,

Masyarakat Butuh Ketegasan Pemerintah Tangani Covid-19

Dalam menangani wabah Covid-19, pemerintah dinilai masih kurang bergitu serius dan terkesan menyepelekan keadaan. Selain komunikasi yang dibangun kurang jelas, pemerintah Indonesia juga lebih mementingkan ekonomi daripada kesehatan. Hal ini dikemukakan dosen Program Studi Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia (UII), Dr. M. Zulfikar Rakhmat dalam acara Bedah Buku: Covid-19 di Indonesia yang diselenggarakan Program Studi Hubungan Internasional UII, pada Jum’at (18/12) secara daring.

Buku Covid-19 di Indonesia ini Zulfikar Rakhmat tulis bersama istrinya Dikanaya Tarahita, M.Sc. seorang Jurnalis Independen dan Co-founder Sekolabilitas. Zulfikar Rakhmat menjelaskan di dalam bukunya bagaimana jika respon pemerintah terhadap pandemi terus seperti ini, dengan banyaknya tenaga kesehatan yang berguguran, perekonomian yang meredup dan dukungan pemerintah yang belum kuat. Ia mengemukakan sebuah teori seorang ahli ekonomi dari University of Sheffield akan gambaran suatu negara di masa depan dikategorikan sesuai dengan responnya terhadap Covid-19.

“Kalau kita melihat indikasi-indikasi yang beliau berikan yaitu kurangnya perhatian terhadap tenaga kesehatan, adanya stimulus ekonomi yang kurang, banyak sekali ekonomi-ekonomi yang mati, dan dukungan pemerintah kurang kuat, itu akan menyebabkan negara menjadi barbarisme. Menurut teori itu jika respon Indonesia masih seperti ini, saya tulis dalam buku itu bisa jadi Indonesia mengarah kearah barbarisme,” imbuhnya.

Tidak hanya mengkritik, buku ini juga memberikan rekomendasi-rekomendasi dari beberapa ahli yang dikemas dan dikontekstualisasikan di Indonesia. Zulfikar Rakhmat berharap agar buku ini bisa dibaca oleh semua elemen masyarakat, khususnya para pembuat kebijakan, akademisi, sekolah dan juga khlayak umum. “kita harus bergerak, entah dengan apa itu caranya kita semua harus bisa membantu menyelesaikan pandemi Covid-19 dan juga implikasi-implikasi negatif yang muncul dari pandemi ini,” harapnya.

Pemerintah juga perlu mengupayakan edukasi yang kurang ramah difabel selama pandemi ini, agar hak-hak yang dimiliki tidak termarginalkan. Sebagai bagian dari masyarakat rentan Indonesia ini seharusnya perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Terlebih pada masyarakat daerah timur, daerah 3T dan penduduk di pulau-pulau kecil, jika virus telah merebak pada daerah-daerah tersebut, lalu apa saja persiapan dan upaya pemerintah untuk mencegah penyebarannya.

“Pasalnya, fasilitas dan rumah sakit dan tenaga medis terpusat di pulau-pulau utama di Indonesia. Bagaiamana masyarakat di kepulauan kecil dan pedalaman terinfeksi? Apa mereka harus mendayung sampan berjam-jam? atau bahkan menghabiskan waktu berhari-hari untuk sampai ke pulau utama demi mengakses rumah sakit,” ujarnya.

Dikanaya Tarahita menekankan untuk terus nemerapkan budaya membaca, menulis, dan berdiskusi. Dengan menulis baik berupa kritik dan saran secara tidak langsung merupakan wujud meminjamkan suara kita bagi masyarakat yang suaranya terabaikan. Terus bangun suara ke platform yang lebih luas lagi seperti artikel dan surat kabar internasional karena penulis beranggapan lebih baik isu Indonesia yang diliput oleh surat kabar asing ditulis oleh orang Indonesia sendiri daripada ditulis oleh orang asing, karena mereka tidak lebih tau permasalahannya seperti apa atau mungkin mereka menulis surat kabar internasional tentang Indonesia menurut perspektif orang asing.

Kepala Bagian Tata Pemerintah dan Kesejahteraan Setda Kota Yogya Octo Noor Arafat mengatakan pemerintah tidak boleh anti terhadap kritikan dan masukan. Pemerintah pusat sampai pemerintah daerah terus berupaya dan tetap membangun komunikasi agar tidak tercipta hal yang ambigu dan hal ini bisa menjadi pedoman bagi masyarakat. Pemerintah terus memahami konteks nasional dan narasi yang dibangun masyarakat dengan memperhatikan segala problematika yang dialami. Ia juga berharap dengan adanya buku ini pemerintah bisa memperkuat posisi kesehatan sebagai panglima, di sisi lain ekonomi juga masih berjalan.

Pendiri dan Ekonom Senior INDEF Faisal Basri, S.E., M.A mengapresiasi kedua penulis akan tulisannya yang dilandasi oleh ilmu yang mendalam dan di latar belakangi oleh karakter seorang peneliti juga mudah dipahami oleh pembaca dari semua kalangan. Menurutnya, saat ini prioritas pemerintah salah sasaran, karena terlalu berfokus pada dampak yang diakibatkan oleh pandemi dan tidak berfokus menghilangkan wabah ini. Lapangan pekerjaan berkurang, dan pengangguran di usia mudah naik menjadi 20 persen. Kemampuan literasi anak muda di dalam mempelajari ilmu pengetahuan juga menurun hal ini dikarenakan sistem pembelajaran daring menjadikan ketimpangan sosial.

Sementara Associate Profesor Vincensio M.A Dugis, Ph.D. mengatakan sikap awal dari negara Indonesia dalam menghadapi Covid-19 dianggap remeh dan tidak serius. Sehingga muncul narasi tidak terkontrol akan pemilihan kebijakan yang dianggap keliru. Ia menyampaikan bahwa kontribusi terbesar buku ini yaitu menawarkan cara pandang dan perspektif dalam melihat perjalanan Covid sejak awal. Dan memberi kontribusi terhadap pemahaman yang dibutuhkan banyak pihak terhadap apa yang terjadi. Enam bulan pertama bagi suatu negara dalam menghadapi covid adalah proses belajar bagi semua negara, dan enam bulan kedua adalah proses perbaikan. Sejatinya tidak semua negara bisa sempurna dalam menanggulangi Covid, termasuk Indonesia. (HA/RS)