,

Dialog Kebangsaan, Ikhtiar UII Dalam Merawat Tenun Kebangsaan

Dialog Kebangsaan’Indonesia Merdeka, Indonesia Beradab’ yang digagas oleh Universitas Islam Indonesia (UII) menuai respon positif dari kalangan akademisi dan masyarakat umum. Hal ini tampak dari penuhnya Gedung Auditorium Prof. Dr Abdulkahar Mudzakir pada Rabu (5/9), sebagai tempat penyelenggaraan acara yang dapat menampung lebih dari seribu peserta.

Antusiasme tersebut dinilai tidak lepas dari relevannya tema yang diusung dengan kondisi saat ini. Selain itu juga para pembicara yang hadir yakni Gubernur D.I. Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X, Pakar Hukum Pidana Dr. Artidjo Alkostar, S.H., LLM., Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD., S.H., S.U., Cendikiawan Muslim, Dr. Azyumardi Azra, MA, CBE serta Budayawan dan Penyair, D. Zawawi Imron.

Jalannya dialog yang dipandu oleh Direktur CNN Indonesia, Alfito Deannova terbagi dalam dua sesi dengan dua tema. Sesi pertama mengusung tema Penegakan Hukum Kunci Merangkai Kebhinekaan dan sesi kedua dengan tema Nilai Religi Sebagai Penggerak Kemajuan Bangsa.

Rektor UII Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D. dalam sambutannya menuturkan dialog kebangsaan merupakan ikhtiar UII untuk ikut berandil dalam merawat tenun kebangsaan. Menurutnya, UII dan Republik ini lahir dari rahim yang sama. Indonesia dalam nama UII, tidak hanya berarti tempat, tetapi juga sifat. Begitu juga Islam dalam I yang pertama, tidak hanya bermakna penciri, tetapi juga sifat.

“Karenanya, saya sering memanjangkan UII sebagai ‘Universitas Islami Indonesiawi’, persis dengan artinya dalam bahasa Arab, Al-Jami’ah Al-Islamiyyah Al-Indunisiyyah, yang kedua sifatnya ditandai dengan ya’ nisbah,” tuturnya.

Disampaikan Fathul Wahid, saat ini banyak muncul anasir anti-kedamaian yang mengancam tenun kebangsaan. Anasir anti-kedamaian dapat mewujud dalam banyak bentuk. Seperti korupsi yang tiada henti, penegakan hukum yang masih tidak pasti, kepentingan bangsa yang terbeli, dan menjamurnya ujaran kebencian yang memicu polarisasi.

“Saya yakin bahwa praktik-praktik ini sangat jauh dari keadaban. Usia republik yang sudah 73 tahun nampaknya tidak serta merta mematangkan keadaban bangsa ini. Karena itulah, dialog kebangsaan kali ini mengambil tajuk Indonesia Merdeka, Indonesia Beradab,” paparnya di hadapan pembicara dan peserta.

Menurut Fathul Wahid keragaman adalah keniscayaan. Keragaman adalah fakta sosial di Indonesia yang tak terbantah. “Kita tidak mungkin lari darinya. Para pendiri bangsa telah memberikan rumus besarnya ‘bhinneka tunggal ika’. Kita memang berbeda, tetapi kita satu bangsa,” ujarnya.

Disampaikan Fathul Wahid, di era paskakebenaran (post truth) yang lebih mengedepankan emosi dibanding fakta, mengembangkan lensa kolektif yang dapat menerima keragaman dengan ikhlas, menjadi sangat menantang. Dua hal yang berbeda, sudah seharusnya tidak selalu dianggap berdiri berseberangan secara diametral.

“Dalam banyak kasus, yang berbeda bisa saling melengkapi ketika nilai-nilai abadi, seperti kejujuran, tidak dilanggar. Semangat ko-eksistensi perlu dijaga dan dipupuk. Mozaik yang indah justru tersusun dari warna yang beragam dan bentuk yang tidak kongruen,” paparnya.