,

Esensi Puasa dan Idul Fitri

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Prof. Dr. H. Mohammad Mahfud Mahmodin, S.H., S.U., M.I.P menyampaikan ceramah tentang esensi pelaksanaan puasa, Idul fitri dan Laku Sing Papat Sunan Bonang di sela shalat Isya dan Tarawih pada Senin (12/3). Kajian beliau bertepatan dengan malam kedua tarawih dan dilaksanakan di Masjid Ulil Albab Kampus Terpadu UII. Rektor, pejabat kampus, mahasiswa hingga masyarakat umum yang hadir menyimak dengan saksama.

“Berpuasa itu laallakum tattaquun, agar kalian semua itu bisa, ya jadi tujuan utama, kalau menurut perintah itu bertakwa. Kalau kita sudah bertakwa, ya meningkatkan ketakwaan itu agar benar-benar bertakwa. Takwa itu artinya sendiri sederhana, takwa artinya berhati-hati.” Tegas Prof. Mahfud setelah sebelumnya menjelaskan sebab musabab perbedaan pandangan awal Bulan Ramadan.

Prof. Mahfud menjelaskan, bahwa setiap seseorang melangkah, ia akan dihadapkan oleh dua pilihan, kearah kanan atau kiri. Ini menjadi representasi bahwa seseorang akan terus dihadapi oleh pilihan untuk berbuat baik atau buruk. Menurutnya, ketakwaan dan kehati-hatian akan selalu menuntun seseorang untuk mengerjakan perbuatan baik yang diperintahkan Allah, dan meninggalkan perbuatan buruk yang diharamkan oleh-Nya.

Ujung dari ketakwaan umat muslim di Bulan Ramadan adalah perayaan Idul Fitri. “Idul Fitri itu orang kembali ke kesucian, kesuciannya itu apa? karena orang lahir pada dasarnya adalah suci bersih, seperti meja tabula rasa.” Jelas Prof. Mahfud. Ia juga mengutip hadits Nabi saw. yang mengatakan bahwa peran keluarga dan lingkungan buruklah yang mengakibatkan seseorang jauh dari kesucian itu sendiri.

“Jadi yang berhak atas Hari Raya itu, ini setelah berpuasa Syawal itu adalah mereka yang mensucikan dirinya kembali sehingga disebut mensucikan dirinya itu puasanya bener, bertaubat kepada Allah, banyak membaca Al-Qur’an, I’tikaf,” tutur Prof. Mahfud.

Selanjutnya, Prof. Mahfud membahas tentang budaya khas Indonesia untuk merayakan sebulan penuh berpuasa yaitu lebaran. Tradisi dan kata ‘Lebaran’ pertama kali diperkenalkan oleh Kyai Maqdum atau lebih dikenal dengan Sunan Bonang. Diceritakan ketika berakhirnya bulan Ramadhan, Kyai Maqdum berkata kepada para santrinya, “hai santri-santriku sekarang kita sudah berpuasa, Insyaallah dosa-dosa kita sekarang sudah lebur (Habis), hari ini puasa kita sudah lebar (selesai), pahalanya luber (penuh), wajahnya labur (cerah).”

Tanpa mendapatkan Laku Sing Papat (lebur-lebar-luber-labur) tersebut, Prof. Mahfud menganggap seseorang telah gagal menjalankan ibadah puasanya, ia juga tidak berhak untuk merayakan Idul Fitri. Untuk itu, beliau menekankan pentingnya meminta maaf di hari raya Idul Fitri agar kita tidak menjadi orang yang Muflis.

“Orang yang Muflis (bangkrut) itu adalah orang yang ketika hidup sholatnya bagus, puasanya bagus, zakatnya bagus, amalnya bagus, banyak mendirikan masjid dimana-mana tetapi ketika dia mati dia lupa untuk meminta maaf kepada saudaranya,” terang Prof. Mahfud.

Sebelum menutup ceramahnya, Prof. Mahfud mengingatkan kembali betapa pentingnya bertakwa dengan penuh di bulan suci Ramadan agar mendapat Laku Sing Papat, dan membiasakan diri untuk meminta maaf kepada sesama, tidak hanya dihari raya Idul Fitri, akan tetapi kapanpun dan kepada siapapun. (MNDH/RS)