Masa Depan Peer to Peer Lending di Indonesia

Layanan peer to peer lending (P2PL) yang semakin menjamur di Indonesia sistem pengaturan dan pengawasan yang efektif. Hal ini didasari jumlah entitas yang melayani P2PL, banyaknya dana yang terhimpun, dan inovasi layanan yang kian berkembang. Sebagaimana disampaikan Inda Rahadiyan, M.H. dalam Webinar bertajuk “Industry Financial Technology Peer To Peer Lending di Indonesia : Kini Dan Nanti” pada Selasa (6/4) lalu. Webinar merupakan kerjasama antara Departemen Hukum Perdata FH UII dan Pusat Studi Pasar Modal FH UII.

Menurutnya, P2PL masuk dalam kegiatan perekonomian yang bermanfaat bagi banyak masyarakat. Ia merujuk pada UUD 1945 (Pasal 33 UUD 1945) yang secara filosofis memberi kewenangan negara untuk mengatur kegiatan perekonomian yang esensial bagi kesejahteraan rakyat. “Artinya pengaturan fintech (termasuk P2PL) memegang peran strategis untuk meningkatkan kesejahteraan melalui penyediaan jasa keuangan yang mudah diakses oleh setiap penduduk”, katanya. 

Ia menambahkan keberadaan P2PL telah mendorong peningkatan indeks inklusi keuangan. Pada sisi lain. penyelenggara P2PL tidak terlepas dari risiko. Sistem pengaturan dan pengawasan P2PL harus mampu, meminimalisir risiko, menjamin keberlangsungan inovasi, menjamin perlindungan hukum bagi pengguna.

Pembicara lainnya, Hiroanto Allifriandi, L.L.M. menyebutkan karakteristik fintech. Seperti dana fintech yang tidak dijamin LPS (Lembaga Penjamin Simpanan), risiko kredit pada pemberi dana, risiko pendanaan relatif tinggi, bunga lebih tinggi, serta prosesnya cepat, mudah, dan tanpa batasan waktu maupun tempat.

Ia memprediksi industri P2PL di Indonesia akan tetap tumbuh di tahun mendatang. “Perkembangannya akan lebih banyak dipengaruhi kondisi perekonomian, rencana implementasi perubahan POJK terkait industri P2PL, dan perkembangan jumlah penyelenggara, dan penambahan modal”, ujarnya. 

Sedangkan tantangan yang dihadapi P2PL masih berkutat pada pemulihan ekonomi dan tantangan internal industri yakni eksplorasi ekosistem, bunga & biaya pinjaman, keandalan sistem elektronik & credit scoring, serta P2PL ilegal.

Di sisi lain, Agus Triyanta, Ph.D. menjelaskan dalam POJK 77/2016, pengertian dan batasan layanan jasa keuangan, dengan media internet, mempertemukan pemberi pinjaman dan penerima pinjaman, melakukan perjanjian pinjam meminjam uang dalam rupiah.

Beliau memberikan kesimpulan bahwa sebagai inovasi di bidang muamalah, P2PL adalah suatu hal yang dibolehkan, berdasar pada kaidah fiqhiyah “al-Ashl fi al-mu’amalah al-ibahah” (pada asalnya, setiap aktifitas muamalah adalah boleh). 

“Pendekatan kemaslahatan menghendaki agar kehadiran P2PL dikawal dengan kerangka regulasi yang memadai, termasuk aturan untuk P2PL yang berbasis syariah. Jika rekomendasi syariah hanya diserahkan pada dewan syariah nasional maka kekuatan hukumnya sangat lemah. Agar tetap berada dalam koridor syariah maka minimalisasi kandungan riba, gharar, maysir, tadlis, dan zulm harus selalu dilakukan”, pungkasnya. (FHC/ESP)