Merawat Intelektualisme, Meruwat Demokrasi

Tema diskusi malam ini adalah “merawat intelektualisme, meruwat demokrasi”.  Tema ini memberi dua pesan kepada kita. Pertama, bahwa intelektualisme, konsistensi untuk selalu mempertanyakan banyak hal berdasar ilmu, harus dijaga. Tujuannya adalah menjaga kewasaran nalar. Tidak hanya nalar personal, tapi lebih dari itu, adalah nalar kolektif. Kedua, demokrasi tidak tumbuh dengan sendirinya. Diperlukan adanya intervensi aktif untuk merawatnya dengan sepenuh hati.

Mengapa demokrasi perlu diruwat? Demokrasi di Indonesia masih berusia muda. Di sini, demokrasi diterjemahkan dalam bingkainya yang sangat luas. Salah satu hal penting dalam demokrasi, adalah bahwa kanal suara publik dibuka dan masukannya diperhatikan. Singkatnya: kebebasan berpendapat dijamin. Mengapa ini penting? Indonesia pernah berada di suatu masa ketika bersuara jujur saja bisa berujung di penjara dan keputusan negara sangat elitis, meski menyangkut hajat hidup orang banyak.

Salah satu buah reformasi pada 1998 adalah ruang publik yang lebih nyaman untuk mendiskusikan banyak hal. Publik mulai diberikan kanal kebebasan untuk menyampaikan opini dan aspirasi. Inilah salah satu esensi demokrasi yang harus disyukuri sebagai anak bangsa.

Meski tidak sulit untuk bersepakat bahwa ada ekses dari ini. Pengalaman berdemokrasi yang baru seumur jagung dan proses menjadi bangsa yang belum tuntas, nampaknya turut memberi andil. Tidak sulit mencari bukti munculnya konflik negara berhadapan dengan warganya dan konflik horisontal antarwarga. Politik primordial dan politik identitas, untuk kepentingan kelompok sesaat, adalah beberapa bukti lain, bahwa Indonesia masih memerlukan waktu untuk utuh menjadi sebuah bangsa.

Acemoglu dan Robinson (2020) dalam bukunya The Narrow Corridor: States, Societies, and the Fate of Liberty, membahas mahalnya harga kebebasan. Mereka berargumen bahwa kebebasan akan muncul dan berkembang jika negara dan warga kuat. Negara yang kuat diperlukan untuk mengendalikan kekerasan, menegakkan hukum, dan menyediakan layanan publik yang memberdayakan. Di sisi lain, warga yang kuat dibutuhkan untuk mengontrol dan mengekang negara. Intelektualisme yang tumbuh di kalangan warga, terutama kaum terpelajarnya, adalah salah satu upaya menguatkan warga.

Masih menurut Acemoglu dan Robinson, kebebasan membutuhkan koridor, bukan pintu, karena mencapainya adalah sebuah proses yang merupakan sebuah perjalanan panjang sampai kekerasan dikendalikan, hukum ditulis dan ditegakkan, dan layanan publik yang berkualitas disediakan. Dalam perjalanan ini, negara dan para elit belajar hidup bersama kekangan yang dibuat oleh warga, dan beragam segmen warga harus belajar bekerja sama di tengah keragaman.

Menjamin adanya kebebasan sangatlah menantang, dan tidak jarang koridornya menyempit atau dipersempit karena kepentingan tertentu. Aksi “borong habis tafsir demokrasi”, meminjam istilah dari Prof. Ni’matul Huda, oleh para elit dalam kekuatan oligarki bisa membahayakan persatuan bangsa. Dalam beberapa tahun terakhir, tidak sulit menjadi bukti pola pikir dikotomis, “dia” versus “saya”, “mereka” lawan “kita”, dalam beragam jargonnya, marak ditemukan di kalangan warga negara. Dampak negatifnya menjadi sangat berbahaya, ketika semakin banyak warga tidak siap menjadi pemikir mandiri, yang diperparah dengan kemampuan verifikasi minimal.

Lagi-lagi, di sini, intelektualisme yang mempunyai peran penting untuk menjaga nalar bangsa tetap sehat. Intektualisme menjadi ikhtiar menuju pemikir mandiri dan tidak terbawa arus narasi publik, yang tidak kalis dari kepentingan pada desainernya. Saat ini, kemandirian berpikir menjadi sangat pengting ketika opini emosiona lebih dominan di masa pascakebenaran.

Saya melihat lewat tulisan-tulisannya, Mas AE Priyono memberi contoh kepada kita untuk tak lelah, terus berpikir secara serius. Tidak hanya untuk memuaskan rasa ingin tahu personal, tapi lebih dari itu, untuk mengedukasi dan membuat perbedaan di tangah-tengah masyarakat. Termasuk buah intelektualisme, adalah kritik jujur terhadap ketidakadilan dan hilangnya akal sehat, yang dilandasi rasa cinta kepada Indonesia dan rindu akan hadirnya bangsa yang lebih bermartabat.

Saya harus melakukan pengakuan. Secara personal saya tidak pernah satu orbit fisik dengan Mas AE. Saya mengenal Mas AE lewat tulisan, termasuk status kritisnya di Facebook, dan cerita para senior di Universitas Islam Indonesia. Sangat jelas terlihat bahwa Mas AE adalah penekun pemikiran serius yang istikamah menjaga keyakinannya.

Lewat tulisan, Mas AE telah menyuarakan kegelisahannya untuk kebaikan bangsa ini, dengan pilihan sikap tegas dan gaya lugas. Untuk penyuka perubahan, tulisan kritisnya sangat bernas. Tapi, bagi mereka yang berseberangan, tulisannya mungkin terasa pedas dan membuat telinga panas.

Selamat jalan Mas AE. Saya yakin, Allah telah menyiapkan tempat terbaik untuk Njenengan.

Sambutan pembuka pada diskusi bedah buku “Menolak Matinya Intelektualisme” dan “Pergulatan Intelektual Membela Demokrasi” untuk mengenang wafatnya Mas AE Priyono, 10 Agustus 2020.