,

Meneropong Munculnya Politik Identitas pada Pemilu 2024

Universitas Islam Indonesia (UII) dan The Conversation Indonesia (TCID) menggelar diskusi publik bertajuk “Apakah Politik Identitas Masih Relevan dalam Kampanye Pemilu 2024 di Media Sosial?”. Acara yang diadakan di Gedung Kuliah Umum Prof. Dr. Sardjito UII pada Kamis (11/5) tersebut mengundang empat narasumber. Mereka adalah Ismail Fahmi, Ph.D selau Dosen Informatika UII, Founder Drone Emprit, Rizki Dian Nursita, M.H.I. selaku Dosen HI UII, Wawan Mas’udi, SIP., MPA., Ph.D., selaku Dekan Fisipol UGM, dan Shafiq Pontoh, pegiat media sosial.

Ika Krismantari yang didapuk sebagai moderator pada diskusi tersebut mengatakan bahwa menurut riset yang ia lakukan, terdapat dua kubu menjelang pemilu 2024. Kubu pertama mengatakan bahwa akan terjadi tsunami politik identitas, kubu kedua mengatakan politik identitas sudah tidak berlaku.

Wawan Mas’udi menanggapinya dengan menyebut penggunaan politik identitas di masa sekarang nuansanya sudah berbeda. “Kalau dulu dipakai sebagai alat perjuangan, kalau sekarang menjadi alat untuk merebut dan mencari kekuasaan, bahayanya di sini,” ungkapnya.

Lebih lanjut, konteks politik elektoral ini menggunakan pola single majority, artinya siapapun yang menenangkan 50%  plus 1 akan memiliki legitimasi menjadi pemimpin politik.

Wawan menilai bahwa politik identitas nampaknya akan masih digunakan sebagai sebuah skenario atau strategi. Hanya saja diaktifkan atau tidak, ini tergantung dengan perkembangan zaman. “Saya yakin semua calon, semua politisi di Indonesia menyiapkan semua strategi setan dan strategi malaikat,” tegasnya.

Strategi programatik disiapkan dengan baik, nantinya tinggal melihat apakah dalam perkembangannya cukup memberikan keyakinan politik atau tidak. “Jika tidak, maka akan menyasar ke politik identitas,” pungkasnya.

Di sisi lain, regulasi yang mengatur politik identitas dalam kampanye juga belum terpayungi dengan baik. Menurutnya, sudah seharusnya aturan untuk memaksa para timses, kandidat, politik partai untuk bisa membawa kontestasi politik menyebarkan politik berbasis program.

“Fungsi lembaga pemilu itu penting, perdebatan publik bisa dibawa ke situ, mengangkat isu-isu  programatik lebih banyak, maka akan membagun 1 iklim politik yang lebih sehat dan jauh lebih substantif,” tuturnya.

Apakah pola strategi kampanye dan politik identitas di media sosial sudah terlihat?

Sementara itu menurut Shafiq Pontoh, orang di zaman sekarang sudah berbeda, ini terjadi karena adanya perubahan perilaku pengkonsumsian informasi pre and post-Covid. Sejak post-Covid, orang-orang jadi melek digital.

“Kalau yang saya amati, konten di media sosial yang digemari sekarang adalah konten-konten inspirasional. Misalnya saja salah satu pejabat publik yang menggunakan channel YouTube  untuk membuat konten dan dianggap politisi paling berhasil,” ungkapnya.

Menurutnya, secara global politik identitas sudah tidak berlaku, bisa dilihat dari konten yang paling besar dikonsumsi global yaitu dunia hiburan, semua jenis ras, agama ada. “Kita sekarang di dunia yang beranjak ke arah hidup bersama di satu bumi “global citizen” ya kali main politik identitas,” pungkasnya.

Sedangkan Ismail Fahmi turut memberikan tanggapan. Menurutnya politik identitas masih banyak digunakan dalam konteks negatif untuk menyerang lawan. Tetapi, misalnya untuk mempromosikan calonnya sendiri menggunakan politik identitas ini semakin tidak laku, karena hal demikian malah mempersempit.

“Menurut data yang saya peroleh, sebutan ‘cebong’, ‘kadrun’, ini kan identitas, hal ini paling gampang dikelompokkan, nggak perlu meyakinkan orang per orang. Trend penggunaan kata seperti ini masih tinggi,” tuturnya.

Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa beberapa politisi sudah sangat cerdas, masuk ke dalam ceruk-ceruk tertentu yang tidak membicarakan di dunia politik. “Ini merupakan salah satu trik, masuk lewat gagasan, program, memberikan manfaat besar dan mensupport kelompok-kelompok  niche ini,” imbuhnya.

Jika dikaitkan dengan adanya kemungkinan misinformasi dan penyalahgunaan kecerdasan buatan, menurut Fahmi masih mudah dideteksi.

“Cuma yang terkait dengan bagaimana menanggapi politik identitas, menariknya adalah akademisi sekarang sangat sedikit yang berani bersuara, bersuara di media sosial yang lawannya buzzer,” ungkapnya.

Buzzer akan mempengaruhi opini publik dengan kebohongan-kebohongan, hajar-hajaran yang sifatnya negatif. Maka menurutnya, TCID adalah solusinya.

Solusi yang dimaksud adalah bagaimana akademisi memberikan pencerahan ke publik dengan keilmuan, tujuannya mengedukasi publik dengan data. “Akademisi harapannya bisa menulis, The Conversation Indonesia (TCID) jadi solusi, saya berharap bisa menjadi kontribusi yang besar,” pungkasnya.

Dosen HI UII, Rizki Dian Nursita sepakat bahwa politik identitas akan tetap ada, karena bagaimanapun identitas merupakan satu hal yang sangat penting dan tidak bisa dipisahkan.

“Secara global, perlu dilihat terlebih dahulu, bagaimana politik identitas dipakai, tidak hanya di Indonesia saja namun juga di negara sebelah,” ungkap Dian.

Misalnya saja di Amerika Serikat, politik identitas berhasil, buktinya Donald Trump terpilih. Berdasarkan riset dari American National Election Studies tahun 2019 ke belakang, sekitar satu dekade, isu kulit putih sebagai penentu kecenderungan pemilih masih sangat kuat.

“Hasil survei juga demikian, sebanyak 30-40% warga kulit putih itu penting, walau demikian menuai banyak kontra dari masyarakat serta banyak penolakan dari dalam atau luar negeri,” pungkasnya. (LMF/ESP)