Adaptasi Masyarakat Menghadapi New Normal

Berbagai reaksi ditunjukkan masyarakat menuju adaptasi kebiasaan baru. Aturan sosial dan norma bermuamalah menjadi salah satu aspek utama. Dalam keseharian, intensitas interaksi umat Islam secara fisik sangatlah kuat, baik interaksi langsung antar individu dalam fikih ibadah maupun muamalah. Paham ini lebih diperkuat lagi dengan budaya khas Indonesia yang mengutamakan kebersamaan.

Merespon hal tersebut, Jurusan Studi Islam Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas islam Indonesia (FIAI UII) menyelenggarakan webinar bertajuk Respon keluarga Muslim di Era Adaptasi Kebiasaan Baru, pada Senin (7/9) secara virtual. Webinar menghadirkan narasumber Dr. Drs. Yusdani, M.Ag., Dr. Drs. Sofwan Jannah, M.Ag., Dr. Drs. Muslich Ks, M.Ag., Dr. Muhammad Roy Purwanto, M.Ag., keempatnya merupakan dosen Program Studi Ahwal Syakhshiyah FIAI UII.

Yusdani mengatakan bahwa Hak Asasi Manusia (HAM) adalah suatu etika global atau etika universal, yang merupakan suatu esensi dan apresiasi bagi umat manusia dari latar belakang apapun dan siapapun. Dengan memahami HAM sebagai etika global harapannya dapat menjawab pertanyaan tentang kontribusi Islam dan fikih untuk mengembangkan nalar tentang rumah tangga yang ramah dengan hak. Ia berpendapat bahwa idikator yang paling kuat dalam berumah tangga adalah persoalan kesetaraan gender.

Selain itu, ia juga menyebutkan tiga budaya yang ada di dalam keluarga, pertama budaya parental yang mana peran laki-laki dan perempuan dalam keluarga kedudukannya setara. Kedua, budaya patrilineal yang mana pengaruh dan kendala kata putusannya berada di tangan laka-laki. Ketiga, matrilenial yang mana peran perempuan sangat berpengaruh dalam budaya tersebut. Dalam membangun keluarga tidak semata-mata dengan rumus-rumus simple, tapi ada fator budaya dan faktor tafsir agama, dan idealitasnya dalam membangun keluarga adalah kesetaraan baik peran laki-laki maupun perempuan. “Idealitasnya relasi dalam keluarga itu harusnya setara antar laki-laki dan perempuan. Apapun putusannya, dengan pemilihan yang demokratis, dan dijalankan dengan model musyawarah tidak ada paksa,” jelasnya.

Sofwan Jannah memaparkan tentang Sosialisasi Arah Kiblat Masjid di Era Adaptasi Baru. Kesulitan yang sering dihadapi oleh masyarakat dalam menentukan arah kiblat adalah karena jauhnya jarak lokasinya dengan kiblat (baitullah). Menentukan arah kiblat saat ini dapat diperkirakan langsung dengan melihat bayangan matahari, bayangan matahari pada hari tertentu dan jam tertentu menunjukkan langsung ke arah kiblat. Hal ini bisa dimanfaatkan masyarakat untuk menentukan arah kiblat, dan menentukannya dengan bayangan matahari dengan mendirikan tongkat secara lurus, cara ini ia jelaskan dari hitungan koordinat dari suatu kota tertentu.

Sementara Muslich dalam pemaparannya menyampaikan masyarakat muslim mampu unggul dalam membentuk suatu budaya dengan nilai religiusitasnya yang tinggi dan sudah berkembang dalam masyarakat. Nilai ini dipandang penting, karena mampu memberi kontribusi prilaku sosial dan relasi sosial dalam tatanan masyarakat. hal inilah yang mempengaruhi dan berdampak pada prilaku individual, keluarga dan masyarakat. Dalam menyikapi pandemi tidak perlu adanya kepanikan yang berlebih, karena tatanan masyarakat dibentuk dari adanya faktor nilai, dan faktor nilai itulah yang memberikan kekuatan (power) dalam menyikapi persoalan. “Manusia sering tersituasikan, dan hanya dapat dipahami dalam situasinya sehingga masyarakat itu bisa menerima realita kehidupan seperti sekarang ini,” tuturnya.

Ia juga mengatakan dalam menghadapi persoalan, manusia dituntut untuk beradaptasi. Penyesuaian yang dilakukan manusia dalam menghadapi persoalan akan menciptakan suatu pemecahan problem sosial. Selain itu juga perlu adanya pendekatan budaya, pendekatan ini mampu membentuk tatanan masyarakat dalam suatu situasi dengan nilai- nilai yang kuat dari relasi budaya. Maka dari itu, kebijakan apapun yang diambil dalam menentukan suatu kebijakan tidak terlepas dari aspek nilai budaya yang hidup dan berkembang di dalam suatu negara.

Berikutnya materi tentang pencegahan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di era adaptasi kebiasaan baru yang disampaikan oleh Muhammad Roy Purwanto. Ia menyatakan peningkatan kekerasan dalam rumah tangga, hal ini dilansir dari data Komnas perempuan selama bulan April – Mei 2020 dengan presentase 80 persen yang diambil dari 2.225 responden dengan berbagai macam sebab baik secara psikologi maupun ekonomi. Tak hanya dilakukan oleh laki-laki, perempuan juga menjadi pelaku KDRT. Ia juga menghimbau untuk mencegah tindakan KDRT, sehingga kebahagiaan dalam keluarga terbangun. “Dalam membangun rumah tangga diusahakan agar tidak terjadi KDRT, jika misalnya ada hal-hal yang tidak disukai, hal itu bisa dikomunikasikan, bisa jadi ada di dalam hal yang tidak kita sukai,” ucapnya. (HA/RS)