,

Islam Memperhatikan Ketahanan Pangan

Direktorat Pendidikan & Pembinaan Agama Islam (DPPAI) UII menggelar Webinar Nasional Keislaman bertema “Islam dan Ketahanan Pangan” pada Selasa (19/04). Seminar yang digelar via Zoom itu menghadirkan Dr. Hermanto, S.E., M.M., Anggota DPR RI Komisi IV, Prof. Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec. Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Dr. H. Nur Kholis, S.Ag, S.E.I., M.Sh.Ec. Wakil Dekan Bidang Sumber Daya FIAI UII.

Rektor UII, Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D. dalam sambutannya mengatakan, “Menyediakan pangan yang cukup diakses oleh 270 juta lebih dan merata se-Indonesia, terjangkau serta bisa dinikmati oleh seluruh warga itu adalah suatu tantangan. Di sini sebetulnya peran negara, yang mana tugas besarnya adalah menjamin kesejahteraan rakyatnya, menjadikan pangan selalu tersedia, terdistribusi,” ungkapnya.

Sementara dari kacamata keislaman, ia berpendapat kebutuhan pangan merupakan kewajiban yang harus ditunaikan oleh seluruh umat muslim sebab menjadi sarana mendekatkan diri dan meningkatkan keimanan kepada Allah.

“Kebutuhan pangan juga perintah agama, terkait hifz an nafs (menjaga jiwa) atau bahkan menjaga hifz ad din (menjaga agama), karena orang yang tidak bisa mengakses pangan biasanya orang miskin, dan kemiskinan, kefakiran itu cenderung kepada kekufuran. Sehingga ketahanan pangan ini sebetulnya juga masalah yang holistik,” ucapnya.

Ia juga menyinggung persoalan rendahnya minat generasi muda untuk bergelut di sektor pertanian. “SDM kita saat ini jumlahnya kurang lebih 33,4 juta petani, sedangkan tahun sebelumnya ini berkisar 33,58. Setiap tahunnya jumlah petani itu menurun, dan yang biasa turun ke sawah itu biasanya yang sudah tua. Kemudian kaum muda yang turun ke pertanian persentasenya hanya 8%,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa menurunnya persentase para petani juga dipengaruhi berkurangnya lahan pertanian setiap tahunnya. Hal ini disebabkan bertambahnya kawasan industri, pembangunan gedung baru, dan infrastruktur yang menggerus lahan pertanian.

“Walaupun saat ini sudah sangat gencar gencarnya pemerintah melakukan mekanisasi teknologi pertanian, tetapi untuk mengoperasikan teknologi pertanian yang efektif, kita kekurangan petani milenial yang terdidik. Kalau kita mencermati petani tua, mereka kurang responsif terhadap kemajuan teknologi,” imbuhnya.

Di sisi lain, pembicara Prof. Yusman Syaukat turut berkomentar mengenai persoalan impor bahan pangan. Ia menyatakan bahwa prinsip ketahanan pangan dengan cara mengimpor pangan yang digunakan oleh pemerintah dirasa kurang bijak.

“Bagaimana cara kita mendapatkan bahan pangan itu, ya dari produksi atau impor, nah ini karena ada istilah impor bahwa pemenuhan pangan itu bisa diproduksi dalam negeri dan bisa impor, maka gampangnya kita impor saja daripada capek memproduksi di dalam negeri, itu prinsip yang ternyata dipakai oleh pejabat kita. Itulah mengapa pejabat menggampangkan impor,” tambahnya.

Ia juga mensinyalir untuk tidak mengabaikan pentingnya peranan kualitas air bagi masyarakat. Sebab kualitas air yang baik berguna untuk menyeimbangkan stabitas ketahanan tubuh dan gizi pada manusia. “Kalau airnya tidak bersih sanitasinya tidak bagus, maka kita akan sakit-sakitan terus. Kami juga ada penelitian bahwa masyarakat itu susah mendapatkan bahan pangan, karena pendapatannya turun, pangannya juga tidak tersedia dan sebagainya,” tukasnya.

Ketahanan Pangan dalam Perspektif Keislaman

Saat memaparkan materi, Dr. Nur Kholis menyatakan bahwa ada banyak strategi inovatif yang dapat memberikan dampak yang kuat kepada masyarakat jika ditinjau dari segi keislaman. Semisal dengan diadakannya program gerakan khutbah jum’at yang membahas mengenai ketahanan pangan.

“Saat khutbah kita bisa menyampaikan tentang ketahanan pangan ataupun bagaimana hidup secara hemat. Akan tetapi hal semacam ini perlu ada kolaborasi. Mungkin Kementerian Agama bisa melakukan hal itu, bukan hanya membuat buku-buku khutbah, tetapi bagaimana mencanangkan berbagai gerakan sosial,”ujarnya.

Ia juga menyarankan kepada pemerintah untuk menegaskan pentingnya menjaga ketersediaan bahan pangan. Hal ini dapat dilakukan dengan memberi sanksi ringan kepada masyarakat yang tidak menghargai makanan. “Bahkan kalau perlu diadakan sanksi sosial kalau ada orang yang tidak baik dalam memperlakukan makanan,” pungkasnya. (AMG/ESP)