,

Peluang dan Tantangan Bendungan di Masa Depan

Program Studi Teknik Sipil Lingkungan

Kecerdasan manusia dengan kemajuan digital telah melahirkan era baru, 4.0 (Empat titik nol). Era dimana telah membuat banyak aspek dalam kehidupan harus berevolusi. Tidak terkecuali dalam hal bendungan. Peluang dan tantangan yang ada di dalamnya pun ikut berubah. Hal inilah yang harus disiapkan bagi generasi mendatang.

Jadi adek-adek bisa mendapatkan wawasan tentang peluang dan tantangan terkait bendungan di era industri 4.0 ini. Dengan ini pula ade-ade bisa tahu keadaaan di luar seperti apa, sehingga bisa mempersiapkan diri. Demikian sambutan Ketua Program Studi Sarjana Teknik Sipil, Dr. Ir. Sri Amini Yuni Astuti, M.T. pada webinar kuliah pakar Bendungan yang diselenggarakan oleh Program Studi Sarjana Teknik Sipil, Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Islam Indonesia (UII) dengan tajuk “Peluang dan Tantangan Sumber Daya Manusia Bidang Bendungan di Era 4.0” pada Sabtu (4/7).

Sebagai salah satu pemateri, Ir. Joko Mulyono, M.E., AWP. menyampaikan bahwa bendungan adalah bangunan yang berupa urugan tanah, urugan batu, beton dan atau pasangan batu yang dibangun selain untuk menahan dan menampung air, limbah tambang atau lumpur sehingga terbentuknya waduk.

“Yang dimaksud dengan bendungan tidak hanya tubuh timbunan saja, tetapi juga bangunan pelengkapnya seperti bangunan pelimpah, bangunan sadap, bendungan sedel/tanggul beserta fondasi dan tumpuan,” jelas penulis buku Selayang Pandang Danau Se-Indonesia.

Lebih jauh, Joko Mulyono juga memaparkan beberapa manfaat bendungan seperti irigasi, pembangkit listrik tenaga air, pariwisata, air baku dan lain-lain. Kendati demikian, bendungan juga memiliki beberapa resiko seperti keruntuhan, yang dapat menimbulan korban jiwa. Tahun 1963 misalnya Bendungan Vaiont di Italy mengalami keruntuhan yang mengakibatkan 2.600 kehilangan jiwa. Bendungan Teton di Amerika pada tahun 1976 dengan 14 korban jiwa, Macchu II di India pada tahun 1979 dengan 2.000 korban jiwa, Bendungan Gouhou, di China pada tahun 1993 dengan 400 korban jiwa, termasuk di Indonesia. dalam peristiwa jobolnya bendungan Situ Gintung, yang menelan korban kurang lebih 100.

Rencana pembangunan di Indonesia pada tahun 2014-2024 menargetkan pembangunan bendungan sebanyak 61 bendungan. Sampai dengan tahun 2019 baru selesai 16 Bendungan. Sehingga masih tersisa 45 pembangunan bendungan lagi. Menurut Joko Mulyono, ini adalah salah satu peluang bagi mahasiswa khususnya, untuk bergabung dalam proyek tersebut.

Dalam paparannya, Joko Mulyono juga menyebutkan bahwa saat ini terdapat 244 bendungan exsisting. Dari jumlah tersebut, baru sebanyak 32 yang memiliki izin. Karena itu, ada program DOISP (Operastional Improvement and Safety Project) untuk mendapatkan izin tersebut. “Kita asumsikan kalau setiap bendungan membutuhkan tiga tenaga ahli, sementara bendungan exsisting ada 163, maka dibutuhkan kurang lebih 489 tenaga ahli di bidang bendungan,” papar Asessor Ahli Utama Bidang Bendungan yang juga mengabdi di Kementrian PUPR eselon 3, jafung madya gol. 4c tersebut.

“Tentukan goals mulai sekarang untuk satu tahun dan lima tahun ke depan, dalam rangka menghadapi 4.0 era, segera selesaikan s1 teknik sipil, khususnya jurusan hidro, kesempatan untuk menjadi pemilik perusahaan, ASN, profesional dalam bidang bendungan adalah pilihan, tentukan dan pilih mentor yang tepat untuk meraih impian,” saran Joko kepada peserta webinar.

Sementara Dr. Ir. Ruzardi, M.S. sebagai Ahli utama pengairan dan Ahli Madya Bendungan Besar menyebutkan bahwa selain memiliki manfaat besar, bendungan juga berpotensi sebagai bencana bagi masyarakat. Karena itu perlu perhatian besar sebagai langkah antisipasi.

“Bendungan disamping memiliki manfaat yang besar, juga menyimpan potensi bahaya yang besar pula. Bendungan runtuh akan menimbulkan banjir bandang yang dahsyat sampai jauh ke hilir, yang akan mengakibatkan timbulnya banyak korban jiwa, harta benda, fasilitas umum, dan kerusakan lingkungan yang sangat parah di daerah hilir,” papar Ruzardi.

Mengutip data penelitian, Ruzardi menyebutkan bahwa kerusakan bendungan umumnya disebabkan oleh beberapa faktor antara lain yaitu: keruntuhan lereng/kerusakan batuan fondasi sebesar 40% peluang kerusakan; pelimpah kurang memadai, dengan potensi kerusakan sebesar 23%; kualitas konstruksi sebesar 12%; amblesan yang tidak merata sebesar 10%; tekanan air pori berlebihan 5%; longosra sebesar 2%; kualitas material 2%; kesalahan operasional 2%; perang, gempa bumi, dan faktor lainnya sebesar 2%.

Sebagai Upaya untuk menghindar bencana dari bendungan, menurut Ruzardi diperlukan Inspeksi besar atau peninjauan berskala besar secara berkala. “Saya menambah penegasan dari om Joko (Joko Mulyono – read) lagi bahwa kalau bendungan setiap lima tahun sekali dilakukan inspeksi besar, maka sangat banyak tenaga yang diperlukan,” tambah Ruzardi.

Dalam paparanya bertajuk “Mengenal Bendunga Telaga Pasir: Warisan Belanda yang Tampil Beda”, Ruzardi banyak memaparkan Bendungan Telaga Pasir yang menurutnya memiliki tingkat keamanan yang sangat baik. Bahkan hampir tidak memiliki ancaman hidrologi. Karena saluran pelimpah yang tidak terlalu besar serta pengambilan air pada sungai lain dengan sub das yang berbeda. Dengan demikian akan menambah keamanan bendungan. “Saya akui hebat ya, Belanda ini idenya hebat sekali. Jadi satu sisi ancaman terhadap hidrolik aliran sudah dikesampingkan sama dia (Belanda- read),” ujar Ruzardi.

Sebagaimana diketahui bahwa Bendungan Telaga Pasir atau lebih dikenal dengan Telaga Sarangan karena letaknya di kelurahan Sarangan, Kecamatan Plaosan, Kabupaten Magetan, Jawa Timur, merupakan bendungan yang didirikan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1931. Selain sebagai pemenuhan air irigasi, Telaga Pasir juga sering menjadi objek wisata.

Hal yang paling menarik bagi Ruzardi adalah lebar pelimpah dan intake atau bangunan yang digunakan untuk melepas air hanya sebesar 1,2 meter, dengat kapasitas limpahan sebesar 6.07 m3/det. “Bagaimana bendungan dengan yang cukup luas, dengan daya tampung mencapai 2,5 juta m3 hanya memiliki pelimpa sebesar 1,2 m. Dengan demikian telah menghilangkan potensi kerusakan sebesar 23% (potensi, pelimpah yang kurang atau tidak memadai –read),” jelas Ruzardi.

Yang tidak kalah menarik adalah pemasangan conblock di atas bendungan. Menurut Ruzardi, ini adalah hal yang tidak lazim digunakan pada bendungan karena dapat menyebabkan infiltrasi air hujan (penyerapan air hujan ke dalam tanah). “Akan tetapi mereka berani menggunakan, mungkin karena bangunannya mempunyai tingkat kepadatan yang cukup baik,” Kilah Ruzardi.

Diakhir paparannya, Ruzardi menyayangkan pembangunan bendungan sekarang ini tidak meniru bendungan telaga pasir yang memiliki tingkat kemanan yang cukup baik. “Barang kali kita juga perlu pikirkan ke depan, model-model seperti ini (bendungan Telaga Pasir – read) mulai kita kembangkan. Saya terus terang ingin mengomentari kenapa desain-desain bendungan di departemen Pekerjaan Umum (PU) itu tidak ada yang mendesain ini lagi. Saya kira cara menghilangkan resiko bencana hidrologoi melalui bendungan dengan cara seperti ini,” tegas Ruzardi. (D/RS)