Pencegahan Perundungan Siber Dirasa Mendesak

Mengawinkan pendidikan dan teknologi merupakan bagian dari revolusi industri 4.0. Kegiatan belajar-mengajar menjadi semakin variatif dengan hadirnya teknologi sebagai pembelajaran interaktif di kelas. Kini alat elektronik seperti gawai dan laptop tidak lagi dilarang dan sudah bisa masuk sekolah dalam rangka menunjang proses pembelajaran. Namun salah satu dampak negatif dari mudahnya akses teknologi ini adalah rawannya para siswa menjadi pelaku maupun korban perundungan siber yang semakin marak.

Topik inilah yang dibahas dalam pelatihan konseling guru Bimbingan Konseling (BK) oleh Prodi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Islam Indonesia (UII) pada Kamis, (14/3) di ruang Audiovisual Gedung Perpustakaan Terpadu UII.

Analisa Widyaningrum, M.Psi., Psikolog sebagai pemateri acara ini membuka paparannya dengan kata “cuitanmu harimaumu”. Menurutnya, fenomena perundungan siber identik intimidasi yang terjadi di internet, biasanya melalui sosial media. Hal itu mencakup komentar negatif, pesan yang tidak bersahabat, ataupun dengan tujuan mengolok-olok seseorang.

Perundungan siber secara tidak langsung memberi dampak yang unik pada perkembangan psikologis anak. “Perundungan siber lebih sering terjadi karena terjadi dalam dimensi virtual yang bisa diakses siapa pun selama 24 jam tanpa batas. Sedangkan perundungan yang biasa terjadi dalam pertemuan langsung membuat pelaku kadang enggan melakukannya, namun berpindah ke dunia maya”, tegasnya.

Analisa mengungkapkan dampak negatif lain dari interaksi di media sosial adalah phubbing atau seseorang yang fokus bermain gawai saat orang lain sedang berbicara padanya. Selanjutnya ada self-comparing, yakni kondisi dimana sosial media dianggap menjadi ajang membanding-bandingkan. Analisa melanjutkan terkait sosial media sebagai escapism, yakni sebagai pelarian. Dan terakhir adalah seeking validation yang berarti sosial media sebagai tempat mencari pembenaran.

Untuk itu ia mengajak orangtua dan para pendidik mengenai pentingnya komunikasi bersama anak sebagai dasar kepercayaan. Melalui lanskap psikologi, Analisa mendeskripsikan formulasi VICR.

“Ini terdiri dari huruf ‘V’ yang mewakili kata vision. Kita mengajak si buah hati untuk membahas apa tujuan hidupnya. Biasanya denga pertanyaan ‘apa cita-citamu?’. Lalu huruf ‘I’ yang mewakili identity. Biasanya terkait agama, suku, ras, dan kebangsaan yang menerangkan siapa sebenarnya anak kita. Lalu huruf ‘c’ untuk consideration. Mengajak anak untuk memikirkan kembali terkait benar dan salah. Dan terakhir adalah ‘r’ untuk responsibility. Bahwa tujuan yang ingin dicapai si buah hati melahirkan pertanggungjawaban yang harus dilaksanakan di kemudian hari”, pungkasnya. (IG/ESP)