,

Menyikapi Hoax Halal-Haram Produk Makanan

Penyebaran hoax yang marak beredar seringkali meresahkan masyarakat. Di antara hoax tersebut salah satunya hoax mengenai halal-haram produk makanan. Hal ini, selain membutuhkan peran pemerintah dalam mengurangi hoax yang beredar lewat penegakan undang-undang, juga mengharuskan masyarakat agar cerdas dalam merespon dan menyikapi setiap berita yang beredar. Menanggapi isu tersebut, Takmir Masjid Ulil Albab (TMUA) Universitas Islam Indonesia (UII) melangsungkan kajian bertemakan “Hoax Halal Haram Produk Makanan di Yogyakarta” pada Selasa (10/4), bertempat di Masjid Ulil Albab, Kampus Terpadu UII.

Hadir sebagai pemateri, Nanung Danar Dono Spt., MP., Ph.D yang juga merupakan Auditor Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Yogyakarta. Ia membuka pemaparannya dengan Al-Quran surat Al-Hujurat ayat 6 yang menjelaskan pentingnya sikap tabayyun atau klarifikasi setiap individu terhadap sebuah berita. Selanjutnya, Ia memberikan penjelasan mengenai hoax halal-haram yang sering beredar di masyarakat, baik di media sosial, maupun yang tersebar via aplikasi pesan lintas platform.

Di antara hoax yang disinggung dalam pemaparan Nanung adalah beredarnya video mengenai produk-produk yang mengandung babi di khalayak umum. Di antara produk-produk tersebut bahkan merupakan produk-produk yang sering dijumpai di masyarakat. Ia melanjutkan, bahwa terdapat berita yang beredar bahwa produk-produk makanan tersebut mengandung babi karena mengandung kode E, seperti E100, E140, dan E153. Dalam hal ini, Nanung dengan tegas mengatakan bahwa berita tersebut adalah hoax, karena kode E bukan kode untuk bahan yang mengandung babi, akan tetapi kode penanda untuk bahan tambahan makanan.

“Kode E itu bukan kode babi dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan babi. Kode E itu apa? Kode E adalah kode bahan tambahan makanan. Bisa pewarna makanan, bisa bahan pemanis, bahan pengasam, atau bahan penstabil. Dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan babi,” ungkapnya. Lebih lanjut Ia mengungkapkan beberapa kode tersebut. “Kode E100 adalah pewarna kuning dari tepung kunyit. Kemudian E140, ini pewarna alami hijau, ada E153 adalah pewarna alami hitam dari arang kayu,” ujar Nanung yang juga Direktur Halal Centre UGM tersebut.

Selanjutnya, Nanung juga mengklarifikasi berita larangan memakan ayam broiler dikarenakan pertumbuhan ayam broiler yang cepat disebabkan oleh hormone babi betina yang disuntikkan, di mana kemudian residu hormon tersebut mengendap di leher dan sayap, sehingga tidak baik untuk mengkonsumsi bagian tersebut. Ia lagi-lagi menangkis hoax yang beredar tersebut. “Ayam broiler cepat besar itu bukan karena disuntik hormone babi, sama sekali bukan, tetapi karena genetik,” ungkapnya.

Ia juga menjelaskan bahwa harga hormon babi sangat mahal, sehingga menurutnya, bila pemeliharaan ayam broiler dibantu menggunakan hormone babi, maka biaya pemeliharaan ayam broiler bisa mencapai lima kali lipat. “Kalau pakai hormon babi, maka harga ayam broiler perkilo bukan 32ribu, tetapi 150 ribu,” ujarnya.

Dalam kesempatannya Nanung juga mengklarifikasi sebuah berita yang beredar mengenai seorang wanita yang meninggal, dengan 5 panca indera yang mengeluarkan darah dan nanah pasca memakan mie dan cokelat secara bersamaan. Dari berita yang beredar, dikatakan bahwa ketika mie dimakan bersamaan dengan cokelat secara bersamaan, maka ada racun arsenik pentaoxide yang bereaksi dan berubah menjadi arseik trioxide yang membahayakan, dan inilah yang menyebabkan pendarahan pada pembuluh darah.

Dengan tegas, Nanung juga menepis hoax tersebut, karena kasus tersebut tidak pernah ada. “Kasus ini tidak pernah ada di dunia nyata, karena hanya ada di negeri dongeng. Kalau tidak percaya silakan dicek di semua rumah sakit yang ada di Indonesia. Herannya, ada juga orang yang percaya,” ujar Nanung.

Selain beberapa hoax tersebut, kasus hoax lain yang disinggung Nanung adalah berita mengenai pengaruh aspartame sebagai penyebab kanker otak dan sumsum tulang belakang, termasuk pengaruh bahaya MSG terhadap otak, Menurutnya, berita tersebut adalah hoax, sehingga masyarakat perlu untuk mengklarifikasi setiap berita yang diterima. “Kewajiban kita, bila menerima berita apa saja adalah melakukan tabayyun terlebih dahulu,” tutupnya. (MIH/RS)