Muslim Perlu Merekonstruksi Sejarah Lampau

Direktorat Layanan Akademik Universitas Islam Indonesia (UII) menyelenggarakan Studium Generale secara daring mengangkat tema “Perkembangan Peradaban Islam”. Studium generale yang dihelat pada Sabtu (26/6) ini diperuntukkan bagi mahasiswa Program Doktor, Magister, dan Profesi di lingkungan UII dengan menghadirkan pembicara Prof. Dr. Komaruddin Hidayat.

Rektor UII, Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D. dalam sambutannya menyampaikan Islam pernah mengalami Zaman Keemasan antara 850 M dan 1250 M. Kejayaannya mengalahkan bangsa Eropa yang kala itu berada pada Zaman Kegelapan. Ada beberapa faktor yang membawa kejayaan Islam dahulu, diantaranya adalah kecintaan pada ilmu pengetahuan.

Namun saat ini menurut Fathul Wahid, muslim cenderung tertinggal dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Sejarah tidak berulang dengan sendirinya, perulangan sejarah membutuhkan aktor yang mendorongnya. Karenanya ia mengajak para intelektual muda mahasiswa UII untuk melakukan refleksi atas sejarah peradaban Islam di masa lalu.

“Yang dibutuhkan saat ini adalah melakukan rekontruksi sejarah lampau. Rekonstruksi adalah proses intelektual, ada elemen lama di sana, tetapi dilengkapi dengan eleman kontekstual sesuai kebutuhan masanya,” jelas Fathul Wahid.

“Ini berbeda dengan proses repoduksi yang bersifat mekanistik dan menyalin masa lalu apa adanya. Ini juga akan menjadikan muslim tidak beranjak dari tempatnya karena hidup di bawah bayang-bayang masa lalu,” imbuh Fathul Wahid.

Sementara Komaruddin Hidayat yang mrupakan Rektor Universitas Islam Internasional Jakarta mengemukakan Arab dulu sebelum adanya Islam termasuk negara yang terbelakang. Hingga lahirnya agama Islam dengan diturunkan Nabi Muhammad menjadikannya negara yang masyhur melalui peradaban muslim.

Ia menjelaskan, peradaban tersebut tidak lepas dari sifat umat Islam yang inkusif, percaya diri, apresiatif terhadap agama lain. Artinya peradaban yang ditinggalkan oleh Nabi Muhammad merupakan yang paling tinggi.

“Pertama kali Islam mengajarkan mengenai tauhid yang saat itu dianggap sebagai ide subversif, sehingga ditentang dengan begitu keras. Lalu yang kedua adalah mengangkat kemanusiaan universal yang dahulu dibawah kekuasaan kabilah,” terang Komaruddin Hidayat.

Ide yang sangat revolusioner yang dibawa oleh Islam adalah sifat rahmatan lil ‘alamin. “Civic values yang dibawa oleh sejarah Islam dengan munculnya istilah muhajirin dan anshar mirip dengan Indonesia yang bukan nation based of ethnicity, sebab Indonesia bukan tentang suku Jawa saja,” katanya.

Artinya keberagaman itu diikat dengan nilai kesopanan berupa Pancasila jika di Indonesia, sedangkan Al Quran untuk kaum muslim. “Meski dahulu Alquran belum berbentuk mushaf seperti sekarang, tetapi Alquran menyatu langsung dengan jiwa umat Islam,” jelasnya.

Ajaran Alquran bersifat inklusif yang mengenalkan hubungan ajaran para nabi sebelumnya,” Hal tersebut memecahkan jiwa pride suku Arab yang sangat bersifat kesukuan,“ imbuh Komaruddin.

Sikap keterbukaan Islam pasca nabi mulai membawa peradaban baru, seperti administrasi, militer, dan filsafat. Namun, di saat yang sama muncul kembali ideologi kabilahisme seperti Bani Umayyah,” Pemikiran ilmu Islam dahulu sangat dipengaruhi oleh Yunani. Sampai ada yang bilang jika tidak ada filsafat Islam, adanya filsafat Yunani,” paparnya.

Perpecahan politik dunia Islam membuat melemahnya etos filsafat keilmuan,” Saat ini keilmuan yang bertahan adalah ilmu fiqih dan tasawuf.” jelasnya.

Majunya peradaban muslim sangat erat hubungannya dengan pengaruh politik,” Seharusnya agama menjaga jarak dengan politik. Seperti Protestan yang maju karena jaraknya dengan politik,“ tandas Komaruddin.

Macam-macam ilmu yang berkembang seperti ilmu alam, ilmu sosial, dan teologi sebetulnya membahas mengenai ayat-ayat Tuhan tetapi dengan metode yang berbeda, “Namun cabang ilmu selain teologi dan fiqih dianggap sebagai ilmu sekuler,” jelasnya.

Untuk menulis kembali sejarah kejayaan Islam, muslim haruslah menghargai kemanusiaan universal. Tapi, faktanya dalam Islam justru senang sekali mengkafirkan, menyempitkan keberagaman dalam kehidupan beragama. Selain itu juga harus apresiasi terhadap kebenaran dalam banyak hal karena muslim merupakan umat yang paling beruntung dengan adanya ajaran Nabi Muhammad. Jangan memisah antara ilmu agama dan ilmu umum menjadi ilmu Islam dan non-Islam. (UAH/RS)