Menggali Akar Krisis Politik di Myanmar

Penangkapan pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, pasca kudeta militer masih hangat diperbincangkan. Sebagaimana dalam Program Ngalir Live Talk #18 yang diadakan prodi Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia (HI UII) pada Sabtu (13/2). Acara bertemakan “Kudeta Militer Myanmar” ini menghadirkan pembicara Irawan Jati, M.Hum., M.S.S.

Di awal diskusi, Jati menuturkan bahwa dalam lima tahun terakhir saat beralih dari junta militer, Myanmar mendapat banyak sokongan dari dunia dalam memperkuat proses transisi demokrasi yang belum lama dibangun.

“Dari transisi ini, sebenarnya kita mengharapkan Myanmar punya peluang untuk menjadi negara yang demokratis. Tetapi ini adalah langkah mundur bagi Myanmar ketika militer mengambil kekuasaan sipil,” ucap Jati yang kini tengah menempuh studi doktoral di Australia.

Menurutnya, sejak masa transisi demokrasi telah banyak perubahan positif di sana. Perubahan ini juga dapat dilihat dari sikap mayoritas respon masyarakat Myanmar yang menolak pemerintahan militer. Artinya, ada aspirasi masyarakat di Myanmar untuk mempertahankan demokrasi.

Ia pun menambahkan beberapa perspektif tentang faktor pemicu kudeta itu. Faktor pertama, apabila menengok ke belakang, bisa dikaitkan dengan kekalahan dari fraksi militer dalam memperoleh suara di pemilu yang lalu. Pada bulan November suara dimenangkan telak oleh National League for Democracy (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi.

Partai dukungan militer yakni Union Solidarity and Development Party (USDP) hanya memperoleh persentase kecil. Militer tidak puas dengan hasil pemilu karena dianggap memiliki kecurangan sehingga terjadilah kudeta. Faktor kedua, adanya tekanan dari masyarakat global untuk menjalankan demokratisasi. Faktor ketiga, faktor dari personal militer-free. Hal ini memungkinkan adanya motif personal dari pelaku kudeta, yaitu Jenderal Min Aung Hlaing selaku pemimpin militer di Myanmar.

Namun, ia menilai berbagai spekulasi yang ada hanya dari pengamatan di permukaan. Pasalnya informasi di Myanmar cukup tertutup dan dibatasi, salah satunya sensor penggunaan internet. “Adapun ketika muncul laporan dari sumber yang valid tapi mereka sanggah, itulah yang sering terjadi di lapangan”, ujarnya.

Sebagai pernyataan penutup, Jati berharap semoga apa yang terjadi di Myanmar menjadi kasus kudeta terakhir. Dan dalam konteks internasional, negara-negara di luar ASEAN diharapkan memberikan apresiasi atas apa yang telah diusahakan Myanmar yakni melakukan pembukaan diri menjadi negara demokratis dan tidak memberikan tekanan berlebih pada Myanmar. (MRS/ESP)