,

Pentingnya Asesmen Dampak dan Kualitas Riset Perguruan Tinggi

Sudah menjadi hal yang biasa bagi civitas akademika di lingkungan perguruan tinggi dalam melakukan riset atau penelitian. Berbagai macam riset dikembangkan dan dilaksanakan dengan berbagai macam latar belakang dan keluaran. Terutama nilai keluaran yang akan dicapai perlunya bidikan yang sesuai dengan kebutuhan baik bagi perguruan tinggi maupun masyarakat.

Guna merespon hal tersebut, Universitas Islam Indonesia (UII) bersama Universitas Gadjah Mada (UGM) dan University of Economics in Bratislava (UEBA) menyelenggarakan konferensi untuk mendiskusikan asesmen dampak dan kualitas riset di perguruan tinggi, di Gedung Program Magister Sains dan Doktor Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM pada Rabu siang, (4/9).

Konferensi ini merupakan bagian dari aktivitas konsorsium Erasmus+ REPESEA yang merupakan bentuk kerjasama antara 11 universitas dari tujuh negara di Asia dan Eropa, dalam Erasmus+ Capacity Building in Higher Education (CHBE) dengan dukungan pendanaan dari Uni Eropa. Universitas yang terlibat dalam konsorsium ini Iima dari Eropa (Slovakia, Polandia, Perancis, dan Inggris) dan enam dari Asia (Malaysia, Thailand, dan Indonesia). Fokus konsorsium ini adalah pada peningkatan kinerja riset perguruan tinggi di Asia Tenggara.

Disampaikan Steering Comitte REPESEA UII, Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D., dampak dari sebuah riset itu menjadi sebuah produk yang seharusnya sesuai dengan tujuan awal riset. Pasalnya, dampak dari riset ada yang sifatnya cepat atau dalam waktu singkat dampaknya terasa dan satu lagi yang sifatnya bertahap.

“Kebutuhan riset di berbagai multi dispilin ilmu yang akan diterapkan di suatu daerah berbeda-beda. Terdapat aspek spasial dan aspek temporal dimana bisa saja dampak yang dihasilkan akan terasa dalam waktu dekat atau bahkan bertahap dalam beberapa tahun,” ujarnya.

Lebih lanjut, Fathul Wahid mengatakan dalam konferensi ini juga memiliki tujuan yaitu meningkatkan kapasitas peneliti di kalangan perguruan tinggi dengan membuat kerangka kerja bagaimana mengukur keberhasilan dan kebermanfaatan riset.

“Perguruan tinggi di Indonesia memulai riset dengan mengacu pada keresahan di lingkungan. Namun dalam praktek penilaian dampak riset itu sendiri kurang diperhatikan. Bisa saja pengabdian masyarakat dampaknya sama dengan riset-riset yang lain. Maka kami rasa perlu memberikan konferensi ini guna meningkatkan asesmen dampak riset dan nantinya akan sejalan dengan kualitas riset itu sendiri,” lanjut Fathul Wahid.

Sementara itu, Ketua Program Studi Magister dan Doktor Manajemen FEB UGM sekaligus Steering Comitte REPESEA UGM, Nurul Indarti, Sivilekonom, Cand Merc., Ph.D. mengatakan pada konferensi ini akan menghasilka modul pembelajaran softskill yang sudah diterapkan dalam 6 pelatihan yang diisi oleh beberapa perwakilan universitas di Eropa dan Asia.

“Hingga konferensi ini dilaksanakan, telah muncul enam modul pelatihan terkait riset yang telah dilakukan guna meningkatkan kualitas riset dan dampak yang akan ditimbulkan nantinya setelah dilakukannya riset. Ini menjadi salah satu langkah kecil kami bersama UII dalam meningkatkan kapasitas dan kualitas peneliti di Indonesia,” paparnya. (ENI/RS)