapatkan tempat. Demokrasi mati di rumahnya sendiri.
Dosen dianggap sebagai buruh korporat dengan segepok daftar indikator yang harus dipenuhi, dan bukan sebagai kolega intelektual yang setiap capaiannya merupakan manifestasi dari kesadaran dan tanggung jawabnya sebagai akademisi. Praktik yang pertama bisa menjebakkan dosen kepada mental pengguguran kewajiban, sedang yang kedua dapat menghasilkan entakan kuat untuk perubahan.
Mahasiswa pun tak lebih dari sekumpulkan konsumen yang harus dipuaskan. Hubungan yang terjadi pun menjadi sangat transaksional. Mereka tidak dilihat sebagai pembelajar yang haus ilmu pengetahuan atau aspiran yang perlu pendampingan dalam pengembaraan intelektual.
Pijakan neoliberalisme pun dapat menjelma dengan sistem metrik untuk mengukur semua kinerja, yang mengandaikan keseragaman dan mengabaikan idealisme, keunikan misi, dan faktor kesejarahan. Selain itu, semua yang tidak masuk metrik seakan tidak penting dan bisa diabaikan begitu saja.
Karenanya tidak jarang, beragam tindakan yang berpotensi melanggar etika pun seakan menjadi halal dilakukan selama kinerja dapat dicapai, termasuk dalam terkait pemeringkatan.
Pemeringkatan dianggap sebagai harga diri yang harus dikejar dengan segala harga, termasuk menggunakan jalan pintas dan bahkan menggunting dalam lipatan, meski kadang harus menjauhkan perguruan tinggi dari idealismenya.
“Yang lain saja melakukan” seakan menjadi alasan untuk menjadikan semua urusan menjadi halal.
Hasil pemeringkatan pun tak jarang dikapitalisasi dengan bingkai pongah yang merendahkan perguruan tinggi lain. Perguruan tinggi ini seakan seperti anak kecil, yang belum mumayiz secara intelektual, yang naik meja di tengah kerumunan dan menepuk dada: “Akulah yang terbaik.”
Autokritik dan dilema
Bisa jadi perguruan tinggi kita juga terjebak dalam praktik seperti. Inilah saatnya berhenti sejenak untuk melakukan refleksi secara kolektif.
Saya sangat paham, lari dari jebakan ini tidak mudah, apalagi praktik tersebut seakan sudah menjadi norma baru, yang diperkuat dengan kebijakan yang mengekang, tanpa pilihan.
Tapi saya termasuk yang masih menjaga optimisme. Semoga saja kesadaran baru segera muncul di banyak perguruan tinggi. Indikasinya pernah terlihat. Sebagai contoh, ketika tahun lalu buku besutan Peter Fleming, Dark Academia: How Universities Die, terbit, beragam diskusi pun digelar di Indonesia.
Memang, sangat mungkin kita tidak sepakat dengan setiap argumen Fleming, tapi banyak pesan di dalamnya yang seakan menjadi deja vu: “Kok rasanya pernah melihat kasus seperti itu ya“.
Kalau kita mau jujur, banyak praktik yang dikritisi di buku tersebut terjadi di sekitar kita, atau bahkan, kita sendiri menjadi pelakunya.
Tapi, sejurus kemudian, pesan penting itu kembali terkubur di bawah kesibukan administratif yang luar biasa, dan praktik yang ada pun seakan kembali ke sedia kala. Bahkan di sisi hulu, paradigma sebagai basis kebijakan pun tidak banyak berubah. Kita pun akhirnya kembali hidup tenang karena mendapatkan pembenaran.
Apakah memang ini jalan yang akan kita pilih untuk masa depan? Saya tidak menjawabnya di sini, tapi membiarkan terbuka menjadi pekerjaan rumah masing-masing.
Saya percaya masa depan tidak tunggal, tetapi jamak. Karenanya, beragam imajinasi yang berangkat dari fakta mutakhir, perlu dihargai. Itulah indahnya dunia akademik, ketika beragam pemikiran mendapatkan tempat, selama diikut dengan argumen kuat.
Sebagai tambahan pekerjaan rumah, masih banyak dilema yang bisa diungkap. Termasuk di antaranya adalah dilema antara
Daftar dilema ini, tentu, masih bisa diperpanjang. Ini menambah daftar pekerjaan rumah untuk direfleksikan, sebagian bagian kritis terhadap masa kini.
Pidato pelantikan Rektor Universitas Islam Indonesia Periode 2022-2026, pada 2 Juni 2022.