,

UII Kukuhkan Guru Besar Bidang Ilmu Hukum dan Ilmu Arsitektur

Dosen dari Program Studi (Prodi) Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Prof. Dra. Sri Wartini, S.H., M.H., Ph.D., dan Prodi Arsitektur UII, Prof. Dr.-Ing. Ir. Ilya Fadjar Maharika, MA., IAI., dikukuhkan sebagai profesor dalam Rapat Terbuka Senat Pidato Pengukuhan Profesor, pada Senin (4/3), di Auditorium Prof. Abdul Kahar Mudzakkir, Kampus Terpadu UII.

Acara pengukuhan diawali dengan paparan dari Prof. Sri Wartini. Pada pidato yang berjudul “Analisis Hukum Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim untuk Mencapai Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia Berdasarkan Paris Agreement” tersebut, Prof. Sri menerangkan isu krisis iklim yang terjadi akibat pola pembangunan yang berpusat pada kepentingan manusia atau antroposentris.

Dampak negatif perubahan iklim memang terjadi di berbagai negara, baik negara di Global Utara maupun Global Selatan. Namun, negara di Global Selatan mengalami dampak yang lebih serius, termasuk Indonesia. Perubahan iklim pun membawa kerentanan sosial-ekonomi ke dalam kehidupan, seperti dalam pertanian, kesehatan, akses terhadap air minum, hingga ancaman terhadap habitat pesisir. Menurutnya, kerja sama internasional menjadi penting untuk menekan laju perubahan iklim.

Oleh karenanya, perubahan iklim pun justru menimbulkan ketidakadilan terhadap sebagian dari masyarakat termiskin di dunia dan mereka akan menjadi pihak yang paling terkena dampaknya. Fenomena ini tidak sesuai dengan prinsip keadilan antar generasi (intra generational equity).

“Apakah berbagai kesepakatan internasional tersebut akan mampu untuk mengatasi dampak negatif perubahan iklim? Tentu saja hal ini akan tergantung pada political will masing-masing negara untuk mengimplementasikan ketentuan yang dimuat dalam berbagai kesepakatan tersebut dengan penuh tanggung jawab,” terangnya.

Pelbagai peluang dan upaya yang dilakukan Indonesia, menurut Prof. Sri Wartini, antara lain meliputi pembentukan kelembagaan, seperti bidang khusus di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Terdapat pula Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dapat berpartisipasi dalam melakukan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim melalui pelaksanaan fungsi anggaran, pengawasan, dan legislasi.

Dengan kekayaan sumber daya alam (SDA), Indonesia memiliki kekuatan pendorong dalam revolusi Net Zero Emission (NZE) dengan meningkatkan investasi hijau. Selain itu, Indonesia juga dapat lebih berkomitmen untuk merehabilitasi hutan mangrove, merumuskan kebijakan pajak karbon, hingga mengurangi emisi melalui sektor kehutanan (Forestry and Other Land Use atau FOLU).

“Program ini menggunakan empat strategi utama, yaitu menghindari deforestasi; konservasi dan pengelolaan hutan lestari; perlindungan dan restorasi lahan gambut; serta peningkatan serapan karbon. Sektor FOLU memiliki peran besar dalam upaya pencapaian target NZE nasional, dari net emitor menjadi penyerap bersih GRK (gas rumah kaca),” terangnya..

Kesadaran Antroposen pada Arsitektur Indonesia

Dalam pembahasan Prof. Ilya, arsitektur disandingkan dengan Antroposen yang merupakan skala geologis baru. Diusulkan tahun 2000 oleh Paul Crutzen, seorang penerima Nobel bidang kimia, istilah ini dipakai sebagai penanda bahwa Bumi telah berada pada tahapan kritis karena nasibnya sangat ditentukan oleh perilaku manusia.

Secara leksikal, kata Anthropocene berasal dari bahasa Yunani antropo, yang berarti manusia, dan cene yang bermakna ‘baru diciptakan.’ Berdasarkan konsep ini, manusia telah menjadi faktor yang dominan dan penentu masa depan sejarah Bumi. Bidang seperti biosfer (kehidupan), atmosfer, hingga kriosfer (es) sangat bergantung pada tindakan kolektif manusia.

Arsitektur dan dunia konstruksi menjadi salah satu sektor yang paling bertanggung jawab. Menurut Prof. Ilya, ini adalah konsep yang memposisikan arsitektur sebagai aktor geologis yang harus memikirkan perannya sebagai pengubah atmosfer, rupa bumi, dan stratigrafinya. Persoalan utama yang dihadapi adalah cara pandang penyatuan antara manusia dan alam sebagai usaha membangun harmoni antarkeduanya.

“Kita belum mampu merehabilitasi alam dan mengubah perilaku manusia agar tidak merusaknya. Namun ada secercah harapan tertera pada dokumentasi ini: arsitektur dapat menemukan kapasitas uniknya untuk mengubah sistem dunia (world system) saat ini dan masa depan dengan mengembangkan keintiman manusia dengan alam melalui kerja sama multidisiplin, multiskala, dan multipusat. Arsitek, urbanis, insinyur, sosiolog, dan filsuf harus bekerja sama dalam proses berpikir ini,” jelasnya.

Menurut Prof. Ilya, konsep Arsitektur Antroposen dihadirkan sebagai wacana untuk mendorong gagasan keilmuan, pendidikan, dan praktik berarsitektur yang lebih radikal yang ditujukan untuk penyelamatan bumi. Perubahan iklim, pemanasan global, sebaran plastik mikro, dan ancaman ketahanan pangan dan air telah menjadi medan perang baru yang berpotensi menciptakan penderitaan bagi manusia, bahkan kepunahan.

Lebih lanjut, pidato pengukuhan tersebut ditujukan untuk melantangkan manifesto Arsitektur Antroposen serta kontekstualisasinya bagi Indonesia. Bagi Prof. Ilya, paparannya menjadi ajakan untuk membicarakan isu tersebut secara serius, baik di ranah paradigma, praktik arsitektural dan konstruksi pada umumnya, maupun pendidikan arsitektur serta kerjasama antardisiplin bersama bidang ilmu lain, terutama politik.

“Masa depan planet bumi yang menuju kerusakan tidak perlu diperdebatkan lagi karena fakta telah kita rasakan bersama. Tidak ada yang imun. Tidak ada jalan lain bagi kita selain  menyatukan visi penyelamatan bumi, menggali seluruh daya pikir, rekayasa dan teknologi untuk kepentingan tersebut. Keputusan politik pun harus mampu mendorong solusi-solusi pembangunan yang berpihak ke alam dan meninggalkan retorika menyesatkan. Kita perlu memastikan Homo sapiens dan spesies lain di muka bumi sejahtera melalui penyelamatan bumi,” jelasnya. (JRM/RS)