Meretas Jalan Kemitraan Jujur Antaragama

Ikhtiar R20, yang digagas oleh Nahdlatul Ulama (NU) dan Liga Muslim Dunia dalam rangkaian pertemuan G20, yang dihelat pada awal November 2022 di Bali, patut mendapatkan apresiasi. Forum R20 tidak hanya menyatukan kehadiran fisik para pemimpin agama dunia, namun lebih penting dari itu, mempertemukan beragam gagasan besar secara terbuka.

 

Kacamata jernih

Forum tersebut juga membangun suasana saling memahami dan menghormati antaragama secara lebih intens. Tidak hanya melalui paparan para pembicara, diskusi informal antarpeserta di lokasi acara merupakan momen yang sangat berharga. Ruang dialog yang dibuka di panggung, diamplifikasi di banyak pojok lokasi acara. 

Peserta R20 lintasagama saling belajar. Para pembicara di forum R20 memaparkan beragam lensa analisis untuk memotret fenomena kontemporer dunia dan juga menawarkan bagaimana umat beragama dapat hadir untuk meresponsnya. Pemahaman dengan kacamata yang jernih sangat penting, meskipun tidak selalu mudah dilakukan.

Respons yang produktif tidak mungkin dilakukan tanpa definisi masalah yang jelas. Untuk menyatukan kesadaran dan langkah, daftar musuh bersama harus dibuat. Terlalu banyak masalah yang dapat diidentifikasi, termasuk isu kelestarian lingkungan, krisis energi, potensi konflik, dan bahkan krisis pangan.

Isu ini menjadikan semakin penting ketika batas antarnegara semakin memudar. Tidak mudah untuk memastikan bahwa ketika sebuah masalah muncul di suatu negara tidak akan mempengaruhi negara lain. Kesadaran bahwa isu tersebut menyangkut masa depan eksistensi manusia dan nilai-nilai kemanusiaan yang terancam, karenanya, perlu dibangun.

Kondisi mutakhir terkait pandemi Covid-19 merupakan bukti yang masih ada di depan mata. Perang Rusia dan Ukraina adalah contoh lain. Dampak perang dirasakan oleh banyak negara, yang terikat hubungan dengan keduanya, termasuk misalnya, karena pasokan energi maupun gandum yang terganggu. Konflik antaragama yang terjadi di sebuah negara juga tidak jarang bergema di negara lain, sebagai bentuk solidaritas atau bahkan pembalasan. Ini tentu bukan tindakan yang dapat dibenarkan, tetapi sebagai fakta sosial, itu nyata adanya.

Beberapa ilustrasi di atas menegaskan bahwa eksklusivisme bukan merupakan pilihan perspektif. Dunia terhubung dan saling tergantung. Pilihannya bukan tertanding, tetapi bersanding, di tengah keragaman yang merupakan kenyataan yang tidak bisa ditampik.

 

Pelajaran dari lapangan

R20 juga juga memunculkan kesadaran kolektif bahwa pelajaran dari konteks Indonesia yang beragam sangat menarik untuk digaungkan ke pentas global. Terlepas dari beberapa catatan tidak sempurna dari lapangan, secara umum, bangsa Indonesia berhasil memberi contoh kepada dunia, bahwa perbedaan bukan alasan untuk terus berkonflik dan tercerai berai.

Kunjungan delegasi ke Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta, selepas acara di Bali, menghadirkan catatan tersendiri. UII sebagai pionir pendidikan tinggi di Indonesia, dan menjadi salah satu universitas Islam terbesar di Indonesia, sudah seharusnya merasa sangat terhormat mendapatkan kunjungan tersebut.

Titik kunjung di UII adalah Candi Kimpulan yang ditemukan pada 2009 ketika proses awal pembangunan perpustakaan. UII merawat dengan baik candi Hindu tersebut yang diperkirakan berasal dari abad ke-9 atau ke-10. Bahkan, gedung perpustakaan didesain ulang untuk memberikan ruang terhormat bagi candi. Keberadaan candi Hindu yang terawat di kampus Islam merupakan salah satu bukti hidup harmoni antaragama di Indonesia.

Kunjungan ke beberapa tempat lain di sekitar Yogyakarta, termasuk ke vihara, pesantren, candi juga memperkaya referensi dalam melakukan diskusi lanjutan. Kunjungan tersebut melantangkan pesan bahwa perbedaan bukan alasan untuk menutup pintu kemitraan dan tidak hidup berdampingan dalam damai.

 

Tidak boleh elitis

Pesan harmoni ini sudah seharusnya tidak hanya beredar di kalangan elite agama. Pesan tersebut harus dilantangkan dan ditranslasikan dalam bentuknya yang paling konkret di kalangan akar rumput. Tanpa upaya ini, kemitraan antaragama yang terbentuk dikhawatirkan menjadi sangat terbatas, temporer, dan bahkan superfisial.

Beragam pesan penting dalam perhelatan R20 juga demikian. Setiap pemimpin agama yang terlibat mempunyai pekerjaan lanjutan yang tidak mudah untuk menjadikan pesan kemitraan tersebut tersampaikan kepada dan diyakini oleh sebanyak mungkin umatnya. Hanya dengan demikian, gerakan kolektif lintasjenjang dapat terbentuk.

Tentu, ini bukan kerja sederhana, karena beberapa alasan. Pertama, diksi para elite agama sangat mungkin berbeda dengan bahasa akar rumput. Penyederhanaan pesan tanpa mengurangi esensi menjadi sangat penting. Kedua, kesadaran awal orang awam dengan paparan terhadap keragaman pemikiran dan interaksi lintasagama yang terbatas juga membutuhkan strategi khusus untuk meyakinkan. Kesalahan dalam pemilihan strategi akan berdampak pada tingkat penerimaan, dan bahkan menyemai benih penolakan.

Ketika orkestrasi pesan terjadi antara kalangan elite agama dan kaum akar rumput terjadi,  pesan mulia ini pun akan terus menggema dan bahkan teramplifikasi dari waktu ke waktu. Ikhtiar membangun iklim kemitraan antaragama pun tidak akan terus berulang dari awal tanpa kemajuan yang berarti. Jika orkestrasi terjadi, hasilnya adalah akumulasi kemitraan nyata yang menunjukkan bahwa agama semakin bermakna sebagai pemberi solusi atas masalah dunia yang semakin kompleks.

Bukti kemitraan ini sangat penting untuk meyakinkan kalangan lain yang belum terlibat dan juga menggandeng generasi mendatang. Hal tersebut juga dapat menjadi bukti kejujuran dan keseriusan dalam bermitra. Tanpanya, ikhtiar kemitraan antaragama akan terus mengawang dan terus menunggu waktu untuk membumi.

 

Membangun koridor

Sangat banyak argumen yang dapat terus dikembangkan untuk mendukung inisiatif kemitraan lintasagama. Namun di sisi lain, pemimpin agama juga tidak boleh lupa terhadap masalah yang terjadi di rumahnya masing-masing. Masih banyak pekerjaan rumah yang menanti ditunaikan.

Persekusi kelompok atau sekte minoritas atau yang tidak sealiran, bahkan di antara pengamal agama yang sama, masih mewarnai perjalanan bangsa Indonesia. Memang, kejadian seperti ini tidak dominan, tapi pengabaian terhadapnya dapat memunculkan ketidakpercayaan atas komitmen.

Tidak hanya itu, kejujuran dalam upaya saling menghormati pun sering kali diabaikan begitu saja. Apa buktinya? Pesan saling merendahkan liyan dan saling mengklaim kontribusi kebangsaan di ruang privat kelompok masih sering terjadi dan dianggap wajar.

Letupan-letupan tidak sehat seperti ini tidak dapat dibiarkan. Di sinilah, kejujuran dalam bermitra mendapatkan ujian. Mengapa? Amplifikasi pesan seperti ini akan mendelegitimasi pesan kemitraan yang digaungkan oleh R20. Yang muncul kemudian adalah hipokrisi kolektif, yang ditandai dengan beda ucapan dan sikap antara yang ditunjukkan di ruang publik dan yang dilantangkan di ruang privat.

Konflik domestik di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim juga menjadi bukti bahwa pekerjaan rumah itu nyata adanya. Data yang dikumpulkan oleh peneliti dari Peace Research Institute Oslo (PRIO) (Gleditsch & Rudolfsen, 2016) dari 1946-2014 menunjukkan bahwa dari 49 negara yang mayoritas penduduknya muslim, 20 (atau 41%) di antaranya mengalami perang sipil (perang sesama anak bangsa), dengan total durasi perang 174 tahun atau sekitar 7% dari total umur kumulatif semua negara tersebut (2.467 tahun). Indonesia merupakan salah satu negara yang secara umum kalis dari konflik domestik tersebut.

Dalam konteks ini, pesan kesetaraan perlu terus digaungkan, sekali lagi, dengan jujur.

Tanpanya, ibarat gedung dengan banyak jendela yang ketika ada salah satu jendela yang pecah. Ketika jendela yang pecah tidak segera diperbaiki, maka orang akan mengira bahwa gedung tidak ada yang merawat. Jangan heran, jika akan semakin banyak kaca jendela yang pecah. Inilah Teori Jendela Pecah (The Broken Windows Theory) (Hinkle & Yang, 2014). Begitu juga kemitraan yang tidak dibarengi dengan kejujuran.

Menyeragamkan keragaman sikap antarkelompok, termasuk di dalam agama yang sama, memang tidak mudah, atau bahkan mungkin tidak perlu dilakukan. Yang dibutuhkan adalah koridor yang cukup longgar untuk gerak kolektif, yang setiap kelompok mendapatkan tempat terhormat untuk terus berkembang. Dalam koridor tersebut persamaan dikedepankan dan perbedaan dikesampingkan.

Hal tersebut sudah dilakukan oleh para ibu dan bapak bangsa Indonesia. Mereka adalah para negarawan yang sudah selesai dengan dirinya dan mewakafkannya untuk kemajuan bangsa. Teladan seperti itu perlu terus dirawat dan diwariskan. Tentu, dengan kontekstualisasi yang memadai pada dimensi spasial dan temporal kini dan masa depan.

 

Epilog

Meskipun beragam tantangan harus dihadapi, pesan R20 tetap valid dan sangat penting untuk terus dilantangkan dengan jujur, tidak hanya untuk menjangkau ruang publik, tetapi juga ruang privat, dan bahkan relung hati setiap pengamal agama.

Tentu, pesan sebagus apa pun akan meredup dengan mudah, jika tidak diamplifikasi dan diikuti dengan akumulasi bukti konkret yang bermakna di lapangan. Hanya waktu yang akan membuktikan ini semua.

 

Referensi

Gleditsch, N. P., & Rudolfsen, I. (2016). Are Muslim countries more prone to violence?. Research & Politics, 3(2), 1–9.

Hinkle, J. C., & Yang, S. M. (2014). A new look into broken windows: What shapes individuals’ perceptions of social disorder?. Journal of Criminal Justice42(1), 26-35.

 

Bersama banyak tulisan dari penulis lain, tulisan ini telah terbit dalam buku Religion Twenty (R20): Moderatisme, Kemanusiaan, dan Perdamaian Global, yang disunting oleh Eko Ernada, Ridwan al-Makassary, dan Achmad Ubaidillah, dan diterbitkan oleh Badan Pengembangan Jaringan Internasional PBNU dan Aswaja Pressindo.