Organisasi Sayap Politik dan Kejelasan Payung Hukum

Eksistensi Organisasi Sayap Partai Politik (OSP) pada konteks Indonesia mengalami persoalan yang cukup serius, khususnya apabila dilihat dari aspek hukumnya. Ada ketidakjelasan mengenai payung hukum yang menaungi eksistensi OSP di Indonesia. Di satu sisi eksistensi OSP mendapat pengakuan secara yuridis di dalam Pasal 12 huruf j UU No. 2/2008 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 2/2011 tentang Partai Politik. Di sisi lain pengaturan lebih lanjut mengenai OSP tidak ditemukan di dalam UU Partai Politik tersebut, sehingga ketentuan mengenai OSP menginduk pada UU tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas).

Menilik hal tersebut Departemen Hukum Tata Negara, dan Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum UII bersama Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia menggelar Simposium Hukum Tata Negara dengan topik “Penataan Pengaturan Organisasi Sayap Partai Politik” pada Sabtu (29/6) di Hotel Sheraton Mustika Yogyakarta. Simposium menghadirkan sejumlah Guru Besar Hukum Tata Negara di Indonesia, seperti Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U., Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dan Prof. Dr. Bagir Manan, S.H., M.C.L.

Disampaikan Kepala Departemen Hukum Tata Negara UII, Dr. Saifudin, S.H., M.Hum. pengaturan OSP saat ini sama sekali tidak memberikan kejelasan mengenai nomenklatur kelembagaan dan kualifikasi OSP. Keberadaan OSP eksis dan digunakan oleh partai politik sebagai sarana untuk mensosialisasikan arah ideologi dan kebijakan partai politik.

“Eksistensi OSP sebagai bentuk organisasi yang didirikan dan dibentuk berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan, menjadi diidentikkan dengan kelembagaan organisasi kemasyarakatan (ormas) yang memiliki pengaturan tersendiri,” ungkap Saifudin.

Berangkat dari ketidakjelasan pengaturan serta eksistensi OSP, simposium ini diselenggarakan dengan tujuan untuk mengkaji, membahas dan menganalisis problematika pengaturan status dan kedudukan serta fungsi OSP dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

Dekan Fakultas Hukum UII, Dr. Abdul Jamil, S.H., M.H. dalam sambutannya menyinggung pentingnya diselenggarakannya simposium. Menurutnya pelaksanaan simposium ini merupakan bagian dari bentuk kepedulian khususnya dari Direktoran Jendral Administrasi Hukum Umum, Kementrian Hukum dan HAM. “Bahwa organisasi sayap parpol merupakan ujung tombak dalam hubungan parpol dan masyarakat, meskipun terdapat juga hal-hal yang tidak diinginkan oleh masyarakat” tuturnya.

Sementara Direktur Sub Direktorat Partai Politik, Dr. Ahsin Thohari., S.H., M.H. dalam sambutannya menuturkan simposium menjadi menemukan Justifikasi, dimana organisasi sayap partai politik yang memiliki afiliasi politik sudah pasti memiliki kepentingan politik. “Jika intrest-interst politik disangkutpautkan dengan ormas, maka menjadi campur aduk satu sama lain, mana yang kemudian dimasuki wilayah partai politik,” paparnya.

Prof. Mahfud, MD. menyampaikan pendapatnya akan ketidakjelasan pengaturan OSP. Jika satu-satunya jalan tidak bisa dihindari, maka solusinya adalah dengan memperbaiki. Ia menambahkan, konstitusi itu adalah kesepakatan para pemberi hak atas dasar situasi sosial ekonomi, politik dan budaya. “Oleh karena itu kesepakatan yang dibuat berdasarkan hal tersebut, bisa dirubah konstitusi dengan kesepakatan baru,” tuturnya.