,

Lulusan UII Harus Sensitif Dengan Masalah di Lingkungannya

Universitas Islam Indonesia (UII) mewisuda 1.018 lulusan pada pelaksanaan wisuda periode I Tahun Akademik 2018/2019, di Auditorium Prof. Dr. Abdulkahar Mudzakkir, Sabtu (29/9). Peserta wisuda UII kali ini terdiri dari 1 doktor, 110 magister, 821 sarjana, dan 86 ahli madya. Hingga periode kali ini UII telah meluluskan lebih dari 93.512 alumni, dan telah berkarya di beragam sektor, baik di dalam maupun luar negeri.

Mengawali sambutannya, Rektor UII, Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D. mengajak seluruh hadirin turut mendoakan warga di Palu, Donggala, dan sekitarnya yang terkena dampak bencana alam gempa bumi dan tsunami pada Jumat petang (28/9). Seperti halnya musibah gempa bumi di Lombok Nusa Tenggara Barat beberapa pekan yang lalu, UII juga berencana akan memberangkatkan tim medis.

Di hadapan para wisudawan Fathul Wahid menuturkan, cendekiawan atau intelektual atau ulul albab sudah seharusnya tidak hanya mumpuni dalam disiplin ilmu pilihannya, tetapi juga harus sensitif dengan masalah di lingkungannya. Dia juga adalah manusia yang selalu mengembangkan diri, menajamkan kemampuan analisisnya (QS 3:190-191), dan menjaga potensi kemanusiaannya: hati, penglihatan, dan pendengaran (QS 7:179).

“Ulul albab menggabungkan dimensi pikir dan zikir, persis dengan yang disimbolkan oleh gerbang UII: masjid melambangkan zikir dan perpustakaan mengindikasikan pikir. Karenanya, terinspirasi oleh tafsir Al-Azhar karya Prof. HAMKA, ulul albab adalah manusia dengan akal rangkap dan potensi lengkap,” paparnya.

Lebih lanjut Fathul Wahid menuturkan, sensitivitas terhadap masalah bangsa adalah modal dasar menjadi pemimpin bangsa. Pemimpin seharusnya adalah pemecah masalah, bukan bagian dari masalah. Beragam program ko-kurikuler, yang dilengkapi dengan ekstra-kurikuler, didesain untuk mengembangkan potensi kemanusiaan.

Bisa jadi, ketika mengikuti kegiatan kurikuler, ko-kurikuler, dan ektra-kurikuler dan bahkan sampai saat ini, di antara Saudara masih mempertanyakan manfaatnya. “Tidak mengapa. Pada saatnya, saya yakin Saudara akan merasakan di kemudian hari: satu tahun lagi, lima tahun ke depan, 10 tahun mendatang, atau untuk horison waktu yang lebih jauh. Semuanya tergabung dengan lintasan kehidupan yang akan kita lewati,” tutur Fathul Wahid.

Disampaikan Fathul Wahid, pemikiran kita memang tidak didesain untuk menghubungkan antartitik dalam kehidupan kita secara maju. Kita tidak bisa dengan mudah memprediksi masa depan. Tapi, saya termasuk orang yang percaya, pada saatnya, episode-episode kehidupan kita akan terhubung ke masa lalu.

“Apa yang kita panen sekarang adalah buah dari apa yang kita tanam di waktu lampau. Apa yang mungkin kita nikmati di masa depan, adalah karena ikhtiar yang kita lakukan pada masa lalu dan kini,” tandasnya.