,

Kasus Meningkat, Penyakit Katastropik Perlu Diantisipasi Dengan Serius

Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Islam Indonesia (UII) serta Rumah Sakit (RS) UII berhasil menyelenggarakan seminar daring yang bertajuk “Webinar Kedokteran: Clinical Approach in Prevention of Catastrophic Disease Complications”. Melalui kanal Zoom Meeting, acara yang digelar pada Sabtu (08/07) ini turut mengundang sejumlah pakar penyakit dalam dari sejumlah instansi.

Para narasumber yang menjadi pembahas pada sesi diskusi termasuk dr. M. Robikhul Ikhsan, M.Kes., Sp.PD-KEMD, FINASIM dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) Universitas Gadjah Mada/Rumah Sakit Umum Provinsi (RSUP) Dr. Sardjito dan Dr. dr. Eka Ginanjar, Sp.PD-KKV, FINASIM, FACP, FICA, MARS dari FK Universitas Indonesia/Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) Dr. Cipto Mangunkusumo. Selain itu, dr. Ana Fauziyati, M.Sc., Sp.PD, FINASIM serta dr. Rina Juwita, Sp.PD dari FK UII/Rumah Sakit (RS) UII juga ikut mengisi menjadi pembicara.

Tema kunci yang dibahas dalam kegiatan adalah mengenai penyakit katastropik (catastrophic diseases), yakni penyakit yang mengancam nyawa dan membutuhkan biaya pengobatan yang besar serta proses yang lama. Saat memberi sambutan, Dekan FK UII, Dr. dr. Isnatin Miladiyah, M.Kes. menyampaikan urgensi atas penyelenggaraan webinar ini adalah berdasarkan meningkatnya kasus penyakit katastropik di Indonesia.

“Kalau kita melihat data kesehatan, tahun 2020 itu ada 19,9 juta kasus katastropik yang di-cover oleh BPJS. Mengajukan klaim ke BPJS. Biaya yang dihabiskan untuk 19,9 juta kasus tadi adalah 20 triliun Rupiah, dan itu mencapai 25% dari seluruh klaim ke BPJS. Sedangkan, kita lihat dalam 2 tahun berikutnya, dalam tahun 2022. Itu kejadian atau klaim kasus katastropik itu sebanyak 23,3 juta. Jadi dalam 2 tahun itu naik sekitar 4 juta kasus, ya, dengan biaya menjadi 24,1 triliun. Jadi 4 triliun naik dalam 2 tahun terakhir,” tuturnya.

Menurutnya, hal ini menandakan membesarnya tanggung jawab negara serta adanya kebutuhan akan langkah-langkah preventif yang dapat dilakukan. “Kita melihat beban ini luar biasa besarnya bagi negara. Belum lagi bagi penderitanya, karena mereka akan harus melakukan controlling penyakit itu dalam jangka waktu lama dan bahkan kadang-kadang menimbulkan keputusasaan. Kemahiran dari tenaga ahli, tenaga medis di garda depan itu menjadi sangat penting. Bagaimana supaya faktor risiko yang ada itu tidak berkembang menjadi penyakit-penyakit katastropik tersebut,” ujarnya.

Sejumlah faktor risiko penyakit katastropik yang diutarakan dr. Isnatin adalah pada meningkatnya kasus hipertensi dan diabetes melitus di Indonesia. “Kalau kita melihat dari data BPJS, klaim 2 tahun terakhir, 2020 maupun 2022, itu ternyata tiga besar itu sama. Yang pertama penyakit jantung, itu sekitar 49% klaimnya yang di BPJS. Kemudian kanker 18%, dan stroke 13%, dan kita melihat jantung, stroke itu adalah kondisi-kondisi akhir yang terutama disebabkan oleh hipertensi, diabetes melitus. Sehingga, pengetahuan kita mengenai kedua penyakit ini sangat penting,” ucapnya.

Ia berharap agar kegiatan tersebut dapat memberi pencerahan bagi tenaga medis di lapangan, terutama yang berada di garda terdepan dalam pelayanan kesehatan sehingga berbagai antisipasi dapat lebih awal dilakukan. “Para tenaga medis perlu mengetahui lebih awal, mendeteksi lebih awal, termasuk memberikan penanganan lebih awal. Supaya komplikasi-komplikasi ini tidak berkembang lebih lanjut menjadi penyakit-penyakit yang devastating, menimbulkan keputusasaan,” pungkasnya. (JRM/ESP)