Tepatkah Mengeluarkan SP3 dalam Kasus BLBI?

Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) mengadakan Webinar dengan tema “SP3 BLBI: Tepatkah?” pada Sabtu (10/4). Narasumber yang dihadirkan antara lain Dr. M. Arif Setiawan, S.H., M.H. (Dosen FH UII), Kurnia Ramadhana (Peneliti Indonesia Corruption Watch), dan Boyamin Saiman (Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia).

Keputusan yang diambil KPK dalam menghentikan penyidikan Kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan diberi kewenangan untuk menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang tertuang pada UU KPK hasil revisi sangat disayangkan dan dinilai sebagai “keberhasilan” oleh kalangan pihak.

Boyamin Saiman menanggapi tentang alasan KPK yang menghentikan karena tidak adanya penyelenggara negara. Alasan KPK berubah menjadi berdasar pada Pasal 55 bahwa tidak ada pelaku utama yang diproses, dengan begitu tersangka, Sjamsul Nursalim dan istrinya seharusnya hanya merupakan turut serta.

Boyamin Saiman menjelaskan bahwa dari sisi lain banyak alasan yang bisa dikemukakan, karena Indonesia adalah warisan Belanda, dengan sistem Kontinental, artinya tidak menganut sistem yurisprudensi, maka putusan seseorang tidak bisa dipakai termasuk putusan SP3. Alasan lainnya bahwa meskipun ada surat keterangan lunas tetapi proses pengajuan, proses memperoleh BLBI, penggunanaan BLBI patut diduga ada tindak pidana korupsi, sehingga harus diproses ke pengadilan, tidak boleh mengeluarkan SP3. Dengan begitu, Beliau menganggap SP3 ini telah mencederai nilai-nilai keadilan dalam masyarakat.

Narasumber selanjutnya, Kurnia Ramadhana menjelaskan materi mengenai Sengkarut SP3 KPK dalam Perkara BLBI. Karena yang menyebabkan amarah dari masyarakat bahwasanya kasus BLBI ini menimbulkan kerugian yang besar terhadap negara, kemudian tersangkanya masih buron dan tidak pernah datang ke KPK, namun KPK mengeluarkan SP3. Ia menjelaskan adanya perbandingan regulasi kelembagaan KPK dalam Pasal 40 UU 30/2002 dan Pasal 40 UU 19/2019, bahwa dalam Pasal 40 UU 30/2002 KPK itu tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi.

Sedangkan di Pasal 40 UU 19/2019, KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tipikor yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu 2 tahun. penghentian penyidikan dan penuntutan harus dilaporkan kepala Dewan Pengawas sejak dikeluarkannya keputusan SP3 atau SKPP, penghentian penyidikan dan penuntutan harus diumumkan oleh KPK kepada publik, penghentian penyidikan dan penuntutan dapat dicabut apabila ditemukan bukti baru atau berdasarkan putusan praperadilan.

Kurnia Ramadhana mengemukakan bahwa SP3 bertentangan dengan Putusan MK No. 06/PUU-I/2003, jika kemudian KPK diberikan kewenangan untuk mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan, dikhawatirkan wewenangan tersebut dapat disalahgunakan, tatkala KPK terlanjur menangani sebuah perkara, yang mana pada kemudian tidak ditemukan adanya bukti permulaan, maka MK berpendapat bahwa penuntut umum harus membawa terdakwa ke persidangan dan mengajukan tuntutan pembebasan terdakwa.

Kemudian limitasi waktu penyidikan mengecilkan pemaknaan kejahatan korupsi, pasal 40 ayat 1 uu 19/2019 KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama dua tahun. Pasal 109 ayat 2 kuhap dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti, bukan merupakan tindak pidana, dan dihentikan demi hukum. Adanya hambatan limitasi waktu penyidikan dan penuntan, bukti tersebar di banyak tempat, perhitungan kerugian keuangan negara dan melakukan serangkaian upaya paksa.

Kurnia Ramadhana memberika solusi atas permasalahan tersebut yakni masyarakat melakukan upaya hukum praperadilan karena SP3 merupakan objek pemeriksaan. Hal ini untuk membatalkan penghentian penyidikan oleh KPK terhadap Sjamsul dan Itjih Nursalim. Tatkala praperadilan mengabulkan maka KPK harus membuka kembali penyidikan atas nama tersangka. KPK melimpahkan berkas perkara ke Jaksa Pengacara Negara untuk selanjutnya dilakukan gugatan perdata ke Sjamsul dan Itjih Nursalim (Pasal 32 UU Pemberantasan Tipikor)

Sementara menurut Arif Setiawan mengenai permasalahan tepatkah KPK mengeluarkan SP3 dalam kasus Sjamsul Nursalim, dimulai adanya dugaan kekhawatiran dalam pembahasan RUU perubahan UU KPK yaitu munculnya Pasal 40 UU 19/2019. Karena semula tidak diperbolehkannya KPK untuk menghentikan penyelidikan, dan di Pasal 40 sudah diperbolehkan.

Arif Setiawan menjelaskan bahwa dalam hukum acara pidana, SP3 dalam sistem peradilan pidana adanya screening system yakni harus melihat tidak semua perkara masuk dalam sistem kemudian harus keluar dengan putusan pidana, dengan begitu maka ini karena ada yang namanya screening system.

Arif Setiawan juga menanggapi bahwa ukuran keadilan terhadap perkara ini pada rumusan Pasal 40 UU 19/2019 sebenarnya fakultatif, “dapat” berarti tidak harus, pasal ini tidak bisa dijadikan imperatif sebagai dasar KPK untuk menghentikan. Menurut Arif Setiawan bahwa dalam Pasal 40 justru kalo dibuat kekhawatiran pada pertimbangan oleh MK itu karena ukurannya untuk menghentikan adalah perkara waktu. Namun seharusnya ukurannya bukan pada waktu tapi di KUHAP dengan 3 alasan.

Arif Setiawan memberikan solusi, bahwa dalam permasalahan ini hanya dengan melakukan praperadilan, karena KPK melihat Pasal 40 sebagai sesuatu yang bisa digunakan, meskipun sangat disayangkan atau dengan mendorong dugaan tersangka untuk bukti permulaan. Dengan begitu, sccreeningn system mendukung adanya SP3? Itu karena ada institusi untuk mengawasi praperadilan, jadi dalam sepanjang praperadilan itu bisa berfungsi efektif untuk mengawasi tindakan screening system maka prapeadilan bisa diharapkan. Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan terhadap munculnya kewenangan penghentian perkara tindak pidana korupsi. (FHC/RS)