,

UII Jalin Kerjasama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal

Kebutuhan akan produk halal di Indonesia semakin meningkat. Sayangnya, tren positif ini belum direspon para pelaku usaha Muslim secara maksimal. Salah satu contohnya, mereka belum peduli dengan label halal pada produknya. Beberapa faktor yang mempengaruhi antara lain proses dan biaya sertifikasi yang akan berpengaruh terhadap ongkos produksi. Hal inilah yang kemudian mendorong Direktorat Pembinaan dan Pengembangan Agama Islam (DPPAI) UII mengadakan seminar bertajuk Urgensi Sertifikasi Produk Halal sebagai Implementasi dari Undang-Undang nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal”.

Acara berlangsung pada Selasa (10/12) di Ruang Audio Visual Perpustakaan Pusat UII. Di saat yang sama juga diadakan penandatanganan MoU antara Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama yang diwakili oleh Kepala BPJPH, Prof. Ir. Sukoso, M.Sc., Ph.D dan Yayasan Badan Wakaf (YBW) UII yang diwakili oleh Ketua YBW UII, Drs. Suwarsono Muhammad, MA.

Pemateri seminar, Dr. Budi Rukhiatudin SH, M.Hum menggarisbawahi peran negara dan tanggung jawab pelaku usaha dalam menjamin produk halal. Budi menjelaskan bahwa negara harus melindungi konsumen muslim guna mewujudkan tujuan maqasid asy-syariah untuk menjaga agama, jiwa, akal, harta dan keturunan. Apalagi diterima tidaknya ibadah seseorang sangat ditentukan dengan pola konsumsinya, apakah diperoleh dengan cara yang halal atau yang haram.

Ia juga mengapresiasi kebijakan pemerintah untuk melindungi konsumen muslim melalui UU no. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU no. 18 tahun 2012 tentang Pangan, dan UU no. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.

“Menurut pasal 25 UU JPH pelaku usaha yang telah memperoleh sertifikat halal wajib untuk mencantumkan label halal terhadap produk yang telah mendapat sertifikasi halal, menjaga kehalalan produk, memisahkan lokasi, tempat dan penyembelihan, alat pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan dan penyajian antara produk halal dan tidak halal, memperbarui sertifikat halal jika masa berlaku sertifikat halal berakhir dan melaporkan perubahan komposisi bahan kepada BPJPH”, jelasnya.

Sedangkan untuk pelaku usaha yang memproduksi produk dari bahan yang berasal dari bahan yang diharamkan wajib mencantumkan keterangan tidak halal pada produk yang diatur dalam pasal 26 UU JPH.

Sementara pemateri lainnya, Prof. Dr. Makhrus Munajat, M.Hum menyampaikan peran MUI dalam mengimplementasikan UU nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Dijelaskan bahwa kedudukan fatwa MUI merupakan pendapat hukum atau legal opinion yang boleh diikuti maupun tidak. Fatwa bisa mengikat kalau sudah diberi bentuk hukum tertentu oleh lembaga yang berwenang misalnya dijadikan undang-undang atau peraturan daerah sehingga menjadi hukum positif.

Mengenai legalitas fatwa MUI pasca UII nomor 33 tahun 2014, Presiden Joko Widodo telah menerbitkan peraturan pemerintah (PP) No. 31 tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan dari UU nomor 3 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Undang-undang ini mengamanatkan terhitung 17 Oktober 2019 semua produk wajib bersertifikat halal.

Perlu diketahui bahwa Fatwa yang dikeluarkan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia merupakan hukum positif yang mengikat. Sebab keberadaannya dilegitimasi lewat peraturan perundang-undangan oleh lembaga pemerintah sehingga harus dipatuhi pelaku ekonomi syariah.

Di sesi ketiga, Prof. Ir. Sukoso menyebut tugas penting lembaga yang dipimpinnya adalah untuk memastikan tercapainya wajib bersertifikat halal bagi produk yang masuk dan beredar di Indonesia.

Dasar hukum lahirnya BPJPH adalah terbitnya Peraturan Presiden No. 83 tahun 2015 tentang Kementrian Agama, pasal 45 sampai dengan 48 tentang BPJPH, kemudian terbitnya Peraturan Menteri Agama no. 42 tahun 2016 yang memuat struktur BPJPH dan amanat UU no. 33 tahun 2014 tentang JPH. (DD/ESP)