Integrasi Ilmu Menjadi Sarana Pembaharuan Fiqh

Dekan Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia (UII) Dr. Drs. Tamyiz Mukarrom, M.A. mengemukakan ilmu fikih merupakan ilmu yang selalu berkembang pada tiap zamannya. Hal ini ia sampaikan saat menyampaikan pidato pembuka pada acara Webinar Nasional Fikih Indonesia dalam Dinamika Masyarakat Perspektif Ijtihad Akademik. Acara yang berlangsung pada Sabtu (27/3) ini diadakan oleh Program Studi Hukum Islam Program Doktor FIAI UII.

Webinar menghadirkan sejumlah pembicara, yakni Guru besar UIN Sunan Kalijaga, Prof. Dr. M. Amin Abdullah, Guru besar UIN Sunan Gunung Djati Prof. Dr. Jaih Mubarok, S.E., S.H., M.Ag., Guru besar UIN KH. Ahmad Shiddiq, Prof. Dr. M. Noor Harisudin, M.Phill.I., serta alumni Program Studi Hukum Islam Program Doktor FIAI UII Dr. Drs. Subroto, M.si dan Dr. Dra. Siti Muniroh, S.H., Msi.

Tamyiz Mukarrom mengungkapkan, masyarakat perlu memandang fikih sebagai ilmu yang terus menerus berkembang. Hal itu dimaksudkan agar fikih tidak dianggap sebagai produk yang absolut dan monoton, sehingga fikih dapat mewarnai hiruk pikuk kehidupan manusia dengan mentelaah waktu dan situasinya.

“Jika kita memandang fikih sebagai hasil ijtihad, maka itu tentunya bisa berkembang, bisa melihat kondisi dan situasi makanya kalau kita ngambil dari pakar-pakar dulu itu bahwa hukum Islam zaman wa makan, maka ini tentunya fiqh dalam perkembangannya di Indonesia bisa berkembang sesuai dengan tempat dan situasi,” ungkapnya.

Beliau juga mengatakan, menghubungkan fikih dengan ilmu-ilmu lainnya merupakan salah satu media dalam menciptakan suatu pembaharuan khusus terhadap ilmu fikih sendiri. Dengan adanya pembaharuan fikih tersebut, masyarakat akan lebih lebih mudah menjalankan aktivitas ibadah dari keputusan fikih yang sesuai dengan tujuan tujuan syariat.

“Intergasi ilmu menjadi alat untuk pembaharuan ilmu fiqh sendiri, termasuk yang mengatakan Dr. Ali Jum’ah untuk memperbaharui atau membangun fiqh yang baru, itu adalah memasukan ilmu ilmu yang lain, menjadi satu integrasi yang kuat sehingga bisa untuk membangun pembaharuan fikih hukum islam itu sendiri. Maka ini untuk konteks keindonesiaan maka ini perlu ini sekali untuk hukum hukum yang berlaku di indonesia,” jelasnya.

Disamping itu, Prof. Amin Abdullah menuturkan, ijtihad fikih harus beriringan dengan ilmu ilmu lainnya, apalagi jika ditilik dari segi kebangsaan, fikih Indonesia merupakan fikih majemuk, sehingga diharapkan seluruh masyarakat mampu menerimanya dengan mudah.

“Agama itu bisa beririsan dengan ilmu yang bermacam macam, fikih Indonesia sebetulnya fikih masyarakat majemuk, jelas penyelesaiannya harus komplek, tidak bisa dengan disiplin tunggal. Multi inter dan transdisiplin, itulah ijtihad akademik yang perlu dilakukan sekarang. Untuk itu saya kira pendekatan dan new methodology itu harus dikenalkan, dalam arti bagaimana agama dapat bersandingan dengan sainst, ekonomi, kedokteran, politik atau hukum,” ungkap beliau.

Kemudian beliau melanjutkan, ada empat masalah umum yang terjadi di dunia khususnya di Program Studi agama, pertama adalah urgensi salig menghormati sesama manusia, kedua hubungan sosial terhadap masyarakat, ketiga adalah kebangsaan dan yang terakhir terkait dengan isu-isu wanita.

“Ada empat wilayah yang berat dihadapi Program Studi agama. pertama adalah al karomah al insaniyah, kita harus menghormati sesama manusia. Kedua hubungan dengan masyarakat majemuk, kalau fikih tidak menyentuh itu, saya pikir berat untuk masa depan kedepan, tidak hanya fiqh, saya kira pun demikian dengan dakwah, al-muwathonah juga kita berantakan, kemudian isu isu wanita. Semua itu saya kira harus di selesaikan dengan baik, jangan hanya jatuh pada maslah administratif saja,” ujar beliau. (AMG/RS)