Motivasi dalam Kehidupan Seorang Muslim

Program Studi Teknik Sipil Lingkungan

Fakultas Teknis Sipil dan Perencanaan Universitas Islam Indonesia (FTSP UII) menggelar kegiatan Pesantren Ramadan secara daring melalui Zoom Meeting, pada Jumat (15/4). Acara yang diikuti sekitar 150 peserta ini menghadirkan pembicara Ustadz Shubhi Mahmashony Harimurti, S.S., M.A. dan Dr. Fuad Nashori, S.Psi., M.Si., M.Ag., Psikolog. Pesantren Ramadan ini mengangkat tema “Peningkatan etos kerja dengan meningkatkan nilai-nilai Islami.”

Dekan FTSP UII, Miftahul Fauziah ST,. MT., Ph.D. dalam sambutannya menyampaikan pentingnya meluruskan niat dalam melakukan kegiatan apapun, agar semua bernilai ibadah, dan mengharapkan ridha Allah Swt. Ia berharap, dalam acara pesantren Ramadan ini dapat menjadi penggerak utama dalam melakukan suatu pekerjaan tertentu, sehingga tujuan tidak hanya yang bersifat dunia, melainkan akhirat atau spiritual yang lebih utama.

“Kita semua harus me-refresh atau mempertajam, mumpung di bulan suci Ramadan, baik motivasi kerja, abdi, motivasi sebagai manusia dan motivasi sesuai dengan peran masing-masing,” tutur Mifathul. Hal ini memiliki tujuan agar seluruh pekerjaan meningkat, sehingga menghasilkan yang baik. Serta tujuan utama untuk mencari ridha Allah Swt yang nantinya bisa menjadi bagian dari amal ibadah, dan bisa menjadi pengaruh yang besar terhadap hasil kerja manusia.

Pada sesi pertama Pesantren Ramadan, Jumat (15/04), Ustadz Shubhi Mahmashony Harimurti menyampaikan materi dengan topik “Motivasi dalam Kehidupan sebagai Seorang Muslim”. Dalam tausiyahnya, ia mempertegas bahwa Allah Swt. tidak akan mengurangi nikmat dan hendaknya ini dijadikan motivasi bagi seluruh umat Islam.

Sesuai dengan firman Allah Swt dalam surat Ibrahim ayat 7, yang artinya “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” “Sudah jelas, bahwa orang yang bersyukur pasti nikmatnya akan ditambah oleh Allah Swt,” tutur Ustadz Shubhi.

Jika dalam logika Matematika, orang yang bersyukur maka nikmatnya akan bertambah, sedangkan orang yang kufur maka nikmatnya akan dikurangi. Tetapi hal ini berbeda dengan firman Allah Swt. yang terdapat dalam surat Ibrahim ayat 7. Apabila orang bersyukur maka nikmatnya akan bertambah, sedangkan orang yang kufur maka akan mendapatkan siksaan dari Allah Swt.

Ustadz Shubhi juga menghubungkan antara firman Allah Swt. dengan generasi ulil albab. “Kita sebagai umat Ulil Albab harus menelaah lebih lanjut firman Allah Swt, memahami betul perintah Allah Swt,” ungkapnya. Maka dengan ini, diharapkan bisa menjadi motivasi bagi umat Islam dalam melakukan aktivitas apapun.

Ustadz Shubhi juga menyinggung tentang istidraj, yang mana berasal dari kata “baraja” artinya “tingkatan”, lalu dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai “derajat.” Allah Swt. memberikan nikmat dengan menaikkan derajat seseorang, suatu ketika Allah Swt. menggunakan hak prerogatif-Nya untuk menghilangkan tangga derajat orang tersebut. “Umat Islam harus bersyukur dalam kondisi apapun,” imbuh Ustadz Shubhi.

Orang yang bersyukur hendaknya senada antara lisan dan perbuatannya. Jangan sampai ketika orang mengucapkan alhamdulillah secara lisan, tetapi perbuatannya tidak mencerminkan bersyukur kepada Allah Swt. “Sebenarnya alhamdulilah jika diungkapkan sebagai rasa syukur benar, tapi kurang tepat, lebih ke memuji kepada Allah Swt, tetapi ini nggak masalah, tetap sah-sah saja,” terang Ustadz Shubhi.

Ustadz Shubhi menjelaskan dalam surat an-Najm ayat 43, 44, 45 dan 48 ada perintah Allah Swt. yang memotivasi umat secara tersembunyi. Misalnya pada ayat 43, jika seseorang dirundung masalah, kesedihan, duka dan cita, sehingga membuat seseorang menangis atau sesuatu yang membuat hati tidak nyaman, maka seharusnya seseorang tersebut yakin bahwa Allah Swt. suatu saat nanti pasti akan memberikan suatu hal yang membuat tertawa atau senang. “Dalam hal ini, Allah Swt, memotivasi bahwa setelah tangisan ada tertawa atau kesenangan,” imbuh Ustadz Shubhi.

Di akhir pemaparannya, Ustadz Shubhi menegaskan terkait hakikat Ramadan. Bulan Ramadan hendaknya dijadikan sebagai wadah untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan di tahun lalu. Ia memotivasi, agar di bulan Ramadan ini tidak hanya sekadar puasa saja, tetapi harus diimbangi dengan rajin melaksanakan amalan ibadah lainnya. “Mari kita resapi, hakikat dari bulan Ramadan ini, semoga kita bisa menjalankan ibadah dengan sebaik mungkin,” tutup Ustadz Shubhi. (LMF/RS)