Pendidikan Islam Dihadapkan pada Tantangan

Jurusan Studi Islam Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia (FIAI UII) menyelenggarakan konferensi nasional mengangkat tema “Eksistensi Pendidikan Islam: Berbasis Nilai, Perspektif, dan Inovasi Pengembangannya”, pada 24-25 Agustus 2020. Konferensi diselenggarakan secara virtual, sebagai wadah untuk memfasilitasi para peniliti, praktisi dan akademisi di bidang pendidikan, khususnya Pendidikan Agama Islam untuk saling berbagi ide dan gagasan terkait pengembangan riset dan pendidikan.

Konferensi nasional menghadirkan pembicara kunci Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A. di hari pertama dan Direktur Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyrakat UII, Dr. Eng. Hendra Setiawan, ST., M.T. pada hari kedua. Jalannya kegiatan juga diisi dengan penyampaian hasil riset dari 13 dosen Program Studi Pendidikan Agama Islam UII, serta diskusi panel terkait perkembangan pendidikan Islam di Indonesia yang diikuti 70 orang peserta dari dosen dan mahasiswa berbagai kampus, guru dan praktisi pendidikan di berbagai madrasah dan sekolah, serta Masyarakat umum.

Ketua Jurusan Studi Islam UII, Dr. Rahmani Timorita Yulianti, M.Ag. dalam sambutannya pada Senin, 26 Agustus 2020, mengatakan tema yang diangkat dalam konferensi saat ini sangatlah aktual karena berhubungan dengan eksistensi dan kesinambungan pendidikan agama Islam di Indonesia. Rahmani berharap hasil riset yang dikemas oleh para peneliti mampu membawa kontribusi dan menguatkan eksistensi pengembangan pendidikan Islam di Indonesia.

Menurut Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A., dibandingkan dengan negara-negara Islam lainnya, Indonesia memiliki pendidikan Islam yang jumlahnya terbesar di dunia. Pendidikan Islam bermula dari pendidikan umum yang dimasukkan nilai-nilai keislaman di dalamnya. Ia berpendapat bahwa Pendidikan Islam yang terkuat berada dalam lingkungan pesantren, madrasah, dan diniyah. Akan tetapi pendidikan di pondok pesantren disediakan untuk menimba ilmu keagamaan dan tidak diorientasikan untuk memasuki pasar kerja.

“Ini yang sering kali menjadi masalah karena pesantren itu diperuntukkan untuk orang yang belajar agama, belum memikirkan apa yang akan mereka lakukan setelah mereka menyelesaikan sekolahnya di pesantren,” jelasnya.

Dede Rosyada menyebutkankan tiga argumentasi formal dalam transformasi madrasah. Pertama, mendirikan pendidikan tinggi, kedua amanat sejarah dan yang ketiga adalah integritas ilmu. Harapannya santri-santri yang telah menyelesaikan pendidikan di pesantren memiliki nilai linieritas pasar kerja, sehingga memudahkannya memasuki pasar kerja yang terbuka. Dengan demikian, pendidikan islam baik dari jalur pendidikan madrasah maupun sekolah semua sudah mempersiapkan para siswa dan mahasiswanya untuk memasuki pasar kerja, baik pasar kerja linier ataupun non-linierity market.

Pendidikan Islam di hadapkan pada tantangan. Saat ini dunia sedang dihebohkan dengan era industri 4.0, dengan IoT, IoS, dan CPS. Dengan demikian serapan tenaga kerja pada dunia industri akan berkurang secara signifikan. Pada saat yang sama, dunia toleran dengan inovasi disrupsi, yang memungkingkan non-linierity profesionalism. Untuk itu, pendidikan islam harus mempersiapkan para alumni untuk memasuki pasar yang semakin sulit dan memiliki daya saing.

“Untuk menghadapi tantangan kedepan, bagaimana pendidikan melahirkan anak anak yang memiliki passion yang bagus, punya motivasi yang kuat, punya sprit bekerja yang luar biasa, punya daya kreatifitas. Sehingga kemudian dia bisa menjadi the winner di market lalu bisa membandingi siapa saja,” ucapnya.

Dede Rosyada berpesan agar pendidikan Islam mampu mempersiapkan para siswa atau mahasiswanya untuk berkembang pada dekade 2020-2040. Dengan itu, pendidikan bertanggung jawab mengahantarkan para siswa untuk tidak menjadi pelamar kerja, karena pasar tenaga kerja akan banyak berkurang diganti dengan CPS, IoS, dan IoT. Sehingga mereka harus dipersiapkan menjadi orang-orang yang smart kreatif dan inovatif, mengembangkan kolaborasi, berkomunikasi bisnis lintas etnik, budaya dan agama serta berfikir kritis untuk melahirkan ide-ide besar.

“Di samping memiliki moralitas siswa-siswa kita harus memiliki 4 kompetensi; creativity and innovation, critical thinking, communication dan collaboration. Dari sinilah harapannya mereka bisa menemukan pemikiran solutif dari maslah yang mungkin terjadi,” imbuhnya. (HA/RS)