Pentingnya Menyikapi Perbedaan Budaya

Di era keterbukaan saat ini intensitas komunikasi yang melibatkan beragam latar belakang tidak dapat dihindarkan. Dorongan adaptif dalam menjaga hubungan antar budaya hingga antar negara menjadi sebuah hal yang perlu dikedepankan. Hal ini mengemuka dalam kuliah tamu bertajuk ‘Intercultural Learning and its Importance in Education’ pada Jumat (13/9) di auditorium Gedung Soekiman Wirjosandjojo, Kampus Terpadu UII.

Di Indonesia pendidikan karakter dan pendidikan budaya hanya sebagai proyek. Tapi apakah sudah kita pahami? Tanya Irid Rachman Agoes, MA. Ph.D, dosen tamu yang diundang bersama dengan Irianti Usman, Ph.D. Irid Rachman menunjukan data terbaru yang mengatakan bahwa ada 124 kepala daerah terjerat kasus korupsi sejak tahun 2004 hingga 2019. Ia menerangkan contoh autentik terkait pendidikan karakter dan budaya.

“Kita ini seperti sedang mencari orang setengah dewa. Tapi lihat yang sedang terjadi sekarang, seakan-akan KPK sedang dilemahkan,” Kata Irid setelah mengawali kuliahnya dengan memutar video singkat profil Alm. B.J. Habibie. Apakah korupsi itu budaya? Tanyanya retoris. “Bukan, tetapi jika diulang terus menerus, bukan tidak mungkin bisa menjadi budaya,” ungkap Irid.

Irid Rachman melihat bahwa misi interkultural tidak hanya mengenai dampak hubungan antar budaya atau antar negara, tetapi juga antar personal yang seharusnya dipelajari secara eksplisit dalam pendidikan di Indonesia.

Irid Rachman lalu menjelaskan 4 pilar pendidikan yang digagas United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO). Bahwa pertama perlu belajar mengetahui, kedua belajar untuk mengaplikasikannya, ketiga belajar untuk menjadi sesuatu, dan keempat belajar untuk sadar bahwa manusia hidup bersama. Dengan begitu fungsi pendidikan tinggi bisa terealisasi.

Sementara Irianti Usman lebih banyak bercerita pengalamannya selama menyelesaikan studinya di Amerika. “Saya mengalami double culture shock,” ungkap Irianti Usman setelah menceritakan dirinya belajar dan menetap di Amerika, lalu kembali ke Indonesia. Dijelaskan bahwa ia telah beradaptasi dan menemukan identitas barunya selama studi di Amerika.

“Intercultural itu tentang pertukaran perspektif yang mencakup nilai, budaya, pengetahuan, dan norma umum,” jelasnya. Dengan kata lain, kemampuan komunikasi untuk saling memahami dalam hubungan antar budaya menjadi krusial dalam proses peleburan budaya.

Kuliah tamu ini juga menghadirkan Wakil Dekan Bidang Keagamaan, Kemahasiswaan, dan Alumni Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII, Dr.Phil. Dra. Emi Zulaifah, M.Sc. Dalam sambutannya disampaikan bahwa penting bagi warga negara mengenali identitasnya melalui nilai-nilai kebangsaan sehingga dapat merespon dengan bijak perubahan-perubahan budaya maupun informasi yang sedang terjadi di dunia. (IG/RS)