,

Mahasiswa Diajak Menyelami Kajian Filsafat Islam

Seiring dengan perkembangan kehidupan dan ilmu pengetahuan, manusia dituntut untuk terus belajar banyak hal di bidang apapun itu. Setiap individu tentunya memiliki pandangan masing-masing dalam menentukan kehidupannya saat ini dan yang akan datang. Kajian filsafat hadir sebagai media yang sentral guna menemukan arti dan arah kehidupan yang sebenarnya. Dalam konteks Islam, filsafat Islam merupakan hal yang penting untuk dipahami karena cukup berbeda dengan kajian-kajian filsafat yang berasal dari “Barat”.

Seperti tergambar dalam acara yang diadakan Magister Arsitektur UII dengan tema “Philosophy and Science in Islam” yang diisi oleh Fathul Wahid, S.T, M.Sc, Ph.D. Acara yang berlangsung pada Jumat, (6/10) di Ruang Sidang FTSP UII ini diikuti oleh mahasiswa baru Program Magister Arsitektur UII.

Pada kuliah umum tersebut, Fathul Wahid banyak menekankan pada perbedaan filsafat Barat dan filsafat Islam serta pentingnya memperdalam ilmu filsafat Islam. Dosen Fakultas Teknologi Industri UII yang merupakan lulusan University of Agder Norwegia tersebut mengungkapkan “Filsafat Barat mendapat pengetahuan berdasarkan rasionalitas, tidak dengan wahyu dari Allah dan sunnah Nabi”.

Ia juga menjelaskan mengenai 3 aspek epistimologi dalam Islam yakni Bayani (penjelasan), Irfani (makfirat) dan Burhani (argumen yang kuat). Dalam kajian filsafat Barat hanya menggunakan aspek Burhani saja sehingga setiap fenomena selalu berusaha dijabarkan dengan penjelasan yang ilmiah sesuai dengan kemampuan nalar manusia.

“Padahal di dalam Islam kita mempelajari apa yang terlihat dan yang tidak terlihat. Karena itu, tidak semua bisa kita jelaskan secara rasional oleh pemikiran manusia” jelas Fathul Wahid.

“Filsafat dalam Islam dikenal dengan kata Falsafah yang artinya hikmah. Hikmah bagi yang sungguh-sungguh berpikir dengan memanfaatkan potensi kemanusiaan yang ia miliki baik itu akal, indra serta hati” jelasnya.

Salah satu contoh seseorang dalam bersungguh-sungguh mencari hikmah adalah dengan belajar Al-Qur’an agar bisa meresapi artinya ketika membaca, tentunya dengan bekal pemahaman bahasa yang mumpuni.

Contoh lain, UII sebagai institusi pendidikan dalam menanamkan nilai-nilai ini telah dilakukan bahkan dari awal Universitas ini berdiri. Dulu, tahun 1945 pertama kali UII menerima mahasiswa baru syaratnya adalah selain bisa baca-tulis Al-Qur’an juga harus bisa berbahasa Arab.

“Kalau sang calon mahasiswa tersebut tidak bisa, akan dididik selama satu tahun persiapan, lalu mengikuti tes penerimaan pada tahun berikutnya. Artinya, UII memiliki keseriusan dalam mempersiapkan generasi bangsa yang lebih baik”, pungkasnya. (MHH)