, ,

Respons PTS di Masa Pandemi Covid-19

Melalui Podcast, Aufanida Ingin Mensyiarkan Ramadan

Pandemi Covid-19 telah memasuki bulan ke-5 sejak pertama kali terdeteksi di Indonesia. Akibatnya hampir seluruh sektor ikut terdampak, tak terkecuali sektor pendidikan di perguruan tinggi. Segala aktivitas baik akademik maupun non akademik secara tatap muka pun terpaksa harus ditunda atau digantikan dengan aktivitas daring. Tentu pada kenyataannya tidak ada yang menganggap ini mudah, banyak hal yang menjadi lebih kompleks dengan adanya pandemi ini.

Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D. menuturkan hingga saat ini kita tidak tahu pasti kapan wabah ini akan berakhir, oleh sebab itu kita selalu berharap yang terbaik, tetapi juga bersiap untuk yang terburuk. Hal ini dikemukakan pada sesi pertama penyelenggaraan Webinar Series: Strategi Pengelolaan Perguruan Tinggi Swasta di Masa Pandemi Covid-19, pada Senin (20/7). Kegiatan yang dihelat oleh UII bersama Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) ini dijadwalkan berlangsung hingga 22 Juli 2020, dengan satu sesi tiap harinya.

Pertumbuhan angka kasus positif Covid-19 di Indonesia belum menunjukkan penurunan yang signifikan. Bahkan, worldometers.info merilis perkembangan kasus positif di Indonesia sudah melampaui angka positif di Tiongkok yaitu sebesar 84.882 per tanggal 18 Juli 2020. Dengan pertimbangan angka positif yang belum juga menurun, menurut Fathul Wahid semua sektor memang terdampak, namun yang membedakan adalah bagaimana meresponnya. Respon akan mempengaruhi bagaimana nasib Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di masa depan.

Oleh sebab itu, PTS perlu mengambil respons yang tepat. UII di masa pandemi mengambil beberapa kebijakan untuk tetap bisa melangsungkan kegiatan perkuliahan, di antaranya dengan mensubstitusi segala aktivitas tatap muka (luring) ke aktivitas daring. Secara garis besar, UII memanfaatkan platform Google Classroom untuk memfasilitasi mahasiswa. Hal ini dipilih salah satunya dengan pertimbangan infrastruktur yang sudah tersedia dari Google, sehingga pihak kampus tidak perlu memikirkannya. Berbeda halnya dengan UNISSULA yang lebih memanfaatkan LMS, yang dilengkapi dengan fasilitas penyampaian materi, latihan terbimbing, latihan mandiri dan evaluasi, serta fasilitas pengelolaan administrasi serta manajemen.

Aktivitas pembelajaran tatap muka memang masih dirasa lebih efektif dibandingkan daring (online). Dicerminkan melalui sisi minus dari pembelajaran daring yang lebih kompleks, seperti kesenjangan akses internet di beberapa daerah, masalah kapabilitas penggunaan teknologi, berkurangnya kendali dari dosen kepada mahasiswa, hingga masalah pendidikan sikap. Selain itu, pembelajaran daring juga menyebabkan pergeseran prioritas dari yang dulunya PTS memprioritaskan kualitas akademik dan keberlangsungan organisasi, saat ini PTS lebih memprioritaskan keselamatan jiwa serta keberlangsungan akademik. Masalah kesenjangan akses internet ini turut dirasakan UNISSULA.

Disampaikan Rektor UNISSULA, Drs. Bedjo Santoso, M.T., Ph.D. melalui diagram data, persentase terbesar adalah pada masalah jaringan internet mahasiswa yang tidak memadai. Sebagai bagian dari proses pembelajaran, kuliah praktek seperti koas oleh mahasiswa kedokteran ikut menjadi aktivitas yang menuai permasalahan. Pasalnya, Bedjo Santoso menyatakan kuliah praktek sangat bergantung pada mitra kerja. Untuk itu lah, pihak kampus akan sangat mempertimbangkan kesepakatan dari ketiga belah pihak, yaitu komitmen penerapan protokol kesehatan yang ketat dari pihak mitra kerja, regulasi kampus yang berlaku di tengah pandemi, serta izin orang tua mahasiswa.

Fathul Wahid menyebutkan hingga saat ini (di UII) hanya ada 4 orang tua wali yang tidak menyetujui kegiatan praktek di rumah sakit dan memilih untuk menunda kegiatan tersebut. Respon lain datang dari disrupsi tentang ekonomi terdampak pada mahasiswa. Dalam hal ini, UII mengambil langkah meringankan beban UKT mahasiswa dari mulai yang tidak terdampak hingga terdampak besar. Bagi mahasiswa yang tidak terdampak, UII memberikan keringanan sebesar 10% secara otomatis tanpa adanya pengajuan resmi, 15% bagi mahasiswa terdampak ringan, 20% bagi mahasiswa terdampak sedang, serta 25% bagi mahasiswa terdampak berat.

UII juga tidak menutup kesempatan bagi mahasiswa yang ingin membayar penuh dengan mengirimkan surat pengajuan. Melalui beberapa disrupsi inilah, Fathul Wahid mengajak semua sivitas akademika untuk membangun perspektif bahwa ini bukanlah sekedar musibah, namun ada berkah yang tersamar dari musibah ini. Berkah ini bisa diambil apabila kita mampu melakukan evaluasi menyeluruh secara jujur serta menjadikannya sebagai lentingan ke masa depan.

Berbicara soal dampak pandemi bagi perguruan tinggi, terutama di DIY tak bisa luput dari dampak lanjutan ke sektor ekonomi. Melalui data yang dihimpun dari Bank Indonesia, pendapatan belanja mahasiswa di DIY berkontribusi pada Rp16,6 triliun per tahunnya. Data ini menunjukkan tingkat ketergantungan ekonomi yang tinggi pada mahasiswa di DIY. Untuk itu lah, segala bentuk regulasi atau kebijakan yang sudah dibangun perlu dijalankan secara kolektif, agar bisa tetap menstabilkan ekonomi sembari melakukan demokratisasi pendidikan.

Pandemi Covid-19 memang tidak memberikan pilihan yang mudah. Banyak sekali disrupsi yang dihasilkan dari sini. Beberapa kebijakan pun masih dirasa belum ‘hebat’ dalam menangani disrupsi yang ada. Namun, UII berkomitmen untuk terus memberikan yang terhebat bagi seluruh sivitas akademika. “Lawan dari hebat adalah baik. Kalau kita sudah baik kita tidak bisa hebat. Kalau mau hebat jangan merasa baik terus,” ujar Fathul Wahid. (VTR/RS)