Menilik Disahkannya Undang-Undang Minerba

Program Studi Teknik Sipil Lingkungan

Pengesahan Undang-Undang (UU) No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No. 4 Tahun 2009 pada 10 Juni 2020, tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) menuai kritikan dari berbagai pihak, tak terkecuali Lembaga Swadaya Masyarakat dan aktivis lingkungan.

Menaggapi hal tersebut Lembaga Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Islam Indonesia (UII) turut terketuk dan menganggap isu ini penting untuk dibahas agar dapat memberikan perspektif yang lebih luas terkait pertambangan Minerba. Diskusi digelar secara daring pada Sabtu (20/6) dengan mengangkat judul Menilik UU Minerba: Dikuasainya Kekayaan Bumi oleh Investor untuk Kemakmuran Oligarki.

Antonius Aditantyo Nugroho, Peneliti Divisi Tata Kelola Hutan dan Lahan Indonesian Center for Environmental Law mengatakan bahwa muatan pasal dalam revisian UU No. 4 Tahun 2009 hanya berpihak kepada perusahaan-perusahaan tambang batubara. Terlebih UU tersebut mengabaikan kepentingan masyarakat di wilayah pertambangan dan kelestarian lingkungan.

“Dalam pembahasan revisi sampai pengesahannya pun tidak melibatkan partisipan dari pihak masyarakat. Padahal dalam Pasal 96 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Partisipasi Masyarakat berbunyi masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan,” terangnya.

DPR dinilai sejak awal tidak transparan dalam pembahasan RUU Minerba. Minimnya partisipasi masyarakat mengakibatkan muatan aturan di dalamnya lebih mengakomodir kepentingan pelaku usaha. Menurut Antonius dalam sektor pertambangan, kepentingan masyarakat wilayah kerja sangat penting untuk diakomodasi seperti pencemaran, kerusakan lingkungan, serta kepastian lahan.

“Dampak pertambangan terhadap lingkungan sangat masif sangat merusak. Sudah banyak penelitian dari CSO dimana banyak lubang tambang yang didiamkan terbuka begitu saja tanpa direklamasi dilakukan kegiatan pasca tambang dan dipulihkan lingkungan hidupnya,” tambahnya.

Permasalahan yang terjadi sekarang mengenai usaha pertambangan tidak dibahas dalam UU baru, padahal masalah tersebut sudah mengakibatkan kerusakan besar. Antonius mengatakan bahwa UU yang baru saja disahkan sebenarnya memiliki celah untuk mengatur rencana pemulihan yaitu melalui Rencana Pemulihan Mineral dan Batubara, namun kemudian tidak disebutkan secara spesifik.

Berlakunya UU Minerba ini akan memberikan dampak pula terhadap aspek Izin Pertambangan Rakyat (IPR) terkait lingkungan. “Jadi UU ini tidak menjawab, tidak ada pengaturan terkait rencana pemulihan untuk lahan yang sudah tercemar dan rusak akibat kegiatan pertambangan saat ini serta usaha dalam penegakan hukum pelaksanaan reklamasi dan pasca tambahan berpotensi tidak tercapai,” jelasnya.

Divisi Hukum Jatamnas, Muh. Jamil, S.H. mengatakan terdapat empat tren dan pola bisnis pertambangan yang memperkuat imunitas oligarki korporasi selama masa pandemi Covid-19. Tren tersebut antara lain bisnis tambang membuat komunitas dan pekerja berisiko tinggi terinfeksi Covid-19 dengan terus melanjutkan produksi, meneruskan kekerasan terorganisir kepada komunitas dan pembela bumi yang berada di garis depan perlawanan, melakukan pemasaran politik dengan membingkai sebagai pahlawan saat pandemi, dan terakhir memastikan keselamatan dan kenyamanan bisnis pertambangan dengan menyingkirkan kontrol publik dan mempermudah perizinan investasi pertambangan di saat pandemi, atau kata lain regulasi.

Dalam keadaan yang rumit sekarang ini, Muh. Jamil berpendapat bahwa seharusnya masyarakat diberi ruang dalam melakukan perancangan UU, sebab tidak ada gunanya membicarakan kesejahteraan jika masyarakanya banyak yang meninggal karena tak ada keselamatan. Beberapa kritikan lain darinya yakni UU Minerba No. 3 tahun 2020 lebih mementingkan kepentingan investor tanpa melihat aspek kawasan yang sesuai dengan UU Kebencanaan bahkan tidak memiliki kekuataan dalam membatasi perluasan atau laju ekspansi pertambangan.

Berikutnya, RUU Minerba menurut Muh. Jamil mempermudah perizinan salah satunya dengan memperbolehkan pemegang IUP di satu provinsi boleh memiliki IUP dengan komoditas sama. Kritikan lainnya, tidak ada aspek perlindungan keselamatan masyarakat, pembatasan ekspansi dan hak veto rakyat, sebaiknya malah memperkuat oligarki tambang melindungi korupsi. “Tiga hal yang menggelitik dari UU yang sudah disahkan oleh DPR, Presiden dan Meteri yaitu klaster resiko rendah, sedang, dan tinggi. Dalam konteks ini pertambangan memiliki resiko tinggi tidak ada yang rendah atau sedang,” jelasnya.

Sementara Halik Sandera, Direktur Eksekutif WALHI Yogyakarta menjelaskan bahwa masyarakat Indonesia membutuhkan energi listrik yang besar guna memenuhi setiap kebutuhan hidupnya, dimana pembangit listrik tenaga uap yaitu dengan pembakaran batubara. Di Yogyakarta atau kota besar lainnya, telah menghabiskan energi sangat besar seperti di apartemen mencapai 2.000 KVA, hotel 2.210 KVA, dan mall 4.400 KVA. “Hal ini membuktikan ambisi pemerintah yang ingin membangun pembangkit listrik 35.000 MW hanya untuk memenuhi kebutuhan rakusnya energi di perkotaan dan industri,” ungkapnya.

Krisis lingkungan dan perubahan iklim karena adanya praktek yang buruk, kebijakan negara, dan absennya peran negara. Faktor tersebut berupa keterlibatan langsung aktor penguasa SDA dalam institut Negara. Penguasa SDA juga menjadi penguasa politik, serta SDA sebagai sumber dana politik. Halik Sandera mengatakan terdapat tantangan yang harus dihadapi dan diselesaikan masyarakat Indonesia.

Tantangan tersebut antara lain mengembalikan peran negara sebagai benteng Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi Lingkungan dengan menata ulang relasi antara negara, rakyat, dan modal. Berikutnya pemulihan keseimbangan ekologis dengan perlindungan lingkungan hidup, penyelesaian konflik lingkungan hidup dan SDA, serta penyelesaian utang luar negeri dengan membangun kemandirian ekonomi. “Fokus bagaimana menghancurkan oligarki yang selama ini mengendalikan negara kita dalam hidup berbangsa dan bernegara,” pungkasnya. (SF/RS)