Menjadi Kimiawan dengan Fondasi Islam

Program Studi Magister Kimia Universitas Islam Indonesia (UII) bersama dengan Himpunan Mahasiswa Magister Kimia (HMKK) pada Sabtu (6/3) menggelar webinar bertemakan “Islam dan Etika dalam Profesi Kimiawan”. Acara yang dimulai pada pukul 08.30 WIB ini menghadirkan Ketua Program Studi Hukum Islam Program Doktor, Fakultas Ilmu Agama Islam UII Dr. Drs. Yusdani, M.Ag dan Priyagung Dhemi Widiakongko, M.Sc. yang merupakan dosen di Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Sebelum berangkat pada tema besar, agenda webinar di awali dengan pengenalan Program Studi Magister Kimia oleh Drs. Allwar, M.Sc., Ph.D. selaku Ketua Prodi Magister Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Islam Indonesia (FMIPA UII). Sebagai pionir perguruan tinggi swasta pertama di Indonesia yang membuka Program Magister Kimia, Allwar menjelaskan mengenai kompetensi dosen yang dinilai profesional di bidangnya

“Program Magister Kimia UII sudah memiliki tiga dosen dengan gelar Profesor, dan empat lainnya sudah Doktoral. Belum lagi kolaborasi kami dengan dosen-dosen luar negeri, jadi semua pengajar saya rasa sudah sangat kompeten dan berkomitmen pada pengetahuan mahasiswa,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Yusdani memantik diskusi sesi pertama dengan menjelaskan kontribusi umat Islam terhadap Ilmu Kimia di abad keemasan bagi peradaban modern. “Tidak ada bantahan saya kira baik dari ilmuwan maupun sejarawan bahwa dasar ilmu kimia diletakkan oleh para kimiawan muslim. Contohnya ada Jabir ibnu Hayyan yang ditasbihkan sebagai Bapak Kimia Modern,” terangnya. Dengan fakta tersebut, Yusdani mengatakan bahwa ilmu kimia yang dikembangkan oleh ilmuwan muslim adalah embrio dan fondasi dari ilmu kimia modern.

Yusdani melanjutkan, kemajuan peradaban Islam seharusnya bisa ditopang oleh kemajuan sains dan teknologi yang tetap berasaskan nilai etika profetik (Kenabian), sehingga Islam menampakkan diri sebagai wajah yang rahmatan lil ‘alamin. Yusdani juga menjabarkan ragam etika profetik sebagai fondasi dasar seorang kimiawan muslim dalam berprofesi, salah satu yang menarik adalah konsep Science for Welfare Society. “Jadi sains bukan untuk sains saja. Tapi sains/ilmu untuk kesejahteraan umat manusia (welfare Society). Saya kira ini juga kritik para scientist muslim kepada barat yang cenderung memisahkan ilmu dan agama,” tandasnya.

Sejalan dengan itu, Priyagung memaparkan bahwa pencapaian di bidang kimia sejatinya memang harus bermanfaat untuk umat manusia dan melindungi lingkungan. Menurutnya, praktisi dan profesional kimia harus mempromosikan perspektif positif dan pemahaman penuh terhadap capaian ilmu kimia. “Kita contohkan ketika ada hoax tentang kimia. Praktisi dan profesional perlu meluruskan, beri mereka perspektif positif. Kemudian berikan pemahaman agar yang tak mengerti jadi paham,” ujar Priyagung.

Priyagung juga menjelaskan mengenai The Hauge Ethical Guidelines yang menjelaskan tentang etika kimiawan dalam berbagai aspek seperti etika lingkungan, penulisan ilmiah dan penerbitan, kemudian yang terakhir adalah etika keamanan dan penjaminan pengamanan. Ia juga memaparkan konsep manusia dan ilmu sebagai bagian alam semesta yang tunduk pada kekuasaan Allah Swt. “Pada akhirnya, etika adalah bentuk kesadaran penuh kita sebagai bagian dari keseluruhan (part of wholeness),” tutupnya. (IAA/RS)