Waspadai Ciri Pelaku Penyimpangan Seksual Terhadap Anak

Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Srikandi Universitas Islam Indonesia (UII) mengadakan live instagram terkait kekerasan seksual pada anak bertemakan “Child Grooming Awareness” pada Jumat (01/07). Acara tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan faktor dan dampak psikologis yang ditimbulkan dari Child Grooming.

Fitri Ayu Kusumaningrum, S. Psi., M.A. selaku Dosen Psikologi UII sekaligus seorang pemerhati Pendidikan, Psikologi Islam, dan Psikopatologi Perkembangan menyatakan terdapat 2 cara predator mencari korbannya, yaitu selecting dan accessing. 

Selecting dilakukan dengan melakukan seleksi pada korbannya berdasarkan daya tarik fisik. Kemudahan akses biasanya terjadi pada anak-anak yang tidak mendapatkan pengawasan cukup dari orang tua. Sedangkan accessing dilakukan dengan pelaku mencari akses  dengan berbagai cara atau metode baik secara offline maupun online untuk bisa dekat dengan anak-anak.

“Terutama pada anak yang tidak memiliki figur ayah biasanya memiliki kepercayaan diri yang rendah. Dan akan sangat rentan menjadi korban karena mudah diakses untuk mendekati korbannya dengan menemani anak, menjaga anak, dan mengajak anak bermain. Child Grooming juga terjadi secara online dengan permainan dan ataupun aplikasi pertemanan online, namun juga dapat ditembus pada dunia nyata”, jelasnya.

Lebih lanjut, ia juga menjelaskan setelah mendapatkan akses pada anak, tahapan selanjutnya yaitu membangun kepercayaan dan ikatan emosional dengan korbannya. Dengan menemani anak tersebut bermain, hingga saling berbagi rahasia berdua. Sehingga anak-anak mulai percaya dan mulai termanipulasi pelaku. Tahapan selanjutnya lebih dalam dengan menjalankan aksinya akan meminta korban untuk merahasiakan perbuatannya. 

“Pada tahapan ini pelaku akan memancing korban dengan hal-hal berbau seksual agar korban tertarik untuk memulai hubungan seksual dengan pelaku ”, jelasnya.

Fitri memberikan saran terkait mencegah agar anak tidak menjadi korban. Salah satunya dengan memberikan edukasi agar anak tahu perilaku yang dapat membahayakan dirinya. 

“Perlu adanya pendampingan orang tua, salah satunya dengan mengajarkan pada anak bahwa barang dan pemberian orang lain juga harus diceritakan pada orang tua. Kita juga bisa membuat role play untuk mengajarkan pemikiran dan tindakan melakukan sesuatu perlu berpikir panjang dulu sebelum mengambil keputusan” singkatnya.

Selain itu, Fitri juga menjelaskan bahwa child grooming bisa dilakukan oleh berbagai bentuk dan siapa saja, bahkan orang terdekat pada anak terutama pada keluarga. Pelaku memiliki kelainan seksual, salah satunya pedofil. Pedofilia merupakan penyakit gangguan seksual yakni memiliki ketertarikan seksual terhadap anak-anak di bawah 13 tahun.

“Penyimpangan seksual seperti pedofilia dapat disembuhkan dengan psikoterapi seperti terapi, hingga pendidikan seks. Pengobatan juga dalam bentuk obat-obatan untuk mengubah dorongan seksual penderita”, jelasnya.

Terakhir, Fitri menjelaskan pentingnya edukasi kejahatan seksual pada anak. Dia menjelaskan bahwa mulai dari umur 12 tahun merupakan umur yang baik untuk menjelaskan edukasi seksual pada anak. (PN/ESP)