Dialog kebangsaan ini merupakan ungkapan syukur kita semuanya sebagai bangsa Indonesia yang tidak pernah kalis dari nikmat Allah. Kita semua insyaallah sepakat, banyak kemajuan yang sudah didokumentasikan oleh bangsa Indonesia sejak kemerdekaan.

Hanya saja, seringkali kultur saling mengapresiasi yang belum terbentuk menjadikan banyak kebaikan dan capaian itu tertutup oleh sikap kufur nikmat dan bahkan arogansi kelompok.

Ikhtiar ini juga merupakan bentuk optimisme sebagai anak bangsa yang percaya bahwa bangsa Indonesia akan terus ada. Kalau pun Indonesia harus bubar, meminjam istilah Allahuyarham Buya Ahmad Syafi’i Ma’arif, hanya satu hari sebelum kiamat.

Dialog kebangsaan dalam rangkaian peringatan milad UII yang ke-79 ini terselenggara atas kerja bareng antara UII dan Republika. Untuk itu, kami mengucapkan terima kasih kepada Republika yang telah berkenan bersama-sama melantangkan pesan optimisme.

Dialog kebangsaan juga bisa kita lihat sebagai wujud kerinduan anak bangsa yang memimpin Indonesia yang lebih baik. Sebentar lagi, kita sebagai bangsa, akan mensyukuri nikmat kemerdekaan yang ke-77. Ini adalah momentum yang tepat, untuk melakukan refleksi kolektif atas perjalanan bangsa dan negara sejak merdeka. Beragam pertanyaan bisa kita ajukan.

Apakah misalnya, bangsa Indonesia sudah mencapai tujuannya seperti yang dicita-citakan oleh pada penggagas dan pendirinya, the founding fathers and mothers, al-sabiqun al-awwalun?

Beragam jawaban bisa kita kumpulkan.

Rasa syukur, optimisme, dan kerinduan itu tidak lantas menjadikan lupa, bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan, secara kolektif. Tidak hanya oleh pemerintah, tetapi juga membutuhkan kontribusi seluruh anak bangsa.

 

Pertanyaan reflektif

Saya berharap, dialog kebangsaan ini bisa melantangkan pesan-pesan reflektif kepada khalayak luas. Kiat bisa menggunakan beragam bingkai dalam melakukan refleksi.

Salah satunya Pancasila, yang merupakan anugerah luar biasa yang telah menjadi pengikat bangsa Indonesia.

Bagi saya, sila dalam Pancasila dalam menjadi obor penunjuk jalan bersama. Dua sila pertama bisa kita anggap sebagai titik pijak, yaitu nilai-nilai ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan. Ini adalah nilai pijakan abadi yang valid untuk setiap konteks.

Dua sila selanjutnya, persatuan dan permusyawaratan atau demokrasi, menjadi prasyarat. Sejarah umat manusia mencatat, tidak ada satu bangsa pun di muka bumi ini yang berhasil maju tanpa persatuan dan gerak bersama.

Satu sila terakhir, sebagai tujuan utama berbangsa dan bernegara, keadilan sosial. Ini ada perkerjaan rumah berat, tetapi bukan berarti tak mungkin diwujudkan.

Kita selanjutnya bisa merumuskan beragam pertanyaan untuk dijawab. Terkait dengan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusian, kita bisa tanyakan:

Apakah semua anak bangsa sudah dapat menjalankan ajaran agamanya secara aman dan nyaman, termasuk minoritas? Apakah para umat beragama sudah saling menghargai dengan tulus sepenuh hati, bukan berbeda antara di forum publik dan ruang privat?

Apakah penghargaan kepada liyan dan nilai-nilai kemanusiaan sudah secara konsisten diterapkan oleh anak bangsa? Apakah kesetaraan di depan hukum sudah menemukan buktinya?

Terkait dengan persatuan dan demokrasi, pertanyaan bisa kita lanjutkan.

Apakah semua anak bangsa sudah sadar dan mengupayakan dengan serius untuk menjaga persatuan Indonesia? Ataukah malah sebaliknya, kepentingan sesaat dan kadang sesat, menjadikan keterbelahan yang semakin menganga?

Apakah suara anak bangsa secara tulus dan istikamah diberi ruang dan didengarkan dalam pengambilan kebijakan publik? Apakah koreksi dari publik dirayakan sebagai bentuk kecintaan kepada bangsa dan negara? Atau para wakil rakyat telah betul-betul menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi atau golongan?

Kita pun bisa lanjutkan dengan beberapa contoh pertanyaan lain, terkait dengan tujuan utama berbangsa.

Apakah keadilan sosial yang kita mimpikan bersama sudah terwujud di Bumi Pertiwi? Apakah ketimpangan yang ada sudah secara serius diupayakan untuk dikurangi? Apakah alam yang menjadi penopang kehidupan manusia dalam jangka panjang sudah mendapatkan perhatian yang sepatutnya?

 

Kesadaran kolektif

Tulisan ringkas ini lebih banyak berisi daftar pertanyaan. Dan, daftar pertanyaan tersebut, tentu, bisa kita perpanjang. Keteguhan kita dalam memegang nilai dan sensitivitas kita alam membaca keadaan akan menjadi basis membuat pertanyaan tambahan.

Selain saya menitipkan ini menjadi pekerjaan rumah bersama, di kesempatan dialog kebangsaan yang baik ini, kita berharap, jawaban dari beberapa pertanyaan bisa kita dengar dan saya berharap, hal itu akan memantik kesadaran kolektif kita sebagai anak bangsa.

Saya berharap, melalui tema yang diusung imaji satu abad Indonesia, dialog kebangsaan ini akan mengingatkan kita untuk tak lelah mencintai Indonesia, mengumpulkan imaji kolektif masa depan Indonesia, melantangkan pesan optimisme, dan sekaligus menggerakkan kita semua untuk berkontribusi untuk Indonesia yang menghormati nilai-nilai ketuhanan, menjaga nilai-nilai kemanusiaan, mengupayakan persatuan, merayakan demokrasi yang bermartabat, untuk menuju keadilan sosial bagi semua.

Izinkan saya mengucapkan terima kasih kepada Prof. Mahfud MD yang berkenan memberikan pidato kunci dan pengantar dialog, Gus Yahya Cholil Staquf dan Prof. Musa Asy’arie yang berkenan untuk berbagai perspektif dan inspirasi, Pak Irfan yang berkenan memimpin dialog, Republika untuk kerja sama yang baik selama ini, dan semua panitia yang meyiapkan acara ini dalam waktu yang sangat singkat, dan hadirin sekalian.

Semoga dialog kebangsaan ini membawa keberkahan.

Sambutan pada pembukaan Dialog Kebangsaan “Imaji Satu Abad Indonesia”, yang diselenggarakan oleh Universitas Islam Indonesia pada 26 Juli 2022.

Universitas Islam Indonesia (UII) bekerja sama dengan Republika menggelar dialog kebangsaan bertemakan Imaji Satu Abad Indonesia pada Selasa (26/7) di Auditorium Prof. K.H. Abdulkahar Mudzakkir Kampus Terpadu UII. Bekerjasama dengan Republika, dialog kebangsaan menghadirkan narasumber, Prof. Dr. Mohammad Mahfud M.D. (‎Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Indonesia RI), K.H. Yahya Cholil Staquf (Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama), dan Prof. Musa Asy’arie (Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2010-2014).

Read more

Edu Talk Series UII menggelar webinar dengan topik yang hangat di tengah masyarakat mengenai media sosial pada Minggu (24/7). Webinar bertema “Muda Berkarya Lewat Social Media” ini menghadirkan Aulion, seorang Creative Content Creator yang namanya sudah tak asing di kalangan pengguna media sosial. Ia membagikan tips terkait pembuatan konten, menurut Aulion ide-ide sederhana dan abstrak jangan ragu untuk dikembangkan. Bisa melalui diskusi dengan orang lain atau lewat sosial media.

“Riset adalah segalanya,” jelasnya mengawali webinar. Dia menjelaskan bahwa dalam membuat konten adalah fakta itu sendiri. Maka sebelum mengunggah sebuah konten maka penting untuk mencari tahu kebenarannya karena ada tanggung jawab di setiap konten yang dibuat.

Read more

Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (FK UII) menyelenggarakan Seminar Nasional Revolusi Taqwa 7.0 vs Revolusi Society 5.0 dalam Rangka Menyambut Tahun Baru Islam 1444 H pada Minggu (24/07).Acara yang digelar secara daring melalui zoom meeting dan disiarkan di kanal YouTube ini mengundang berbagai ekspert keilmuan di bidang agama dan kesehatan.

Read more

Universitas Islam Indonesia (UII) yang saat ini mengemban amanah sebagai Ketua Pengurus Harian Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Wilayah V DIY, menjadi tuan rumah penyelenggaraan Gowes Jogjaversitas. Kegiatan bersepeda bersama ini diikuti oleh pimpinan Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) Wilayah V DIY, dan para pimpinan perguruan tinggi anggota APTISI di Wilayah V DIY dan Wilayah VI Jawa Tengah. Kegiatan yang di helat pada Sabtu (23/7) di Kampus Terpadu UII ini, juga dalam rangka menyemarakkan Milad ke-79 UII.

Read more

Iga Nur Ramdhani, mahasiswi Program Magister Prodi Arsitektur Universitas Islam Indonesia (UII) memang dara serba bisa. Pasalnya, mahasiswi asal Kalimantan Timur ini berhasil menyabet predikat summa cumlaude dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 4,00 (empat koma nol) ketika merampungkan jenjang magister. Ia pun juga menyelesaikan studi dengan waktu kurang dari 2 tahun.

Read more

Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (DPPM) Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar workshop Indeksasi Jurnal UII ke Sinta pada hari Rabu (20/7). Sinta atau kepanjangan dari Science and Technology Index adalah portal ilmiah daring yang dikelola oleh Kemdikbud Ristek RI. Acara yang dihadiri oleh staf dan dosen pengelola Jurnal UII itu diadakan di Ruang Sidang Datar Lt. 2 Gedung Kuliah Umum Prof. Sardjito. Turut hadir Yoga Dwi Arianda, ST dan Rizki Prasetya, S.Kom sebagai pemateri.

Read more

Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar webinar internasional bertajuk “Making Sense of Societal Issue Through Data and Computational Science” pada Rabu (20/7). Webinar yang diadakan melalui platform Zoom dan kanal YouTube UII itu merupakan salah satu agenda menyemarakkan Milad UII ke-79. Beberapa pembicara yang hadir seperti Steven S. Skiena, Ph.D. dan Firman M. Firmansyah, Ph.D. dari Stony Brook University Amerika Serikat. Serta pembicara dari tanah air; Ahmad R. Pratama, Ph.D. dari UII dan Ismail Fahmi, Ph.D. dari Media Kernels Indonesia.

Read more

Dosen Program Studi Imu Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII), Drs. Agus Widarjono, M.A., Ph.D. resmi menyandang Jabatan Akademik Profesor dalam Bidang Ilmu Ekonomi. Diraihnya jabatan tertinggi akademik ini disampaikan oleh Kepala Lembaga Layanan Dikti Wilayah V DIY Prof. drh. Aris Junaidi, Ph.D., pada Kamis (22/7), di Gedung Kuliah Umum Sardjito, Kampus UII Terpadu. Hingga saat ini, tercatat UII telah memiliki 26 Profesor (Guru Besar) dari beragam rumpun keilmuan.

Read more

Fareed Zakaria, seorang jurnalis dan pemikir global, dalam bukunya Ten Lessons for a Post-Pandemic World menyatakan, bahwa salah satu pelajaran penting yang kita dapat selama pandemi adalah bahwa kita harus mendengarkan pendapat para ahli dan sekaligus juga publik biasa. Yang pertama diperlukan untuk memastikan bahwa setiap pilihan yang kita ambil mempunyai basis sains. Yang kedua dilakukan untuk menjaga sensitivitas kita, untuk tetap mempunyai empati.

 

Oleh Zakaria, para ahli diminta untuk bisa menjelaskan kepada publik. Mereka harus diedukasi untuk berpikir secara saintifik. Tentu ini bukan perkara mudah bagi para ahli. Mereka harus belajar dan menjelma menjadi intelektual publik.

 

Intelektual publik secara umum adalah mereka yang terdidik dalam disiplin ilmu tertentu tetapi memutuskan untuk menulis dan berbicara ke audiens yang lebih luas, di luar komunitas disiplin ilmunya. Mereka tidak harus berasal di perguruan tinggi. Semua orang dari kalangan terdidik dapat menjadi intelektual publik.

 

Menjadi intelektual publik bisa didorong beragam motivasi termasuk sebagai bentuk tanggung jawab sosial ataupun akuntabilitas intelektual. 

 

Sejarah bangsa ini memberikan pelajaran sangat berharga. Kaum terdidik selalu hadir, dan bahkan dalam posisi terdepan, dalam setiap perubahan besar bangsa ini. Tentu ini bukan peran musiman di setiap tikungan sejarah, tetapi ini adalah peran untuk setiap kesempatan.

 

Saya percaya, peran intelektual publik tersebut tetap valid, termasuk untuk saat ini.

 

Seorang profesor, saya yakin, sudah mempunyai bekal yang lebih dari cukup untuk menjelma menjadi intelektual publik.

 

Mari, di dalam tulisan singkat ini, kita upayakan konseptualisasi sederhana.

 

Tingkat intelektual publik

Intelektual publik bisa kita bedakan berdasar tingkat hirarkinya. Pembedaan ini terkait dengan “keberanian” dari pagar disiplin ilmu dan pengakuan khalayak.

 

Pertama, mereka yang menulis dan berbicara kepada publik hanya dalam disiplin ilmunya. Mereka mengemasnya menjadi bahasa yang mudah dipahami publik. Kerumitan itu menjadi urusan para ahli, tetapi semuanya harus disajikan dalam kemasan sederhana dan dapat dicerna dan dinikmati publik.

 

Kedua, mereka yang menulis dan berbicara kepada publik tentang disiplin ilmunya tetapi dikaitkan dengan dunia sosial, kultural, dan budaya di sekitarnya. Intelektual publik yang memilih tingkat ini perlu memahami sampai level tertentu beragam aspek di luar disiplin ilmunya. Mereka berpikir kontekstual. Kehadiran disiplin ilmu yang ditekuninya didefinisikan ulang relevansinya dengan konteks kekinian.

 

Ketiga, mereka yang menjadi simbol dan tokoh yang berdiri tidak hanya untuk disiplin ilmu yang digelutinya. Intelektual publik tingkat ini menulis dan berbicara beragam isu publik, bahkan yang tidak terkait dengan disiplin ilmu asal. Mereka dalam tingkat ini sudah membuktikan mempunyai perspektif yang luas dan horison pemikiran yang jauh. Mereka juga mempunyai semangat untuk mempelajari disiplin lain untuk terus bisa menjaga komunikasi antardisiplin.

 

Peran intelektual publik

Karena keragaman tingkat di atas, peran intelektual publik menjadi sangat beragam. Peran merupakan konsep relasional yang mengandaikan hubungan intelektual publik dengan objek atau aktor lain.

 

Berikut adalah beberapa di antaranya:

1.     Intelektual publik sebagai ahli. Sebagai seorang ahli, pendapat intelektual publik didengarkan, sarannya pun diperhatikan, dan mendapatkan posisi terhormat di dalam komunitas disiplin ilmu yang sangat menghargai kepakaran.

2.     Intelektual publik sebagai penjaga gerbang pengetahuan. Penjaga gerbang pengetahua diharuskan selalu berikhtiar menjadi yang terdepan dan rujukan pengetahuan. Untuk itu, intelektual publik juga tak lelah mengikuti perkembangan pengetahuan mutakhir. Menjaga tetap aktif dalam komunitas disiplin ilmu terkait dapat menjadi salah satu ikhtiarnya.

3.     Intelektual publik sebagai pemikir. Sebagai pemikir, intelektual publik akan terus gelisah atas kondisi yang tidak sesuai dengan yang dicita-citakan. Karenanya, ia pun akan mencari penjelasan atas beragam masalah yang dihadapinya. Intelektual publik pun kerap terlibat dalam diskusi lintasdisiplin untuk memahami masalah secara lebih utuh.  Pemahaman atas masalah yang baik menjadi basis untuk menawarkan beragam solusi.

4.     Intelektual publik sebagai selebritas media. Keakraban dengan media menjadi salah satu penanda sebagai selebritas. Kemunculan pendapatnya pun ditunggu media karena penting untuk mengedukasi publik. Intelektual publik seharusnya melatih diri untuk semakin piawai menyederhanakan konsep rumit supaya bisa dipahami oleh publik. Selain itu, ia juga sensitif dengan masalah mutakhir yang terjadi.

5.     Intelektual publik sebagai pengungkap kebenaran. Pengungkapan kebenaran dilakukan melantangkan pesan secara utuh dan tidak parsial dengan bingkai kepentingan. Intelektual publik, karenanya harus menjaga integritasnya untuk tidak terbeli untuk kepentingan sesaat atau kelompok tertentu dan mengorbankan kebaikan publik.

 

Daftar peran di atas tentu tidak lengkap. Beragam peran lain terbuka untuk dimunculkan dan didefinisikan.

 

Sambutan pada acara serah terima surat keputusan jabatan akademik profesor, Prof. Drs. Agus Widarjono, M.A., Ph.D. di Universitas Islam Indonesia pada 21 Juli 2022.