Menata Ulang Tujuan di Era New Normal

Melalui Podcast, Aufanida Ingin Mensyiarkan Ramadan

Penerapan new normal di kala pandemi menjadi tantangan tersendiri bagi para akademisi. Pengembangan dan optimalisasi potensi menjadi fokus utama. Pertanyaan kerap muncul, apakah kegiatan selama waktu pandemi ini merupakan hal yang kita butuhkan, atau hanya sekedar produktif ikut-ikutan. Topik ini mendasari Central Language Improvement (CLI) UII, menyelenggarakan diskusi dalam webinar bertajuk Seeing Yourself Growth and Become Potential Youth In The New Normal Era, pada  Minggu (26/7).

Clinical Psychologist & personality development trainer, Iswan Saputra menjelaskan perasaan cemas dan stres yang muncul ketika memikirkan akhir dari wabah Covid-19 merupakan hal yang wajar. Ia menandaskan bahwa reaksi tersebut merupakan hal yang biasa tatkala terjadi krisis. “Jadi terkait kesehatan mental ini, tidak hanya dalam ruang lingkup individu, namun juga dalam skala global. Jadi jika teman-teman cemas, kita tidak sendirian. Tapi seluruh dunia juga merasakan,” terangnya.

Efek dari pandemi yang berlangsung secara dinamis, dibutuhkan pula penyesuaian yang dinamis. Maka tekanan dan stress menjadi hal yang wajar dalam beradaptasi. Kendati demikian, Iswan menggaris bawahi bahwa hal tersebut perlu dikendalikan. “Stress dalam beradaptasi itu wajar, namun kita harus bisa mengontrol agar tidak menjadi destruktif,” terangnya.

Dalam melakukan manajemen stres pada individu, hanya terdapat satu pilihan, yaitu mengurangi stres (less stress). “Kita tidak bisa benar-benar free stress, dan yang bisa kita lakukan hanya less stress. Karena jika free stress, itu tandanya kita mati. Dalam artian tidak ada tuntutan. Sedangkan kita sendiri harus menjalankan peran, tanggung jawab, dan sebagainya,” ungkap Iswan.

Lebih lanjut mengenai manajemen stres, Iswan mengatakan setidaknya terdapat dua macam stres, yaitu Eustress dan Distress. “Stres positif (Eustress) itu seperti apa yang kita rasakan ketika belajar, mengerjakan skripsi, ataupun mengikuti webinar seperti ini. Sedangkan stres negatif (distres) itu sendiri biasanya menjadi hal yang menyebabkan sakit atau gangguan mental,” terangnya.

Ia menambahkan berkenaan tipe-tipe respon dalam menghadapi stres. “Ada Fight, Flight, dan Freeze. Fight sendiri artinya kalo kita ada tugas, atau menghadapi masalah kita akan langsung hadapi. Kalau Flight, itu maknanya mencari pengalihan (terbang) untuk mengurangi stres terhadap tugas, walau sebenarnya tidak menyelesaikan. Freeze, artinya diam, menerima apa saja yang tengah terjadi,” ungkapnya.

Mengenai memaksimalkan potensi dan menata ulang tujuan di era new normal, Growth for Teacher and Parent, Angga Fauzan menjelaskan bahwa terdapat faktor internal dan eksternal, dimana membuat seseorang dapat merasakan perkembangan dirinya. “Dalam faktor internal ini yang harus kita pikirkan dan kita sadari adalah bahwa seringkali hati dan pikiran kita kontra satu sama lain. Seperti hati kita ingin melakukan suatu hal, namun secara logika kita menjelaskan bahwa itu tidak mampu dilakukan atau tidak sesuai,” jelasnya.

Angga menambahkan perlunya awareness, terkait kemampuan serta kekurangan diri. “Pengembangan diri memang diperlukan, untuk menjadi lebih baik lagi. namun jika kita tidak aware, terhadap hal yang menjadi kelemahan kita sendiri, pada akhirnya akan menimbulkan stres. Karena pada dasarnya semua orang hadir dengan bakat, kondisi, dan passion-nya masing-masing,” sambungnya.

Di lain sisi, selain faktor internal, dalam faktor eksternal sendiri terdapat hal yang perlu diseimbangkan, antara threat (ancaman) dan opportunity (kesempatan). “Dua hal ini harus diseimbangkan, kita tidak bisa fokus hanya pada salah satunya. Jika hanya fokus pada ancaman, kita cenderung hanya akan mengeluh. Sedangkan jika kita terfokus pada kesempatan, justru menimbulkan optimisme yang membabi buta, tanpa tahu kondisi kita seperti apa,” tuturnya.

Selain kedua faktor tersebut, Angga menyinggung terkait perbedaan kondisi yang harus disadari saat berada di jenjang kuliah atau pendidikan, dengan jenjang profesi (bekerja). “Kondisi saat kita kuliah atau sekolah itu lengkap. Semua diajarkan, baik dari struktur, materi, kurikulum, ada guru, nilai, dan lain-lain. Sedangkan dunia pasca kamus itu sangat mix, tidak ada yang memberitahu kita terkait struktur, pressure (tekanan) banyak, demands (tuntutan) banyak, kompetisinya juga banyak, dimana kita akan bersaing dengan orang yang baru lulus, dari kampus lain, dari kantor lain, atau dari luar negeri, untuk berebut posisi,” katanya.

Melengkapi faktor eksternal yang telah dijelaskan, Angga menekankan bahwa setiap orang memiliki medan atau ruang perjuangannya sendiri. “Akan sangat tidak relevan jika kita mencampuri atau justru memiliki medan perjuangan (battlefield) orang lain yang tentu saja belum sama dengan diri kita. Karena itu cukup fokus dengan apa yang kita miliki sendiri, supaya bisa berkembang dan menjadi versi terbaik dari diri kita,” ucapnya. (FSP/RS)