Urgensi Pendidikan bagi Kelangsungan Generasi Bangsa

Pendidikan di Indonesia tampaknya masih menjadi salah salu polemik yang selalu terjadi secara terus menerus. Eksistensi dunia pendidikan di Indonesia dianggap kurang memiliki konsistensi dan semangat juang yang tinggi, hal tersebut dapat dirasakan melalui adanya regulasi kurikulum baru yang selalu berubah ubah pada tiap zamannya.

Demikian menurut Dr. Taufikin, M.Si. selaku penulis disertasi pada acara Bedah Disertasi Nilai-nilai Sufistik dalam Pemikiran Pendidikan Ki Hajar Dewantara pada Kamis (1/4). “Kegelisahan dari peneliti kami awali dari perubahan-perubahan kurikulum, mulai dari perubahan pendidikan kurikulum yang berkarakter, pendidikan budi pekerti, kemudian muncul lagi merdeka belajar. Bisa kita saksikan adanya inkonsistensi pendidikan budi pekerti pada seorang manusia,” ungkap beliau.

Bedah disertasi yang dilaksanakan via zoom dan live streaming YouTube ini juga mengundang Dr. Drs. M. Hajar Dewantoro, M. Ag., Dosen Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) UII selaku pembedah pertama dan Kyai Nur Khalik Ridwan Peneliti Pusat Studi Islam (PSI) UII – Pegiat Tasawuf sebagai pembedah kedua pada acara itu.

Taufikin Juga menyatakan, pendidikan siswa di Indonesia saat ini dianggap kurang terkontrol secara spesifik. Seorang siswa dianggap hanya mampu terkontrol ketika mereka sedang berada di dalam instansi pendidikan, ketika siswa tersebut telah keluar dari lembaga pendidikan, maka tak jarang ada perwujudan karakter buruk yang terbentuk pada diri siswa tersebut, sehingga menomor duakan pendidikan budi pekerti.

“Ini kegelisahan kami adalah inkonsistensi pada seorang anak, ketika berada di dalam lembaga pendidikan masih terkontrol masih oke, namun ketika sudah krusial apalagi menjadi pejabat publik, itu banyak sekali data data yang bertentangan dengan ketika mereka berada di lembaga pendidikan, ketika menjadi siswa,” ungkap Dosen Ilmu Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah IAIN Kudus tersebut.
Taufikin mendeskripsikan pendidikan pada dasarnya dibagi menjadi dua bagian, yakni pendidikan jasmani dan rohani. Namun sangat disayangkan, di Indonesia pendidikan rohani atau budi pekerti kurang dilirik oleh tenaga pendidik maupun masyarakat.

“Pendidikan itu harus fokus pada dua dimensi, yaitu esoteris atau jasmaniah dan rohani, maka belum terwujudnya formula pendidikan budi pekerti yang barangkali perlu diperbaiki supaya pendidikan kita bisa seimbang antara rohani dan jasmani, pendidikan ini ternyata menuju kepada Ki Hajar Dewantara, bahkan beliau menomorsatukan batin itu sebagai pendidikan utama, baragkali di dunia pendidikan urusan batin sedikit tersentuh. Seharusnya ini dibangun sebagai pendidikan yang menyeluruh,” ungkapnya.

Hajar Dewantoro selaku pembedah disertasi tersebut menyarankan, potensi tenaga pengajar sebaiknya lebih dimasifkan, baik dari segi tata pengajaran maupun pembelajaran terhadap siswa. Beliau juga menyarankan agar siswa tidak melupakan nilai nilai spiritualitas yang telah diajarkan tenaga pengajar melalui instansi pendidikan yang ada.

“Bapak ibu sekalian, saya kira kompetensi guru harus ditambah, kompitensi spiritual dan managerial. Kemudian perkembangan siswa harus dikembangkan, kajian selanjutnya saya kira pendekatan sosial budaya dalam konteks budaya jawa ,” ungkap Dosen FIAI UII tersebut. (AMG/RS)