,

Menilik Omnibus Law UU Cipta Kerja di Indonesia

Melalui Podcast, Aufanida Ingin Mensyiarkan Ramadan

Beberapa bulan terakhir Undang-Undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) di Indonesia menjadi topik yang ramai diperbincangkan, baik oleh akademisi juga kalangan umum. Omnibus Law ini juga banyak diperdebatkan dan dinilai merugikan sejumlah pihak, terlebih jika Omnibus Law dipandang dari segi urgensi dan signifikasinya.

Merespon hal ini, Program Studi Magister Ilmu Agama Islam dan Program Studi Doktor Hukum Islam Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar Seminar Nasional bertajuk Pro Kontra Omnibus Law UU Cipta Kerja di Indonesia, pada Kamis (22/10). Hadir sebagai pembicara kunci Ketua Umum Himpunan Ilmuwan Sarjana Syariah Indonesia Prof. Dr. Drs. KH. Muhammad Amin Suma, S.H., M.H., M.M.

Seminar yang dilaksanakan secara daring ini menghadirkan pembicara Dr. Anton Priyo Nugroho, M.M. (Fakultas Ilmu Agama Islam UII), Anang Zubaidy, S.H., M.H. (Direktur Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII), Agus Supriyanto, S.H.I., S.H., M.S.I (Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Asosiasi Pengacara Syariah Yogyakarta), Dr. Addiarrahman, M.S.I. (Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sultan Tahah Saifuddin Jambi).

Prof. Muhammad Amin Suma mengemukakan hampir semua negara di dunia memiliki teks konstitusi yang tertulis, termasuk negara Indonesia yang memiliki Undang-Undang Dasar 1945. Terselip cita hukum, dan cita bangsa yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Dalam rangka kontekstualisasi mempertahankan UUD 1945, sudah di amandemen sebanyak 4 kali terutama dibagian pembukaan. Hal ini dikarenakan untuk menyempurnakan aturan dasar sehingga dapat menyesuaikan kehidupan di masa kini.

“Amandemen 1945 sekian kali dilakukan oleh yang berwenang, dalam rangka mempertahankan spirit perjuangan bangsa Indonesia yang tidak pernah terputus dari generasi ke generasi. Akan tetapi, naskah Undang-Undang 1945 itu oleh sebagian terbesar bangsa Indonesia ada yang perlu diubah, supaya sesuai dengan kekinian zaman sekarang dan kedisinian di Indonesia,” tuturnya.

Menurutnya, ada hubungan antara Perundang-undangan dan ilmu syari’ah. Sebagaimana kaidah yang sangat populer dalam fiqh Islam “taghayyaru al-ahkam bi taghayyarul al-azminah wa al-amkinah wa al-ahwal” (perubahan hukum terjadi karena perubahan zaman, dan tempat dan keadaan). Hukum termasuk hukum dasar, UUD 1945 termasuk di dalamnya, boleh berubah dan diubah jika ada alasan logis (‘illat) dari sudut pandang hukum yang memang menghendaki itu.

Anton Priyo Nugroho menjelaskan didalam UU Cipta Kerja ada banyak sekali Undang-Undang yang menjelaskan tentang UMKM (usaha mikro kecil menengah). Omnibus Law dalam satu sisi memberikan dampak positif bagi pelaku UMKM, dalam klaster ini akan lebih dipermudah baik perizinan hal dan sebagainya. Mengingat pada era demografi kebutuhan akan lapangan kerja yang semakin banyak dan tidak semua angkatan kerja terserap di pasar tenaga kerja.

Terkhusus dalam jaminan sertifikasi halal UU Omnibus Law memudahkan pemberian akses sertifikasi halal bagi UMKM dengan biaya gratis. “Hal ini menguntungkan, karena sebelumnya kepengurusan sertifikasi halal ini selain lama juga membutuhkan ongkos yang tidak murah bagi pelaku UMKM,” imbuhnya.

Sementara Addiarrahman dalam kesempatannya memaparkan UU Cipta kerja berusaha untuk mengejar pertumbuhan ekonomi dengan melonggarkan kran investasi. UU Cipta Kerja terkesan melemahkan desentralisasi, karena peran-peran penting yang awalnya dilakukan oleh daerah kini ditarik perannya oleh pusat, sehingga rawan sekali terjadinya korupsi. Dilihat dari trilema politik yaitu hyper globalisation, democratic policies dan nationality sovereignty, yang menjadi ancamannya adalah kedaulatan nasional. “Ketika kelonggaran-kelonggaran diciptakan, isu nasionalisme dan kedaulatan menjadi sangat terancam sekali,” imbuhnya.

Negara harus mampu menengahi kepentingan rakyat, menjadi penengah di antara kelompok yang berbeda, bukan berpihak salah satu pihak kelompok saja. Dalam konteks pembangunan negara berfungsi sebagai proteksi yaitu melindungi kepentingan rakyatnya dari filtrasi asing. Karena saat ini filtrasi asing berbentuk secara politik, ekonomi, dan budaya, dengan ini harapannya UU Cipta Kerja mampu menjadi pelindung kepentingan rakyat dan tidak berpihak pada salah satu kelompok saja.

Selanjutnya Anang Zubaidy menilai proses pembahasan UU Cipta Kerja terkesan terburu-buru karena hingga saat ini jumlah halaman naskah RUU Cipta Kerja masih menjadi misteri. Menurut Anang, perbendaan jumlah halaman bukanlah persoalan dan tata tulis penggunaan kertas. Karena penulisan naskah Peraturan Perundang-undangan sudah ditentukan di dalam lampiran II angka 284 UU No.12/2011. “Proses penyusunan saat menyusun norma-norma itu seharusnya sudah mengikuti kaidah ini, dengan ini proses pembahasanpun apabila berkurang atau bertambah tidak akan signifikan,” ujarnya.

Terakhir, Agus Supriyanto menyebutkan tiga peran advokat dalam merespon UU Cipta Kerja, sebagai penegak hukum, penegak etik advokat, dan organisasi advokat. Penegakan hukum dapat dilakukan advokat di kalangan masyarakat dengan mempelajari isi undang-undang dan melakukan kegiatan sosial kontrol atas kebijakan-kebijakan yang ada. (HA/RS)