Menelaah Pasal 24 UUD 1945 tentang Kekuasaan Kehakiman

Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII) menyelenggarakan webinar Forum Ramadan Konstitusi (Formasi) pada Senin (18/4). Webinar ini mengangkat tema “Bedah Pasal 24 UUD NRI 1945 Kekuasaan Kehakiman” dengan menghadirkan Ketua Komisi Yudisial RI, Prof. Dr. Mukti Fajar Nur Dewata S.H., M.Hum. dan Dosen & Kepala Departemen HTN FH UII, Dr. Sri Hastuti Puspitasari, S.H., M.H. sebagai pemateri.

Mukti Fajar menyampaikan bahwa kekuasaan kehakiman prinsip dasarnya adalah konsep negara modern yang menganut sistem pemisahan kekuasaan Montesquieu. Konsep ini diterapkan untuk mencegah adanya kekuasaan absolut yang cenderung pada penyalahgunaan kekuasaan. 

Di sisi lain, kekuasaan kehakiman juga merupakan wujud deklarasi atas eksistensi negara hukum. Indonesia mengadopsi sistem peradilan dari pemerintahan Jepang dan hukum warisan buatan Belanda. Ini merupakan bagian dari sejarah Indonesia yang pernah dijajah oleh Belanda maupun Jepang.

Menurut Mukti Fajar, pada masa orde baru kekuasaan Presiden sangat mempengaruhi independensi kekuasaan kehakiman. Ketika para hakim tidak tunduk pada keinginan Presiden, maka mereka dapat diganti atau dipindahkan ke tempat tertentu. Hal ini berlaku sebaliknya, apabila para hakim tersebut tunduk, maka ia akan mendapat kenaikan pangkat, dan lain sebagainya.

Lebih lanjut Mukti Fajar menyampaikan KY selain melakukan seleksi calon hakim agung, juga menjaga martabat hakim dari perilaku menyimpang. Menjaga martabat hakim terdiri dari tiga hal, yaitu melakukan pengawasan terhadap hakim yang diduga melakukan tindakan menyimpang atau pelanggaran etik, melakukan pelatihan terhadap hakim yang dianggap kurang professional, dan melakukan advokasi terhadap hakim yang mengalami intervensi dari tindakan penekanan, ancaman, tawaran uang, dll.

Kekuasaan kehakiman memberikan ruang kemerdekaan bagi hakim untuk menentukan putusannya. Putusan hakim ini dianggap selalu benar dan hanya dapat diubah dengan putusan hakim setelahnya. Doktrin ini merupakan doktrin universal yang dianut oleh semua negara di dunia. Sehingga, dalam hal ini KY hanya dapat mengawasi hakim dalam hal perilakunya dan tidak boleh masuk dalam ranah putusannya. 

Amandemen Pasal 24 UUD 1945

Selanjutnya, Sri Hastuti menjelaskan, Pasal 24 UUD 1945 dalam perkembangannya mengalami dua kali amandemen, yakni amandemen ketiga pada Pasal 24 ayat (1) dan (2) dan amandemen keempat pada Pasal 24 ayat (3).  Menurutnya, amandemen Pasal 24 UUD 1945 ini memiliki dua isu utama, yaitu untuk menegaskan prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan menata kembali struktur kekuasaan kehakiman.

“Sebelumnya di masa orde lama masa orde baru, prinsip ini diabaikan. Bahkan tidak hanya diabaikan prinsip ini sebenarnya tidak ada,” ujarnya.

Sebagai contoh, Sri Hastuti menyebutkan bahwa di masa orde lama dalam UU No 19 Tahun 1964 tentang Kekuasaan Kehakiman, terlihat jelas bahwa lembaga peradilan menjadi alat revolusi. Menurut UU tersebut jika hakim sedang menangani perkara, dan perkaranya dianggap membahayakan tujuan revolusi, maka Presiden memiliki kewenangan untuk menghentikan perkara tersebut. 

Sehingga menurutnya, amandemen Pasal 24 UUD 1945 ini merupakan suatu hal yang penting dan berdasar pada prinsip Bangalore Principles of Judicial Conduct yaitu: “Independensi kekuasaan kehakiman itu prasyarat bagi negara hukum, dan menjadi jaminan fundamental bagi peradilan yang adil”.

Selain itu, Sri Hastuti juga menyoroti 2 prinsip lain dalam Bangalore Principles of Judicial Conduct, yaitu: Pertama, seorang hakim harus independen menjaga jarak dalam hubungannya dengan masyarakat dan pihak-pihak yang berperkara. Kedua, seorang hakim harus bebas dari koneksi-koneksi dan hubungan-hubungan yang tidak pantas, termasuk harus membebaskan diri dari pengaruh kekuasaan eksekutif maupun legislatif.

Lebih lanjut, ia berpendapat bahwa rumusan amandemen Pasal 24 UUD 1945 ini berasal dari proses dialektika untuk mewujudkan prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman di Indonesia. Hal ini kemudian diwujudkan dengan munculnya peraturan tentang kode etik hakim, yang terangkum dalam Keputusan Bersama Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI No.047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. (EDN/ESP)