Menyikapi Monopoli dan Dominasi BUMN

Pakar hukum bisnis UII, Dr. Siti Anisah, S.H., M.Hum. menilai dominasi BUMN sudah berlebihan dan tidak menggunakan peraturan yang seharusnya dilakukan. Menurutnya, dominasi BUMN berangkat dari campur tangan negara dalam menginvestasikan kekayaannya. Kekayaan yang diinvestasikan sebagian berasal dari APBN dan aset-aset yang dimiliki oleh negara. Sayangnya, pendapatan yang diterima pemerintah dan injeksi dana yang diberikan oleh negara kepada BUMN tidak seimbang.

Hal itu disampaikannya dalam webinar Pusat Studi Hukum FH UII bertemakan “Dominasi BUMN : Dilema atau Seharusnya” yang diadakan pada Sabtu (03/04) secara daring. Turut hadir pembicara lainnya Dr. Richo Andi Wibowo, S.H., LL.M. (Dosen Fakultas Hukum UGM) .

Ia pun menambahkan salah satu alasan mengapa negara mendirikan BUMN adalah guna menyediakan public and merit goods/services. Khususnya di bidang vital seperti pertahanan, kesehatan masyarakat, dan pendidikan. “Jangan sampai kesehatan dan pendidikan ketika dikelola oleh BUMN menjadi mahal. Berarti dominasi itu perlu tetapi dalam ukuran-ukuran yang memang dikembalikan kepada sebesar-besar kemakmuran rakyat atau memang cabang-cabang produksi harus dikuasai oleh negara”, imbuhnya.

Ia mengkritisi peran negara yang saling bertentangan sebagai regulator dan pemegang saham di BUMN yang rawan konflik. Ada kecenderungan intervensi politik di dalam kegiatan usaha yang dapat mendistorsi persaingan yang sehat. “Untuk itu, warga negara dan stakeholders lain harus dilibatkan untuk memberikan panduan dan masukan mengenai peran sektor publik dan kepemilikan pemerintah. Interaksi negara sebagai pemilik modal dengan BUMN harus diperjelas dan transparan kepada stakeholders”, tegasnya.

Sementara itu, Dr. Richo Andi Wibowo berupaya mendudukkan BUMN dalam pembangunan bangsa pada perspektif konstitusi dan hukum administrasi. Ada tiga musabab mengapa hal itu sulit. Pertama, tidak mudah mencari titik tengah dari dua ideologi besar. Seperti mencari titik tengah antara ideologi kapitalis dan kesejahteraan. Ketika mengkombinasikan keduanya, yang sering terjadi adalah mengambil sisi buruknya bukan sisi baiknya.

Kedua, pengaburan informasi sehingga membentuk persepsi tidak akurat. Salah satunya adalah ada kesan bahwa mengurangi peran BUMN langsung serta merta dianggap mereduksi peran negara dan bertentangan atas Pasal 33 UUD 45. Padahal seharusnya dilihat dulu peran BUMN yang mana dan pada sektor apa. Ketiga, ada penyimpangan di regulasi di bawah UU. Bahwa di level praktik, regulasi misalnya seperti PP, Perpres, serta Permen (BUMN/ESDM, dsb) bermain leluasa untuk mereduksi konsep yang melarang dominasi/ monopoli BUMN tanpa justifikasi yang kuat/ jelas.

Syahdan, berbagai hal tidak ideal itu menurutnya membuat “kue pembangunan” tidak terbagi dengan adil serta memunculkan potensi inefisiensi dan potensi korupsi. “Cara mengatasinya dengan merawat memori kolektif, memahami konteks dan memperbaiki regulasi yang tidak sesuai seperti Perpres 04/2016 jo 04/2017 tentang PPIK serta memperbaiki cara pikir pengambil kebijakan. Jadi pemerintah perlu mengindahkan desain yang sudah dibuat konstitusi; juga melakukan kehati-hatian, mempertimbangkan keadilan dan melakukan pekerjaan berdasarkan skala prioritas”, sarannya.

“Negara campur tangan pada proses ekonomi bukan berarti negara menjadi pemain di semua lini, hanya yang penting saja; negara lebih banyak berposisi sebagai regulator dan pengarah”, pungkasnya mengutip pernyataan Bung Hatta. (FHC/ESP)