,

Jembatan dalam Memahami Relasi Budha dan Islam

Budha dan Islam memiliki interaksi yang kuat yang telah terjalin sejak lebih dari 1000 tahun lalu. Interaksi tersebut dipengaruhi oleh praktek dan kebudayaan keagamaan terutama dari Islam. Pesantren atau Madrasah merupakan sistem pembelajaran dengan pengajaran nilai-nilai islam di Indonesia yang memberikan pengaruh nilai positif yang berasal dari sistem pembelajaran Budha, akan tetapi hubungan menarik ini sudah mulai hilang di masyarakat yang mana tidak menyadari adanya relasi kedua agama.  Buruknya, muncul ketegangan yang terjadi dibeberapa negara di Asia seperti di Myanmar dan Sri Lanka. Sehingga pentingnya hubungan menarik kedua keagamaan ini harus dihadirkan kembali melalui jembatan relasi antara Islam dan Budha.

Hal tersebut merupakan latarbelakang yang diangkat dalam kuliah umum bertemakan ‘’The Bridge to Understand Buddhism and Islam Relations’’ yang diselenggarakan oleh Direktorat Pemasaran Kerjasama dan Alumni Universitas Islam Indonesia (DPKA UII). Acara tersebut berlangsung di Ruang Sidang lantai dua, Gedung Kuliah Umum (GKU) Prof. Dr. Sardjito, pada Rabu (14/6) dengan mendatangkan pemateri Dr. Imtiyaz Yusuf, profesor asisten dan direktur pusat pembelajaran Budha-Muslim di Sekolah Studi Keagamaan Mahidol University di Thailand. Ia juga merupakan pengkaji spesialis keagamaan yang fokus pada Islam di thailand dan Asia Tenggara serta dialog Muslim Budha.

Hadir dalam pembukaan acara, Wakil Rektor I UII, Dr. Ilya Fadjar Maharika, MA., IAI., yang juga dihadiri oleh beberapa dosen jurusan Hubungan Internasional sekaligus beberapa mahasiswa UII. Dalam sambutannya Ilya Fadjar Maharika menyampaikan pentingnya acara ini untuk diselenggarakan sebagai pengetahuan relasi antara Islam dan Budha. ‘’Dalam sejarah UII memiliki identitas keislaman yang kuat oleh para pendirinya yang memasukkan nilai-nilai islam, sehingga acara ini sangat bermanfaat bagi civitas akademika UII sebagai pegetahuan pemahaman bagaimana relasi Islam dan Buddha ini saling berkaitan baik secara kebudayaan maupun keislaman,’’ jelasnya.

Sementara Dr. Imtiyaz Yusuf menjelaskan dalam materinya, bahwa Muslim dan budha telah lama hidup secara berdampingan, pertukaran mereka telah sangat besar dalam aspek militer, ekonomi dan politik, diluar doktrin, dan hanya beberapa pelajar yang memahami relasi kedua tradisi ini secara detail. I a menambahkan, perbedaan utama kedua agama ini hanya terletak pada sisi ketuhanan. ‘’Muslim tidak mencari kebaradaan sang pencipta atau kesucian kitab dalam Budha. Sedangkan Budhha tidak mencari konsep dari Nirvana (Surga) yang tergantung pada keaslian dan lahirnya kembali (reinkarnasi) dalam Islam. Keduanya harus saling dipahami dari cara mereka sendiri, bukan untuk Islamisasi Budha maupun Budhaisasi Islam,” paparnya.

Lebih lanjut Ia menjelaskan, hubungan keduanya telah lama terjalin mulai dari pendiri agama masing-masing, dimana Islam mengakui Budha dalam persepektif sejarahnya begitu pula pandangan sejarah Budha megenai Islam yang ditemukan oleh para ilmuwan dan ulama. Karakter islam dan Budha di Asia Tenggara juga terlihat dibeberapa kawasan. Misalnya  bila di Aceh, Indonesia di kenal sebagai Serambi Mekkah maka Thailand merupakan serambi bagi Budha. Keduanya saling berkaitan dan masih tergolong memliki keberagaman seperti halnya akan minoritas Budha di indonesia maupun Minoritas Islam di Thailand dan beberapa kawasan Indochina. “Terlepas dari hubungan kedua agama, isu konflik masih ditemukan dibeberapa negara. Tidak terkecuali di kedua negara yang mayoritas baik karena adanya islamophobia,” tandasnya.

Dalam akhir paparannya  Imtiyaz Yusuf berpendapat, model mayoritas dan minoritas masyarakat merupakan konstruksi kolonial yang masih berjalan. Sehingga perlu adanya perspektif masyarakat multikultural yang dibarengi dengan adanya gobalisasi yang menuntut keterbukaan atas keberagaman dalam menanggapi Isu konflik. “Aksi nyata tersebut dapat terwujud dengan membangun pemahaman antaragama yang juga akan membantu pembangunan Komunitas Kebudayaan Sosial ASEAN yang terintegrasi dalam bagian komunitas ekonomi regional,’’ jelasnya. (MNA/RS))