Menggagas Fikih Yang Berwawasan Keindonesiaan

Program studi (Prodi) Hukum Islam program Doktor UII menggelar acara Fikih Keindonesiaan Perspektif Budaya, Tata Negara, dan Ushul Fikih pada Rabu (30/03). Acara yang diselenggarakan via Zoom itu menghadirkan Dr. Zainuddin, M.A. selaku Dekan Fakultas Syariah IAIN Batusangkar, Prof. Dr. M. Noor Harisuddin, M.Phil.I. Dekan Fakultas Syariah UIN KH. Achmad Siddiq, dan Dr. Drs. M. Muslich KS, M.Ag. Dosen Prodi Hukum Islam Program Doktor FIAI UII.

Prof. Noor Harisuddin mengungkapkan bahwa fikih merupakan salah satu produk hukum yang terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Oleh karenanya eksistensi produk fikih selalu menghadirkan pembaharuan yang cocok dengan keadaan masyarakat sekitar.

“Jadi fikih Indonesia adalah produk fikih yang tumbuh dan berkembang dalam konteks keindonesiaan dalam perspektif ulama Indonesia. Kalau dari buku yang saya tulis misalnya saya sebut fikih nusantara yang artinya sebetulnya sama dengan fikih Indonesia,” ungkapnya saat memaparkan materi.

Ia juga menyatakan bahwa Fikih Indonesia merupakan hal yang sangat penting untuk dikaji karena banyaknya perbedaan pandangan di berbagai wilayah terkait produk fikih yang dikeluarkan.

“Fikih indonesia itu menjadi penting, karena setiap kawasan memiliki realitas yang berbeda dengan kawasan lain. Misalnya kondisi sosial budaya, adat istiadat, regulasi konstitusi, pemerintahan dan lain sebagainya. Kita perlu membuat fikih yang berbasis pada studi kawasan, misalnya kawasan Asia Tenggara, Eropa yang sebetulnya mendasarkan kepada realitas yang berbeda,” tambahnya.

Di samping itu, Dr. Zainuddin mengungkapkan bahwa ada hal dasar yang membedakan antara fikih dengan syariah. Syariah merupakan produk hukum dari Allah sedangkan fikih merupakan produk yang diintervensi oleh manusia.

“Yang absolut itu syariah karena dia merupakan produk langsung dari kitab Allah. Kita bisa katakan bila syariah diintervensi dengan para ulama, maka ia akan menjadi produk fikih, dari produk awal tertinggi yakni syariah, jadi fikih di produk oleh ulama sedangkan syariah di produk langsung oleh Allah,” ungkapnya.  

Ia juga menekankan kepada masyarakat untuk tidak memandang fikih dengan sebelah mata. Fikih seharusnya tidak hanya dijadikan literatur semata, tetapi harus ditegakkan melalui kegiatan sehari hari. Tujuannya supaya produk fikih menjadi produk yang hidup pada kehidupan masyarakat sosial.

“Kalau bicara fikih dalam hukum tata negara, hukum tata negara itu semua bersifat relatif. Fikih itu sudah tidak kita pahami sebagai literatur keagamaan yang dirujuk, tapi fikih itu kita pahami sebagai hukum yang hidup. Ketika fikih hanya dianggap sebagai sebuah literatur, hanya menjadi bahan bacaan di sekolah. Padahal fikih itu adalah hukum yang hidup di masyarakat kemudian hukum itu dibukukan,” pungkasnya. (AMG/ESP)