Menyorot Maladministrasi TWK Pegawai KPK

Lembaga Eksekutif Mahasiswa (LEM) UII menyelenggarakan kajian “Upaya Pelemahan Kinerja KPK melalui Maladministrasi TWK” dengan mengundang pembicara Dr. Suryawan Raharjo, S.H., LL.M (Kepala Lembaga Ombudsman DIY) dan Budi Santoso, S.H., LL.M (Mantan Penasihat KPK) pada Sabtu (31/07). 

Budi Santoso menjelaskan empat temuan yang memperlihatkan bahwa revisi UU KPK bermasalah. Pertama, ,revisi UU KPK tidak melalui proses perencanaan dalam Prolegnas Prioritas tahun 2019. UU 12 No. 12 Tahun 2011 sebagaimana diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mewajibkan bahwa setiap pembentukan undang-undang harus melalui proses perencanaan dalam Prolegnas. 

Kedua, revisi UU KPK menggunakan Naskah Akademik yang diragukan kebaruannya serta tidak lengkap membahas poin-poin yang memperlemah KPK. Ketiga, pembahasan revisi UU KPK tidak partisipatif dan tertutup. Proses pengerjaan dan pembahasan yang sangat kilat (14 hari) dan KPK secara kelembagaan tidak pernah diajak bicara bahkan pemimpin KPK tidak pernah mendapat draf revisi UU KPK secara resmi dari DPR. 

Keempat, sidang paripurna DPR tidak mencapai kuorum dalam pengambilan keputusan. UU No. 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD menyebut bahwa sidang paripurna DPR hanya dapat mengambil keputusan apabila memenuhi kuorum. Kuorum terpenuhi apabila rapat dihadiri lebih dari setengah jumlah anggota rapat dan terdiri atas lebih dari setengah jumlah fraksi. 

Berdasarkan catatan Kesekretariatan Jenderal DPR, rapat paripurna persetujuan Perubahan UU KPK pada 17 September 2019 dihadiri oleh 289 dari 560 anggota DPR. Namun berdasarkan penghitungan manual hingga pukul 12.18 hari itu, harus terdapat 102 anggota DPR yang hadir dalam rapat paripurna. 

Sementara itu, Dr. Suryawan Raharjo menilai ada masalah dalam tes wawasan kebangsaan. Kebijakan negara terhadap penanganan korupsi berpengaruh pada orientasi kelembagaan KPK. Ia menekankan perlunya menata ulang orientasi dan pemaknaan terkait berbagai macam kebijakan negara. Termasuk instrumen pengawasan terjadi perubahan-perubahan yang cukup signifikan. Saat ini pengawasan yang benar-benar baik dari semua kalangan dan membangun kepeduliaan terhadap kebijakan negara sangatlah penting. 

Status kepegawaian pegawai KPK juga tidak luput dari sorotan. Lembaga-lembaga negara yang berorientasi independen dibentuk guna mengawasi kebijakan negara. Bila pegawai menjadi pegawai negeri/daerah dan kemudian dia harus tunduk pada peraturan pada lingkup kepegawaiannya, maka independensinya hilang dan negara dapat mengatur pegawai atas nama orientasi tugas dalam jabatan. 

Sehingga ketika ada penanganan kasus perkara, pengawasan yang kemudian sangat ketat menyebabkan integritas akan mudah dipermainkan karena sebagai pegawai negara. Beliau menambahkan bahwa lembaga negara memang harus diisi oleh orang-orang yang mempunyai independensi yang tinggi dan salah satunya tidak dikaitkan dengan lembaga-lembaga negara. (FHC/ESP)